ANAK SEMUA BANGSA
Sebuah bangsa seharusnya menjadi sebuah tempat perlindungan,
pengaduan, ketemtraman, memperoleh keadilan. Saat bangsa yang sudah merdeka,
namun tak mampu atau tepatnya belum mampu melakukan kewajibannya itu maka yang
di dapatnya adalah sebuah ketidakadilan. Bangsa bak rumah, yang didalamnya ada
orang tua, anak. Setidaknya itu, bisa ada yang lainnya. Dalam sebuah negara
pemimpin adalah orangtua bagi rakyatnya. Dulu sebuah bangsa dapat hidup dengan
aman ditengah-tengah padang pasir dan hutan. Sekarang tidak. Ilmu pengetahuan
modern mengusik siapa saja keamanan dan kedamaiannya. Juga manusia sebagai
makhluk sosial dan sebagai individu tidak lagi bisa merasa aman. Dia
dikejar-kejar selalu oleh nafsu untuk menguasai, karena ilmu pengetahuan
mempunyai daya tarik yang menginspirasi dan memperbudak alam dan manusia
sekaligus. Nafsu untuk menguasai ilmu pengetahuan hanya dapat dhentikan dengan
ilmu pengetahuan itu sendiri yang lebih unggul ditangan orang yang berfikir dan
berbudi.
Malampun tak bernada, suara jangrik mengajukan diri. Tulisanku
belum juga rampung, tulisan yang aku buat karena karya Pramoedya : Anak Semua
Bangsa. Banyak ketidakterimaanku karena apa yang terjadi dalam bangsaku, taman
paksa, perampasan tanah dan kebun tebu milik penduduk pribumi untuk didirikan
kerajaan-kerajaan yang membuat bangsa barat menjadi ningrat dan pribumi
melarat. Apa yang diharapkan pribumi hanya sebatas bisa makan dan ada tempat
untuk berlindung saat panas terik dan hujan menyambar, bukan lagi petir tapi
hujan.
“ menulislah dalam melayu, Minke. Sampaikan pada pribumi, jangan
puas hanya dengan punya beras untuk makan 3 hari, jangan malas karena punya sapi
dua ekor. Sampaikan Minke, buatlah mereka bangun dalam mimpi indahnya yang
semalaman, perjalanan masih panjang.”
“ mereka tak berpendidikan, Ma. Mereka tak tahu baca tulis,
menghitung apalagi.”
“ pribumi tolol, hanya tau makan, tidur, kalau sudah tak ada yang
bisa dimakan, bisa jual anak perempuannnya yang masih gadis pada Gubermen.”
“pribumi tak kenal ilmu pendidikan, Ma. Mereka hanya dimanfaatkan
oleh orang yang berpendidikan tak berbudi.”
“Itulah gobloknya pribumi, malas.”
Lihatlah istrimu yang terbaring kaku dalam perjalanannya di kapal,
yang di permainkan oleh orang berilmu pengetahuan yang tak berbudi. Lihatlah
kawanmu yang meski telah lalu menempuh sebagai seorang mahasiswa, sekarang
hanya tinggal kepincangan bersama lukisan-lukisannya. “Bagaimana kabar kawanmu
itu?”, “ tetap begitu-begitu saja, Ma.”
Kau lihat pabrik yang kita rawat seperti anak sendiri ini, ini
adalah hasil kerja kerasku, meski hanya seorang gundik dari seorang Eropa yang
telah beristri. Aku punya hak untuk pabrik ini, tapi lihatlah keputusan
pengadilan yang lalu, pabrik dan rumah ini bukanlah hak ku, melainkan adalah
milik anak kandung dari ayah Annelis. Lihatlah, nanti akan datang seorang Eropa
yang akan mengambil semuanya, sedang ia tak tau bagaimana kerja keras kita untuk
pabrik ini, dia hanya tau kalau ia adalah pewaris tunggal dari pabrik yang
dimiliki ayah kandungnya sedang yang merawatnya adalah seorang gundik. Hanya
gundik pribumi.
Modal besar ingin membikin seluruh pribumi jadi kulinya. Tanah
pribumi jadi tanah usahanya. Maka mereka menolak mati-matian memberi pendidikan Eropa. Takut ketahuan
sumber kekuatan, kelicikan dan kejahantannya.
Penderitaan ada
batasnya, tapi cara mengalahkannya sungguh tiada batas.
Akhil Bashiroh
4/11/2014_ 22.30 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar