Selasa, 04 November 2014

ANAK SEMUA BANGSA_PRAMOEDYA ANANTA TOER

ANAK SEMUA BANGSA
Sebuah bangsa seharusnya menjadi sebuah tempat perlindungan, pengaduan, ketemtraman, memperoleh keadilan. Saat bangsa yang sudah merdeka, namun tak mampu atau tepatnya belum mampu melakukan kewajibannya itu maka yang di dapatnya adalah sebuah ketidakadilan. Bangsa bak rumah, yang didalamnya ada orang tua, anak. Setidaknya itu, bisa ada yang lainnya. Dalam sebuah negara pemimpin adalah orangtua bagi rakyatnya. Dulu sebuah bangsa dapat hidup dengan aman ditengah-tengah padang pasir dan hutan. Sekarang tidak. Ilmu pengetahuan modern mengusik siapa saja keamanan dan kedamaiannya. Juga manusia sebagai makhluk sosial dan sebagai individu tidak lagi bisa merasa aman. Dia dikejar-kejar selalu oleh nafsu untuk menguasai, karena ilmu pengetahuan mempunyai daya tarik yang menginspirasi dan memperbudak alam dan manusia sekaligus. Nafsu untuk menguasai ilmu pengetahuan hanya dapat dhentikan dengan ilmu pengetahuan itu sendiri yang lebih unggul ditangan orang yang berfikir dan berbudi.
Malampun tak bernada, suara jangrik mengajukan diri. Tulisanku belum juga rampung, tulisan yang aku buat karena karya Pramoedya : Anak Semua Bangsa. Banyak ketidakterimaanku karena apa yang terjadi dalam bangsaku, taman paksa, perampasan tanah dan kebun tebu milik penduduk pribumi untuk didirikan kerajaan-kerajaan yang membuat bangsa barat menjadi ningrat dan pribumi melarat. Apa yang diharapkan pribumi hanya sebatas bisa makan dan ada tempat untuk berlindung saat panas terik dan hujan menyambar, bukan lagi petir tapi hujan.
“ menulislah dalam melayu, Minke. Sampaikan pada pribumi, jangan puas hanya dengan punya beras untuk makan 3 hari, jangan malas karena punya sapi dua ekor. Sampaikan Minke, buatlah mereka bangun dalam mimpi indahnya yang semalaman, perjalanan masih panjang.”
“ mereka tak berpendidikan, Ma. Mereka tak tahu baca tulis, menghitung apalagi.”
“ pribumi tolol, hanya tau makan, tidur, kalau sudah tak ada yang bisa dimakan, bisa jual anak perempuannnya yang masih gadis pada Gubermen.”
“pribumi tak kenal ilmu pendidikan, Ma. Mereka hanya dimanfaatkan oleh orang yang berpendidikan tak berbudi.”
“Itulah gobloknya pribumi, malas.”
Lihatlah istrimu yang terbaring kaku dalam perjalanannya di kapal, yang di permainkan oleh orang berilmu pengetahuan yang tak berbudi. Lihatlah kawanmu yang meski telah lalu menempuh sebagai seorang mahasiswa, sekarang hanya tinggal kepincangan bersama lukisan-lukisannya. “Bagaimana kabar kawanmu itu?”, “ tetap begitu-begitu saja, Ma.”
Kau lihat pabrik yang kita rawat seperti anak sendiri ini, ini adalah hasil kerja kerasku, meski hanya seorang gundik dari seorang Eropa yang telah beristri. Aku punya hak untuk pabrik ini, tapi lihatlah keputusan pengadilan yang lalu, pabrik dan rumah ini bukanlah hak ku, melainkan adalah milik anak kandung dari ayah Annelis. Lihatlah, nanti akan datang seorang Eropa yang akan mengambil semuanya, sedang ia tak tau bagaimana kerja keras kita untuk pabrik ini, dia hanya tau kalau ia adalah pewaris tunggal dari pabrik yang dimiliki ayah kandungnya sedang yang merawatnya adalah seorang gundik. Hanya gundik pribumi.
Modal besar ingin membikin seluruh pribumi jadi kulinya. Tanah pribumi jadi tanah usahanya. Maka mereka menolak mati-matian  memberi pendidikan Eropa. Takut ketahuan sumber kekuatan, kelicikan dan kejahantannya.
            Penderitaan ada batasnya, tapi cara mengalahkannya sungguh tiada batas.

Akhil Bashiroh

4/11/2014_ 22.30 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar