Senin, 01 Februari 2016

      Cerita dari Boyolali
Ditulis oleh Akhil Bashiroh
                                                          Demak, 18 Desember 2015



Sebuah cerita bersambung....
“Akhil... Bangun! Cepat solat subuh, sudah hampir pukul 06.00 itu.” Ibu meneriakiku.
“Sudah solat tadi, Bu. Aku hari ini tidak jadi ke semarang saja ya, Bu. Aku mau di rumah saja, tidur.”
“Hust,, tidak boleh seperti itu, ayo bangun. Ibu sudah siapkan semua.”
“Aku malas ke Semarang, Bu.”
“Cepat bangun Akhil, ,,” Ibu masih saja meneriakiku dari dapur. “Kamu butuh apa lagi? Mau bawa beras tidak?”
“Terserah, Bu.” Jawabku yang masih malas-malasan di tempat tidurku.
“Akhil... Bangun! Kamu dengar ibu apa tidak? Anak perawan kok jam segini belum bangun! Nanti rejekimu dipatok ayam!” Ibu mulai menceramahiku dalam teriakannya.
 “ Iya, Bu, iya.. lima menit lagi” aku masih menawarnya.
 “Bangun sekarang! Akhiiilll...” Ibu terus saja meneriakiku.”Iya Ibu, iya.”
Kusengaja tak bangun pagi hari ini, ada jadwal bertemu dengan kawan KKn dulu, yang berencana berkunjung ke tempat KKN kami, Desa Trimulyo, Demak.
Namaku akhil, nama yang begitu sulit untuk mengucapkan. Hanya orang yang memahami makhorijul khuruf dengan baik yang akan langsung bisa dan benar mengucapkan namaku. Bukan orang tuaku yang memberi nama itu melainkan kakekku, ayah dari ibuku. Aku dilahirkan dari keluarga yang biasa saja, hidup di desa yang masih kental dengan budaya, khususnya budaya agama islam atau islam yang dibudayakan? entahlah. Aku memiliki nasab agamis, entah itu menjadi sebuah keberuntungan atau sebaliknya, aku dilahirkan dari silsilah istri keempat dari moyangku, ayah dari kakekku. Maklumi saja KIAI jaman dahulu memiliki istri lebih dari satu adalah wajar, mungkin sekarang juga tak jauh beda bahkan sudah menjadi umum.
Aku bukan peranakan jawa asli, ada darah Melayu dalam diriku, entah berapa gumpal atau bahkan tetes. Aku mendapatkannya bukan dari orang tuaku melainkan dari moyangku, moyang putri. Moyang putri asli peranakan Singapura, berdarah melayu. Ada beberapa yang memanggilku, “Ning”. Ah, tapi aku tak suka dengan panggilan itu, membuatku tak nyaman. Mungkin karena nasab itu aku dipanggilnya “Ning”. Sungguh aku membenci panggilan itu.
Ning, dalam ungkapan jawa khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah seorang wanita yang memiliki nasab atau seorang putri KIAI. Digambarkan seorang wanita yang halus, lemah lembut, selalu menunduk saat berbicara dengan lawan jenisnya, dan sendhiko dhawuh juga sebagian besar adalah seorang penghafal Al-Qur’an didikan pondok pesantren. Mungkin sebuah gambarang wanita sempurna.
Ning, sangatlah bertolak belakang denganku, orang tuaku bukan kiai hanya saja aku terlahir dari nasab itu, aku lebih suka berpetualang dari pada berada di rumah yang dikelilingi pondok, gemar dengan lingkaran diskusi, terbiasa dengan asap rokok (biarpun demikian aku tak begitu suka dengan asap rokok), dan sering berteriak dan memperjuangkan “NU harus Jaya!”. Aku aktivis ulung.
Ibu sudah meyiapkan semua kebutuhanku dalam tas, baju-bajuku, buku, laptop dan tak ketinggalan sembako yang pagi tadi ditawarkannya, lebih kurang bisa untuk hidup satu sampai dua minggu kedepan di kos. Biarpun demikian aku harus tetap mendapatkan uang sakuku. Aku masih setengah hati untuk berangkat ke Semarang. HPku berdering, panggilan dari Fahmi kawan KKNku, ya, memintaku segera ke Semarang karena semua sudah menunggu. Satu jam jarak dari rumahku ke kampus. Aku mendapati mereka memasang muka kecewa, aku datang terlambat dan segera minta maaf.
“Ayo cepat, kita sudah kesiangan.” Semua bergegas untuk berangkat, aku tak diberinya istirahat seberapa perlu. Aku menurut saja.
“Mbaaak...” Si kecil Lisa sudah menyambut kami sambil menemplok dibalik daun pintu.
“Adiikk... Lisa bagaimana kabarnya?” Aku menghampiri dan langsung memeluknya.
“Kangen sama Mbak Akhil dan kangen sama semua.”
Ini kunjungan pertama kami setelah beberapa bulan meninggalkan rumah penuh kenangan 40 hari itu. Kami disambut hanyat oleh ibu dan bapak yang sudah seperti orang tua kami sendiri, juga anak termanjanya, Rifqi.tak saban waktu dia mau keluar dan bicara sepatah dua kata dengan kami, setelah bersalaman ia langsung mencari tempat yang membuatnya nyaman, sendirian, di serambi  rumahnya yang dahulu sering aku pakai untuk membaca barang dua tiga lembar.
“Tadi macet?”
“Iya,, sempat salah jalan juga, Mas. Dan bla...bla...bla..” seperti biasa aku lebih banyak kata dibandingkan dia, Mr.Introvert.
            Hari itu kuhabiskan hariku bersama keluarga KKNku, ngomong ngalor-ngidul, senda gurau ramai, yang awalnya suasana hati tak enak, lupakan.
“Aku tunggu di Semarang ya, Mas.” Kataku sebelum berpamitan pulang, entah dia mengindahkan permintaanku atau tidak. Kami kembali ke Semarang saat matahari mulai kekuningan dan meredup lalu hilang.
***


Semarang kota atlas, Semarang kota budaya, Semarang kota belajar, Semarang kota tugas, Semarang kota kerja keras, begitulah anggapanku mengenai kota yang berbatasan dengan Demak itu. Berbeda dengan di rumah, rumah adalah surgaku, bisa sepuasnya tidur, makanpun tak harus dipikirkan, ada ibu, ah ibu kaulah yang terbaik.
 Capekku belum juga hilang, ponselku berbunyi adalah panggilan dari Rekan K memintaku datang ke Komisariat, secepatnya. Aku mengiyakannya, peduli pula dengan hal itu, namun aku tetap ingin beristirahat barang satu dua jam. sore harinya aku baru menemui.
“Persiapkan semua, Khil”
“Apa?”
“Pertemuan Pengurus Komisariat Perguruan Tinggi (PKPT) Nasional di Bojonegoro. Kita berangkat besok pagi menggunakan kereta pertama.”
Aku sudah menangkap arah percakapannya, ia menjelaskan panjang lebar semua agenda yang akan dibahas pada pertemuan besar itu. Belum lagi aku mengiyakan dia terus berbicara.
“Kita akan berangkat ber 4, karena rekan G tidak bisa hadir maka banyak yang harus kita selesaikan. Semua berkas yang harus kau pelajari akan segera kau dapat dalam e-mailmu sore ini juga.”
Berkas-berkas yang dijanjikan Rekan K sudah dikirim, ditemani secangkir teh hangat aku belum bersemangat untuk membacai lembaran file tersebut, kubuka folder kenangan KKN-ku, foto si kecil Lisa yang terlihat akur dengan kakaknya yang manja itu menyita mataku, rasanya baru kemarin aku bertemu dengan mereka, namun sudah terasa begitu lama dan kerinduan mulai menggodai.
“Sudahlah” aku menyadarkan diri. Aku melawan diri supaya tidak terusik keriduan. Mulai kupelajari berkas-berkas yang ada di depanku. Isinya tak jauh beda dengan yang kubayangkan, berupa beberapa agenda dan randown acara, tak akan begitu banyak menyita otak, tinggal mengikuti. Aku lanjutkan membuka e-mail yang kedua, dari Rekan G.
“Bawa hasil dari pertemuan SILATNAS yang ke-4 ini, tarik semua masa dari Jawa Timur atau yang hadir dalam pertemuan untuk hadir di Unnes H-3 kongres IPNU IPPNU di Boyolali.”
Aku sedikit mengerutkan dahi dan paham betul maksud dari pesan tersebut. Akan ada gerakan besar-berasan pada kongres di Boyolali nanti. Persiapannya pasti panjang, akan banyak pekerjaan satu sampai tiga minggu kedepan. Aku harus mengundur jadwal untuk menemui Mas Rifqi di Unnes, relakan.
Aku langsung mengabari Mas Rifqi dan ia menyetujui tanpa menawarnya sedikitpun, aku sedikit lega setidaknya dia mengerti. Belum sempat aku menaruh ponselku, terdengar panggilan dari Rekan K yang mengabarkan kita kehabisan tiket kereta dan memutuskan menggunakan motor malam ini juga, pikirnya jalanan akan sepi dan perjalanan kami tentunya lebih cepat. Aku langsung menyibukkan diri dengan beberapa lipatan baju, peralatan mandi, peralatan solat semua telah masuk kedalam tas, aku masih punya waktu satu jam untuk tidur sebelum perjalanan ke Bojonegoro tengah malam nanti.
Pertemuan dengan mas Rifqi sudah dipastikan diundur, kekecewaan mulai terlupakan. Cahaya subuh sudah kami dapati di Bojonegoro, kami disambut dengan deretan kebun salak sebelum kami diantarkan ke penginapan. Kegiatan berjalan sedikit molor dari randown yang ditetapkan, tak begitu berpengaruh. Tinggal malam terakhir, diskusi puncak persiapan kongres yang sudah di depan mata.
“Kita harus perjuangkan PKPT!! Biarpun kita sudah legal, kita harus tetap menegaskan.” Gebuan Nuris setelah beberapa saat diskusi dimulai.
“Iya, Rek. Pokoknya kita harus berjuang dan membawa hasil di kongres nanti.” Sahut Deni, seorang asli peranakan Surabaya.
“Mungkin ada usulan dari Semarang?” Sela pemantik.
Sebagai PKPT tertua yang saat itu berdiri tahun 2000. Aku mulai menawarkan dengan tenang.
“Kami berharap seluruh PKPT Nasional pada H-3 kongres dapat berkumpul di Semarang, Unnes. Kami akan mengfasilitasi, kita gelar forum dengan isian dialog bersama ketum pusat IPNU IPPNU, kita buat konsolidasi dan membangun masa terlebih dahulu sebelum kita bersama-sama berangkat dari Semarang ke Boyolali. Karena meningat kita merupakan Romli (rombongan liar) yang tidak mendapatkan hak suara juha hak bicara dalam kongreng, kami rasa ini sangatlah penting.”
Serentak semua mengatakan “Setuju!!”, yang terjaun ataupun yang terdekat dipastikan datang. Acara selesai menjelang subuh dan pagi harinya kami harus kembali ke Semarang.
“Hati-hati, Cak.” Teman-teman dari Banyuwangi mendahului plang.
“Nanti, pasti aku datang ke Semarang.”  Ucap Nuris padaku sebelum pulang.
“Kami tunggu, Cak”
Tak ada yang spesial.
***
Persiapan di Semarang tak begitu matang, banyak kegiatan berjajar antri untuk diselesaikan oleh orang-orang yang sama, disini pribahasa “berat sama dijinjing, ringan sama dipikul” tidak berlaku. Keegoisan masih banyak bertebaran dan rasa peka masih malu-malu bersembunyi.
Tergambar betul raut kekecewaan pada peserta PKPT Nasional yang datang di Semarang, kami gagal mendatangkan ketum pusat untuk konsolidasi.
“Tak apa-apa, kami memaklumi.” Tegur Nuris
“Maafkan kami, Cak. Kau sudah datang jauh-jauh dari Banyuwangi.” Dialah yang datang terawal menaiki bus umum dari Banyuwangi ke Semarang. Entah berapa ratus kilo yang ia tempuh, maafkan, Cak.
“Perjuangan kita tidak berakhir, tapi sedang dimulai. Jangan patah arang.”
“Tentu, Cak” jawabku pasrah.
“Kamu suka menulis?” Nuris mulai mengalihkan fokus, mungkin harapanny bisa menghiburku.
“Iya, menulis seadanya, Cak. ‘Tulisanmu kurang elegan’ada yang bilang begitu. Jawabku senyum. Kamu sendiri, Cak?”
“Sama, adillah sejak dalam pikiran, sudah mau menulis itu sudah lebih baik daripada tak mau menulis sama sekali. Akupun pasti abadikan ceritaku sepulang dari Semarang nanti.”
“Baiklah, aku tunggu karya terbaikmu, Cak” jawabku basa-basi.
“Tentu.”
Aku mengenal Nuris sejak Pertemuan di Bojonegoro, ia ketua PKPT di salahsatu perguruan tinggi swasta di Jawa paling timur. Watak dan kemauannya keras, ia punya banyak mimipi bukan sebatas untuk tanah kelahirannya Bumi Blambangan, Tapi untuk negerinya, Indonesia. Impiannya : Indonesia bisa lebih maju dibandingkan Amerika. Kata-katanya lebih kasar dibandingkan orang suku jawa, ia seorang Osing, suku asli dari Banyuwangi.
“Aku tunggu di Semarang hari Rabu ya, Mas.” Aku ingin menemui Mas Rifqi sbelum keberangkatanku ke Kongres, masih ada sela-sela hariku yang bisa kupakai untuk menemuianya.
“Oke.” Seperti biasa jawabnya singkat. Ya begitulah dia. Aku mengenalnya lewat kebaikannya yang sering menolongku saat KKN dulu, tapi aku lebih banyak mengenal kejelekannya dabalik kebaikannya. Setidaknya dia adalah orang yang murni dari kepentingan “kongres”. Aku ingin sedikit menyegarkan otakku dengan menemuinya. Belum ada yang spesial darinya, ia biasa saja. Kuharap hati dan dirinya masih murni, jernih sepertia air. Tapi sepertinya aku “mulai” lelah untuk memulai, dia orang yang terlalu pasif.
“Es dengan dengan sirup, Bu.” Sesampainya dia di Semarang aku langsung membawanya ke sebuah kedai eg degan. Ukurannya tak begitu besar, kira-kira 4x3 M, sekelilingnya berderet pepohonan sehingga membuat angin menjadi sejuk.
“Aku dengan saja, Bu.”aku sengaja tak memesan es, tubuhku mulai runtuh.
“Maaf, maaf aku terlambat.” Dia mulai membuka percakapan dengan meminta maaf atas keterlambatannya.
“Tidak apa-apa, hanya terlambat dua jam.” jawabku berusaha santai. Sebenarnya waktu dua jam sangatlah berarti bagiku. Dua jam aku menunggu ditemani oleh nuris, aku tak mengatakan padanya kaau aku sedang menunggu Mas Rifqi. Tak perlu kusampaikan juga, barang tak perlu.
“Sudahlah, Cak.” Deni mengagetkanku.
“Ku tahu kalau aku menyukainya, tapi kubiarkan dia pergi menemui orang lain.”
“Waktumu tak banyak, Cak. Usai dari kongres kau harus pulang ke Banyuwangi, kan?”
“Iya, Cak. Tapi aku tak bisa membohongi diriku sendiri, kuharap ini sekedar rasa kagum, biar nanti tak terlalu sakit” jawabnya dengan senyum rela.
Entah sampai mana obrolan setelah permintaan maaf itu. Aku tak begitu mengingatnya.
“Aku ingin mencoba membuka usaha, pingin lihat peluang.”
“Berapa modalmu?” jawabku sambil mengotak-atik ponselku. Aku sudah diminta kembali oleh Rekan K. Rapat sudah menunggu.
“Tak banyak memang, namun cukupkah untuk membeli motor.”Jawabnya gurau. Setelahnya ia menjelaskan panjang lebar dengan serius, baru kali ini aku melihatnya banyak bicara.
“Lalu?”aku masih sibuk dengan ponselku, panggilan dari pemateri untuk acara seminarku esok.
“Akhil, bisa bertemu sekarang? Ada hal penting yang perlu saya bicarakan.”
“Sekarang?” mata Mas Rifqi langsung menangkap percakapanku, usai aku menutup telpon ia langsung menyambar.
“Kalau ada acara dan ingin pergi sekarang tak apa. Au bisa pulang sekarang.”
Aku senyum-senyum saja mendengar perkataannya. “Tidak, sampai mana tadi?”
“Jangan bilang sama Lisa ya apa yang kusampaikan tadi.” Dia paham betul kedekatanku dengan adik satu-satunya itu.
“Iya, aku bisa menempatkannya.”
Ia mengindahkan permintaanku kala itu. Hari itu cukup untukku, mengetahui bahwa ada sisilain dari keintrovertannya. Keintrovertannya yang cukup menguji kesabaranku. Namun demikian, keintrovertannya mampu membuatku menulis kembali setelah lebih dari sepuluh bulan jariku tak menghasilkan karya yang pada kadarnya. Dibalik keintrovertannya pula ia mengajariku, dialah guru besarku. Wataknya yang terlihat keras bisa langsung luluh air matanya dengan sedikit kata sentuhan. Sungguh dirinya dipenuhi kasih sayang. Ia pulang ke Sultan Agung saat sore tiba.
Rapat sudah berderat, esok pagi sudah harus berada di lokasi kongres.
“Besok bisa berangkat ke Boyolali bersamaku?” Tanya Nuris dalam pesan singkatnya.
“Tidak, Cak. Aku harus berangkat pagi. Cak Nuris bareng bersama arek-arek, nanti kami sudah menyiapkan mobilnya berangkat setelah dzuhur.”
Boyolali menyambut kami dengan hujan lebat. Kongres yang diikuti ledih dari 8000 pesertadari seluruh Indonesia tersebut bertempat di Asrama haji Donohudan yang terletak tak jauh dari bandara adi Sumarmo Solo, mengingat yang letaknya berada pada perbatasan Boyolali-Surakarta. Berbagai stand sudah berjajar rapi dan siap menjuah berbagai khas dari daerahnya. Ada yang menjual: batik, jenang, gantungan kunci dan kaos dengan gambar logo kongres.
Hari kedua kongres, PKPT ulai bergerak. Brosur-brosur pengukuhan PKPT kami sebarluaskan di arena kongres, pamflet, MMT sudah terpampang berjajar dengan gambar-gambar calon ketua umum yang baru.
“Kami IPNU!, kami IPPNU!, Kami Mahasiswa!, Kami PKPT!” begitulah gemuruh yang terdengar dari tuntutan mahasiswa di area kongres. Kami berhasil menarik perhatian ketum PP IPNU, kala itu Khairul anam, untuk konsolidasi. Masalah belum selesai, usai ketum pp menyetujui pengukuhan PKPT dengan memasukkan aturan khusus dalam PDPRT IPNU IPPNU ternyata banyak pihak-pihak penyusup yang merusaha mericuhkan.
“NU Komunis! Kalian semua PKI!” seorang mahasiswa berseru sendirian, ia segera diamanakan, namun ia terus berteriak “Komunis!, kalian semua PKI!, sesat!”, sayang ia sendirian, suaranya tak begitu terhiraukan. Diketahui ia seorang mahasiswa disalah satu perguruan tinggi negeri di Jawa Timur. Herannya berita yang dimuat tak sesuai dengan keadaan.
Mendengar kata “Komunis dan PKI” sangatlah sensitif bagi telinga orang Indonesia, karena mengingat ketenaran dari kesadisan partai yang berlambang palu dan arit tersebut pada era orde lama, yang kemudian hendak berkuasa namun berhasil diruntuhkan pada era orde baru.
Kericuhan tak berhenti disitu karena sudah mulai banyak oknum-oknum yang jiwa politiknya mulai tersadar. Terdapat cerita menarik pada sidang pleno yang akan menentukan ketum PP era 2015-2018. Peserta ricuh dan kursipun dilempar salah satu peserta kongres yang tak bisa mengendalikan diri. Yang paling panik adalah presidium, keselamatannya terancam sedang para pengawal-pengawalnya tentu tak segesit pengawal presiden. Seorang peserta dari Jawa Tengah terkena kursi yang dilayangkan tersebut, presidium segera diamankan, sidang ditunda beberapa jam. Akhirnya Asep Irfan dan Puti Hasni terpilih menjadi ketum PP IPNU IPPNU tahun 2015-2018. Kursi perpolitikan dimenangkan oleh Jawa Barat dan DIY. Boyolali ricuh, Jateng berduka.
Tinggalkan kongres dengan kericuhannya, PKPT menang!. Kau lihat guru besarku? Perjuangan ini tak sia-sia, cobalah sesekali kau rasakan sensasi kekeluargaannya, sensasi perjuangannya, sensasi segalanya. Tak akan kau dapat semua itu guru besarku, kalau kau terus mengurung dirimu, biarlah begitu kalau kau ingin tetap bertahan seperti itu.
Sebagai tuan rumah kami mengantar kawan-kawan yang segera pulang ke Banyuwangi, Surabaya, Nganjuk, Bojonegoro, Tegal, Cirebon, dst. Sebagian besar dari mereka memang dari Jatim karena memang disanalah letak basis NU.
“Beberapa menit lagi kerena akan segera berangkat.” Nuris memperlihatkan tiket keretanya sambil tersenyum padaku.
“Hati-hati, Cak.”
“Iya, tapi... sebelum aku pulang ke tanah Blambangan, bisakah kau simpankan gelangku ini?” ia juntaikan gelang pada lengan kirinya.
“Apa maksudmu?”
“Aku telah memakainya selama delapan tahun.”
Aku masih belum paham maksudnya.
 “Aku tahu Banyuwangi-Demak memang tak dekat. Aku juga tak meminta jawabannya hari ini. Aku cukup tahu diri. Maaf aku tak membohongi diri.”
Hari itu aku dihujani kata cinta dan aku masih tetap diam.
“Jagalah baik-baik gelang ini, delapan tahun ada padaku. Dua tahun berupa tasbih yang kemudian putus dan empat tahun berupa gelang. Bukannya tak pernah ada yang memintanya, namun aku tak pernah memberikannya. Aku menunggu jawabanmu sampai silatnas ke-IV di Banyuwangi, kuharap kau hadir.”
Ia melepas gelang dari tangannya dan langsung memakaikannya dilengan kiriku.
“Sampai jumpa, kutunggu kau di Banyuwangi”. Aku masih tetap berdiri ditempatku dan melihati kereta yang bergerak semakin jauh meninggalkan. Gelang berupa butiran tasbih berwarna merah hati telah melingkar pada lengan kiriku. Namun demikian fikiranku kacau berpetualang kemana-mana. Tiba-tiba terhenti saat mengingat guru besarku, Si Introvert yang lugu itu. Bagaimana kabarnya? Terakhir kudengar ia sakit?
“Kendalikan dirimu, Cak. Kau sadar telah meninggalkannya begitu jauh?” Tegur Khairul yang memahami betul kondisiku.
“Tetaplah duduk di sampingku, Rul. Bangunkan aku pada berhentian di statisun berikutnya.
***
            Beberapa bulan telah berlalu, hujan yang tadinya turun setiap hari kini semakin jarang. Para petani di desaku sudah mulai bersiap menyambut kemarau, sawah-sawahnya tak lagi ditanami padi, sekarang sudah beralih ketanaman jagung. Dibagian belakang rumahnya, biasanya terdapat tumpukan padi yang sudah teelepas dari pohonnya, katanya untuk persediaan selama kemarau. Ya, begitulah masyarakat Jawa, banyak perhitungannya.
Si kecil Lisa sudah mulai memenuhi BBM, Line-ku: “mbak, kangen.”, “mbak kapan kesini?”, “mbak sedang apa?”. Aku memahami betul kesepiannya tapi aku tak sempat membalas semua pesannya, hanya beberapa.
Silatnas ke IV di Banyuwangi telah ditentukan, awal Februari. Bersamaan dengan agenda kami yang berencana kembali mengunjungi keluarga di Trimulyo. Semoga tak berada pada tanggal yang sama. Banyuwangi telah memberi tanggal, 5-7 Februari. Ponselku berbunyi, pesan singkat dari Fahmi ketua KKN.
“Kawan-kawan KKN, kita ke Trimulyo minggun depan ya, tanggal 7.” Adhuuuhh.....
Sungguh aku merindukan Trimulyo dan keluarga disana, si kecil Lisa pasti telah  mundak besar. Aku berangkat ke Banyuwangi menggunakan kereta terakhir pukul 17.00. Kami sampai di kota yang berjuluk The Sunrise Of Java pukul 09.00 pagi. Banyuwangi menyambut kami dengan ramah.
“Aku kembalikan gelangmu, Cak. Maaf.”
Bersambung.....


Cerpen: Udomu Mati

UDOMU MATI
Ditulis oleh Akhil Bashiroh
Demak, 29 Januari 2016

Terlintas olehku kapan kakakku mati. Biar penantianku tak begitu lama haruskan aku membunuhnya atau diam dan menunggu saja dan biarlah kematian yang menjemputnya sendiri.  Bagaimana caraku memanggil malaikat pencabut nyawa agar mempercepat kematiannya.
***
Kepalaku masih pusing berkutat dengan angka-angka yang belum pas pada tempatnya, juga pelajaran bahasa Indonesia yang kata-katanya membulat disitu saja. Kakakku meneriakiku meminta kopi.
“Ning, bikinkan aku kopi!” dan aku masih saja diam ditempat berkutat dengan pelajaranku, sendirian. Tak ada niat sedikitpun dari kakakku untuk sedikit membantuku yang belum keluar juga dari bahasa dan bilangan yang membulat ini. Malah berteriak-teriak meinta kpi.
“Ning!! Buatkan aku kopi!” suaranya semakin meninggi. “Iya” jawabku dengan hati membengkak. Aku antarkan segelas kopi dengan hati semakin membengkak saat melihatnya duduk bermain remi dengan kawan-kawannya. Matanya memerah marah saat melihatku datang dan berjalan begitu lama karena menjaga kopi buatanku agar tak jatuh yang itu pasti akan membuatnya semakin memencak-mencak.
Beberapa hari yang lalu amarah kakak semata wayangku  kumat, hanya karena hal sepele. Aku menjatuhkan segelas kopi pada selimutnya, ia yang baru bangun tidur, matanya yang belum terbuka sempurna membuat amarahnya tak terkendali. Pagi-pagi aku sudah mendapat sarapan berupa beberapa pisuhan yang keluar dari marah kakakku. Kala itu ibuku tak ada di rumah, pagi-pagi ibu sudah menanam padi di sawah yang diwariskan kakek, hanya sepetak. Biarpun aku adik semata wayang dari kakakku, namun baginya kelahiranku sudah menjadi sebuah kesalahan baginya, aku menggeser posisinya sebagai anak tunggal_sebelumnya_ yang kini menjadi anak pertama dan aku anak terakhir.
Aku tidak akan melupakan semua yang dilakukan kakakku padaku, saban hari pasti ada saja kesalahanku biarpun aku sudah melakukan semua dengan sebaik mungkin. Kakakku yang pengangguran, sebelumnya ia adalah seorang mahasiswa jurusan fisika yang cerdas, beberapa bulan kuliah ia keluar, ayahku meninggal. Pekerjanan sebagai kuli bangunan dan pemanggul kayu ia jalani usai meninggalkan kuliahnya, namun juga tak bertahn lama. Pergaulannya dengan anak-anak desa yang urakan mulai menyurupinya, malas-malasan bekerja, main remi di pos ronda atau sekedar di rumah dan mancari-cari kesalahanku sebagai hiburan saban harinya. Saban kali diingatkan ibu, suaranya akan meninggi. Tak jarang ibu mengeluarkan air matanya karena itu. Bersyukur kakakku tak main tangan, nuraninya belum semua terkuras. Entah apa yang membuatnya berubah. Kelakuannya semakin buruk, keras kepala, dan manganggap dirinya yang paling benar, semua keinginannya harus ada. Semua itu tak sesuai: yang seharusnya ia menjadi kepala keluarga setelah sepeninggal ayah, dialah satu-satunya laki-laki dalam keluarga.
Suatu hari pintu berderit keras, kakak membanting daun pintunya. Seperti biasa, kemarahannya memuncak dan langsung mencariku, kala itu aku masih berumur 12 tahun, aku dengan tidak sengaja menghilangkan papan catur milik kakakku, aku bermain-main dengan kawan sebayaku sepulang dari sekolah, karena katakutan aku langsung berlari dan sembunyi di kamar dengan isak tangis yang tak tertahan, yang aku biasanya bersembunyi dibalik baju ibuku saat kakakku marah, ibuku belum juga pulang dari ladang yang jaraknya lumayan jauh dari rumah. Kakakku semakin marah karena aku kabur dari amarahnya, ia menghampiriku yang masih bersembunyi di balik bantal doraemon kesayanganku. Kakakku menemukanku.
“Dasar anak sialan, harusnya kau tak lahir. Kau selalu saja mengganggu hidupku. Ibu selalu membelamu, selalu menyayangimu.” Sadar tangannya yang mencekikku tak juga dilepaskan biarpun melihatku kesakitan yang menangis tanpa suara, aku kesulitan bernafas. Kakak baru melepaskan tangannya dari leherku saat seseorang mengetuk pintu. Ibu datang.
“Ada apa ini?” ibu bertanya dengan raut muka yang begitu lelah. “Ada apa, Udo? Kamu bertengkar lagi dengan adikmu?” Ibu belum menyadari apa yang terjadi. Kakak langsung berlari keluar dan meninggalkan kami.
“Ada apa, Ning?” ibu mengalihkan pertanyaannya padaku. “Tidak ada apa-apa, Bu.” Aku takut mengatakan yang sebenarnya terjadi. Biarlah ini menjadi suatu yang takkan pernah ibu ketahui. Aku tak tega melihat ibu menangis karena tahu anaknya yang tadinya pemarah kini berubah menjadi psikopat.
***
Kejadian itu menutup masa kecilku yang suram. Kesuraman itu tak berhenti juga kala dewasa menghampiriku. Ibuku semakin renta, kakakku juga belum sembuh dari main reminya, malah semakin menjadi. Aku meninggalkan mereka di rumah yang merupakan satu-satunya harta yang keluarga kami miliki. Tanah dan rumah kami yang sebelumnya : terbuat dari jati yang kokoh, diatapi genting yang kuat, penyekat-penyekat kamar juga terbuat dari jati-jati yang tebal mengkilap, lantainya masih berkeramik putih bersih, halaman rumah masih cukup ditanami beberapa bunga-bunga dan beberapa pohon cabai, terong dan tomat_ kini tinggal sepetak tanah yang tak begitu luas, papan rumah beralih terbuat dari gedhek –bambu-bambu tipis yang dianyam-, atapnya burupa genteng yang mulai kehitaman, sekat-sekat kamar juga terbuat dari bahan yang sama, gedhek. Semua, sawah, sebagian tanah rumah sudah dijual untuk berobat ibu dan menuruti keserakahan kakakku yang semakin menjadi. Kebencian kakakku terhadapku semakin menjadi saat aku berhasil diterima disalah satu perguruan swasta di Demak, biarpun begitu kini aku sedikit berani untuk membela diriku sendiri. Saban akhir pekan kuusahan untuk pulang, sekedar untuk merawatnya. Hanya ibu satu-satunya alasannku untuk menyempatkan pulang.
Kebiasaan kecil belum juga hilang, saban di rumah kakak selalu mencari-cari kesalahanku, bukan malah menanyakan keadaanku, bagaimana pendidikaku, malah berbagai kata-kata yang tak mengenakkan dihantamkan padaku.
“Sudah tahu Ibu sakit, harusnya kau tak usah kuliah, menghabiskan uang ibu saja. Itu rawat ibumu yang sudah renta. Dari kecil sampai sekarang kau tak hentinya merepotkanku.”
“Mas kan di rumah, setiap akhir pekan aku juga selalu pulang. Untuk kuliah aku juga meminta uang pada ibu juga sama Mas.” Pembelaanku. Kakakku terdiam, “ Apa karena aku tak di rumah maka mengurangi waktumu untuk remi? Kaulah yang menghabiskan uang ibu, Mas.”
“Diam, kau!. Kau anak kemarin sore. Jangan membantah masmu yang sudah banyak makan garam dibanding kau!” ia kembali membanting daun pintu dan keluar.
Hatiku cukup tersakiti dengan kejadian masa kecil dulu, kini semakin menjadi lara. Pernah suatu kala kakakku tiba-tiba memelukku dengan isak tangis yang membuncah, ia meminta maaf dan tidak akan mengulang kesalahannya kembali padaku dan ibu. Namun itu sudah beberapa tahun yang lalu, kini dia sudah lupa dan mungkin janji-janjinya ikut luntur bersama baju-baju ibu yang kucuci. Juga sudah tak membekas bak sampah yang digiring banjir lalu berhamburan dan berpindah tempat diselokan-selokan tetangga. Nuraninya semakin mati, hatinya kian kaku, kelakuannya tak ada yang bisa menebak, barang-barang habis sudah dibantinginya kala keinginannya tak terpenuhi, untuk kedua kalinya aku menyebutnya : Psikopat!
***
Batuk ibu semakin parah, kadang beberapa kali mengeluarkan darah. Yang sebelumnya setiap akhir pekan aku pulang, kini saban dua-tiga hari aku menyempil waktuku dan menyempatkan pulang untuk merawat ibu. Aku tak begitu mempercayakannya pada kakakku.
“Mas, ayo kita bawa ibu ke rumah sakit, batuknya semakin parah.” Kakakku masih saja duduk di kursi yang ada di sudat kamar ibuku dengan sebatang rokok yang terselempit jelas diantara kedua jarinya sambil menyeruput kopi. “Mas! Ibu mas!” ia tak juga menghiraukan perkataanku. Biar, dari pada kau duduk di pojokan situ, tak berbuat apa-apa bukankah sebaiknya kau tertidur dalam liang lahatmu. Kemarahanku membuncah, sesekali terlintas keinginanku untuk mengirim kakakku tidur di bawah batu nisannya, mempercepat kematiannya. Tapi tidak, ibu pasti akan sedih dan kerepotan untuk mengurus jesadnya yang berat itu. Aku juga akan ikut kerepotan untuk mencari biaya pengkuburan dan acara tujuh hariannya.
“Ibu, kita ke rumah sakit ya?” sambil terus aku ciumi tangan ibu yang tinggal tulang terlapis kulit yang tipis. “Tidak usah, Ibu baik-baik saja” ibu meyakinkanku kalau keadaannya baik.
Malam ini anak-anak kecil di desa riuh, mereka memainkan kebang api untuk menyambut Idul Fitri yang tinggal beberapa hari, hujan kembang api menghiasi langit malam, membentuk payung-payung lalu pecah dan menghujani desa dengan cahaya-cahaya yang indah. Kini bintang-bintang mulai punya pesaing, percikan api membuncah tinggi seperti menantang dan menggodainya dengan turun kembali ke bumi. Tak cukup satu, beberapa kembang api sudah disiapkan sejak sore tadi oleh anak-anak kecil di desa.
Wajah ibu mulai sedikit bercahaya, kesehatan mulai mengunjunginya, saban hari keadaannya semakin membaik. Tapi sudah beberapa hari ini kakakku tidak pulang. Ia tahu aku mendapatkan liburku menjelang idul fitri.
“Bu,,, Bu...” Suara Arga tergesa-gesa. Ia tetangga kami juga kawan kakakku.
“Ada apa, Ga?” jawab Ibu yang masih duduk di ambin ditemani aku. “Udo, Bu. Udo.” Nafasnya tersengal-sengal. “Udo mati, Bu. Dipinggiran sawah Pak Kamto.”


Cerpen: Jawaban Penjaga Kasir

JAWABAN PENJAGA KASIR
Ditulis oleh Akhil Bashiroh
Demak, 19 Januari 2016

“Sudahlah jangan menangis, toh juga tak jauh.”
“Tapi, tetap saja judulnya kita akan berpisah to, Qi.”
“Kamu akan selalu menjadi sahabatku, Ning.”
“Tidak mau.” Uning masih saja menangis sesenggukan seperti anak kecil. “Lalu, apa maumu?”
“Belikan aku es krim, sekarang kan ulang tahunku.”
“Cuma itu?” Ifqi menyengir lalu merangkulku dan membelikanku es krim.
Aku mulai memilih milah es krim yang aku inginkan, Ifqie hanya mengikutiku dibalik punggungku, sesekali dia juga memilih beberapa makanan ringan yang diiginkannya. Toko itu berdiri tak jauh dari kampusku, hanya berjarak lebih kurang dua ratusan. Diluar masih gerimis yang lumayan akan membuatku kuyup kalau nekat keluar dari toko. Aku lanjutkan saja memilih es krim yang aku inginkan, aku takkan mengeluarkan uang sepeserpun untuk mendapatkan es krim ini, hari ini kan ulang tahunku, 24 juni.
“Qi, aku mau yang ini ya?” sambil kuangkat beberapa batang es krim pilihanku. “Iya, ambil saja sesukamu, Ning” aku tak melihatnya Cuma mendengar suaranya dua meter dibalik punggungku.
“jadi semua berapa, Mbak?”
“tujuh puluh satu ribu.”
“Terimakasih atas kunjungannya.”
Gerimis semakin deras, aku menunggunya reda sambil duduk dan menikmati beberapa es krimku di depan toko yang sama, aku duduk dengan kaki selonjoran dan memainkan beberapa jariku yang tertetes hujan. Sejenak kupejamkan mata, hujan mulai menaburi wajahku, tangan kiriku menjulur menadahi beberapa air hujan dan tangan kananku masih memegang erat es krim agar tetap terjaga dan tak jatuh.
“Apa yang kau lakukan!” Ifqi datang dan menarik tanganku, “Kau tak lihat hujan begini, kau seperti anak kecil saja bermain hujan, siapa yang akan bertanggung jawab kalau kamu sakit? Aku juga yang akan susah, harus memaksamu minum obat, setiap pagi mengantarkan bubur ke kontrakanmu.”
“Kau adalah sabahatku yang terbaik.” Jawabku sambil menyengir.
“Kau harus biasakan tanpa aku, kau harus mandiri, kau juga harus lulus kuliah tepat waktu, jangan sering bolos karena organisasimu itu.”
“Kan ada kamu yang bisa mengisi kolom kehadiranku, kau sudah kuajari tanda tanganku bukan?” aku masih saja memain-mainkan selonjoran kakiku sambil menjilati es krimku yang mulai meleleh.
“Dasar bodoh, anak curut ini masih saja manja dan tak dewasa.”
“Tak usah mengumpat, aku bisa dengar. Sudah nikmati saja es krim mu itu.”
Biarpun dia laki-laki tapi tak kalah cerewet denganku. Sahabat karipku, Ifqi. Kami dipertemukan pada sebuah universitas yang sama, fakultas yang sama, jurusan yang sama juga prodi yang sama. Tak jarang kami saling menjitak, bukan sering lagi kami saring meledek, dan hampir tiap hari kami saling menyalahkan. Namun berawal dari situlah persahabatan kami, tak pernah ada kesepakatan “Kita Bersahabat”, juga tak pernah ada persetujuan untuk saling peka. Karena persahabatan bukanlah sebuah kesepakatan. Persahabatan juga bukan sebuah perjanjian untuk tidak meinggalkan satu sama lainnya, karena sejauh apapun jarak antara sahabat bukan menjadi alasan putusnya sebuah persahabatan, persahabatan juga bukan merupakan sebuah dalil untuk menuntut dan selalu ada.
Perawakannya kurus tinggi, rambut ikal dan berkulit bersih, matanya belok dan logatnya juga ngapak medok, dia asli Tegal. Saat tertawa akan terlihat giginya yang putih dan besar-besar. Hidungnya macung dan berkolaborasi dengan apik bersama pipinya yang ramping, sayang alisnya tak melengkung rapi dan memperindah matanya yang belok itu. Hem kotak-kotak berpasang dengan jins adalah favoritnya.  Dia bisa menaiki kendaraannya supra fit -keluaran terbaru- dengan kecepatan 100/Km perjam. Warna-warna gelap adalah kesukaannya meskipun saat ia memakainya akan membuat tubuhnya terlihat lebih kurus.  Aku mengenalnya dengan baik, bukan? Biarpun bagi sebagian besar kawannya menganggap dia adalah orang yang pendiam dan tak mudah bersosialisasi.
Aku kembali menutup mataku dan membiarkan wajahku terkena rintik. Aku tadahkan kedua tanganku untuk menampung hujan semuatnya, es krimku sudah habis. Saat mambuka mataku aku tersadar dan celingukan mencari-cari Ifqi, tergesa-gesa aku kembali masuk ke dalam toko dan kutanyakan pada wanita penjaga kasir namun aku tak diberinya jawaban. Hanya wajah heran yang disuguhkan.
“Dimana sahabatku yang duduk di sebelahku tadi?” aku terus mendesak bertanya. “Yang tadi kesini bersamaku?”
“Kamu datang kesini sendirian mbak.” Penjaga kasir akhirnya memberi jawaban.
Aku kembali keluar dari toko dan duduk,  Aku tersadar dan tubuhku lunglai. Beberapa tahun lalu usai membelikanku es krim, hujan mulai reda dan kami meninggalkan toko dengan berlari. Sebuah mobil hampir saja menabrakku namun aku terselamatkan dan Ifqi terjatuh pada pangkuanku dengan darah yang mengalir bercampur gerimis, dia telah pergi.




Cerpen : Tarian Hujan

TARIAN HUJAN
Ditulis oleh Akhil Bashiroh
Demak, 30 januari 2016

Setiap kali hujan datang, aku sering kali menyambutnya dengan cara menadahkan wajahku, membiarkan setiap bagian dari mukaku dihujani air dari langit, lalu aku tersenyum usai mukaku di belai halus oleh titik titik bekas air hujan yang berupa butiran-butiran seperti embun pagi yang menyegarkan. Aku selalu menyukai hujan sampai suatu hari aku tidak lagi menyukai hujan.
***
Petirnya yang menyambar-nyambar aku anggap bagian terindah saat hujan turun. Aku membayangkannya: hujan adalah dentingan piano dan petir adalah dramnya. Malam itu hujan menyapu jalanan dengan derasnya, petir menyambar kesana kemari tak beraturan dan memaksa anak-anak kecil yang tadinya menari riang gembira di bawah hujan berlari masuk ke dalam rumah dan berlindung dibalik daster ibunya.
“Ibu... Ibu... ada petir, langit sedang marah, Bu. Petirnya mengkilat-kilat di langit dan menyambar pohon kelapa Pak Zainal, Bu.”
“Ayo cepat mandi, keringkan badanmu dan pakai baju yang hangat. Jangan keluar rumah saat hujan petir begini. Kau paham?”. “Iya, Bu” si kecil yang kini menjadi  anak tunggal dalam rumah itu berlari dan sesegera melaksanakan perintah ibunya.
“Semoga rumah Pak Zaini tak tertimpa pohon kelapanya yang tersambar petir. Semoga banjir tidak datang.” Gumam si Ibu dalam doa sambil menutup semua jendela rumahnya agar air hujan tak masuk.
Suara hujan masih berirama di luar,terdengar lirih dari dalam kamarku. Ada beberapa istri yang keluar rumah dan sesekali menengok apakah suaminya sudah pulang, dan ada juga beberapa ibu yang menunggu anaknya pulang sekolah dengan raut wajah tak pasti. Dengan memegangi payung sambil berdiri di depan rumah sering kali raut wajahnya berubah-ubah. Sepertinya takdir sedang mempermainkannya. Terlihat dari kejauhan seorang anak kecil yang seperti anaknya, semakin dekat dan dilihatnya, namun itu bukan anaknya. Sehingga membuat ibu tersebut harus melanjutkan penantiannya.
Pertunjukan hujan semakin menjadi-jadi. Suaranya semakin deras dan diimbangi dengan petir yang juga semakin mengeras. Air mulai berdatangan dari segala penjuru, dari selokan-selokan rumah warga, dari sungai-sungai kecil yang meluap dan kiriman dari bukit belakang desa kami. Pohon yang tadinya tersambar petir kini telah terbawa arus, rumah-rumah yang memiliki bangunan tak terlalu tinggi telah tergenang air setinggi lutut anak kecil, warnanya coklat bercampur bau berbagai sampah yang teraduk, banjir datang.
Ibu-ibu yang tadinya hanya sesekali mengintip dari jendela, semua riuh panik dan keluar rumah. Si ibu yang mesih menunggu anaknya pulang dari sekolah masih saja berdiri di depan rumahnya yang juga sudah mulai tergenang banjir. Ia sama sekali tak memperdulikannya. Ia masih saja tetap berdiri dan berharap melihat anaknya datang dari kejauhan. Padahal semua orang tahu kalau anak yang ditunggunya tersebut sudah mati beberapa tahun yang lalu terbawa banjir saat pulang sekolah, namun sampai hari ini jasad anak belum juga ditemukan. Ibunya masih saja menyimpan sebuah harapan yang besar, kalau-kalau suatu hari anaknya akan pulang.
“Ibu, Ayo masuk. Nanti ibu sakit.” Aku menjemput ibuku yang masih berdiri di halaman. Aku melihat betul raut kekecewaannya yang menunggu anaknya yang tak kunjung datang. Aku lihat mukanya yang memerah dan air matanya yang tercampur hujan. Hujan telah mengkaburkan mata air mata ibuku sehingga aku tak bisa membedakan mana air mata dan mana air hujan.
“Tidak, aku mau menunggu kakakmu pulang. Kau masuk saja.”
“Kakak tidak akan pulang, Bu.” Aku merangkul halus pundak ibuku dan membawanya masuk. “Ayo, Bu.” Dengan langkah perlahan ia mulai mengikutiku.
***
Sejak kecil aku selalu menyukai hujan, menunggu-nunggunya datang. Entah sekedar menyambutnya dengan cara menadahkan tanganku atau dengan cara menari-nari bersamanya. Hujan membuat hatiku tenang, membuat pikiranku lirih dan tak lagi berberontak. Tak jarang ibu memarahiku karena aku bermain dengan hujan, bercengkrama dengan setiap tetesnya. Aku tak melakukannya sendirian, seringkali aku mengajak teman-teman sebayaku untuk hujan-hujanan, tentu saja orang tua mereka akan marah saat melihatnya, tapi mereka tak pernah absen untuk keluar rumah dan berlarian saat hujan, begitu pula dengan kakak perempuanku.
Semua kenangan manisku tentang hujan masih tertata rapi dalam memori kecilku. Sampai suatu hari aku tak lagi menyukai hujan, hujan merenggut ayah dan kakak perempuanku –sampai hari ini- dan membuat ibuku gila.
Beberapa tahun yang lalu, hari itu hujan deras. Aku dan kakakku masih tertahan di sekolah. Ibu guru tak mengijinkan semua anak muridnya pulang, menunggu sampai hujan reda.  Beberapa anak menuruti dan tak sedikit yang nekat untuk pulang dan tak menghiraukan nasehat ibu guru, termasuk aku dan kakakku. Pikirnya –karena kita sama-sama menyukai hujan- kapan lagi akan mendapatkan kesempatan emas seperti ini: hujan-hujanan!. Saat dirumah pasti ibu tak akan mengijinkan kami untuk keluar rumah saat hujan apalagi bermain hujan-hujanan. Dengan beberapa teman kami nekat untuk pulang, dengan riangnya kami berlarian dan menari-nari dibawah hujan. Tak lagi memperdulikan seragam dan buku-buku kami yang basah, sepatu-sepatu sudah terlepas dari kaki karena hal tersebut memudahkan kami untuk berlari semakin cepat dan menari kian lincah. Banjir datang tapi kami tak memperdulikannya, malah sesekali kami bermain dengan air yang semakin banyak tersebut. Aku melihat kakakku terseret banjir, aku dan teman-temanku menganggapnya sebagai gurauan belaka karena kami sering melakukannya: pura-pura terbawa arus.
Semakin lama-semakin tak terlihat, ternyata kakakku benar-benar terbawa banjir. Aku dan teman-teman terus meneriaki dan mencarinya. Kala itu umurku masih sepuluh tahun, aku berlari pulang sambil menangis.
“Ayahh... Ayah...” ayah memelukku yang masih basah kuyup.
“Dimana kakakmu? Kenapa kamu pulang sendirian?”
“Kakak terbawa banjir, Ayah.” Seketika ayah melepaskan pelukannya dan lari terbirit mencari kakakku. Ibuku yang mendengarnya seketika menangis tersedu, namun tak punya pilihan lain aku dan ibuku tetap dirumah dan menunggu. Tetangga-tetangga yang mengetahui kejadian tersebut ikut berlarian dan menyusul ayahku.
Hujan masih saja mengguyur, malah semakin deras. Petir juga tak henti-hentinya menyambar. Satu jam, dua, jam, tiga jam hingga malam tiba. Banjir mulai surut, sampah sambah yang terbawa banjir mulai berserakan disetiap halaman rumah warga, jalanan dan tanah-tanah tak urungnya bak berubah menjadi sawah dadakan.  Beberapa orang sudah mulai bersibuk membersihkan rumahnya biarpun listrik padam. Ibuku masih saja berdiri dan memelukku di depan rumah. Menunggu ayah dan kakakku kembali. Namun takdir berkata lain, jasad ayahku dibawa pulang oleh beberapa warga sedang kakakku tak ditemukan. Malam itu hujan memadamkan hati ibuku, tangisnya meraung-raung sambi memeluk jasad ayah.
***
Sejak malam itu aku tak lagi menyukai hujan, aku tak lagi menyambutnya dengan menadahkan tangan atau muka, apalagi menati-nari dan bercengkrama, aku tak lagi melakukannya. Yang kulihat kala hujan adalah pandangan mata ibuku yang kosong, harapan-harapan yang tak kunjung terisi, doa-doa yang tak kunjung terkabul, dan kata-kata penghiburku yang terbungkus bui-bui kebohongan.
“Kakak pasti akan pulang, Bu. Tapi nanti kalau ibu sudah sehat dan menghabiskan bubur ini.”
“Benar? Kakakmu akan pulang!?.” Ibuku menjawab kegirangan.

“Iya, Ibu.” Air mataku menetes dipelukannya. Maafkan aku terus memberi harapan-harapan kosong untuk menjaga ibu tetap hidup.

Jumat, 21 November 2014

siapa, Kau?

Siapa, Kau?

Kau seperti malam tak berhening
Kau seperti kursi tanpa kaki
Kau seperti debu berserakan
Kau bagai abu pemedih mata
Kau bagai pelataran yang kotor
Kau bagai rumah tanpa pondasi
Kau bagai atap tanpa genting
Kau bagai awan tanpa matahari
Kau bagai petir tanpa hujan
Kau bagai lampu tanpa cahaya
Kau bagai topan tanpa daya
Kau seperti rakyat tanpa suara
Kau seperti raja tanpa mata
Kau bagaikan pangeran tanpa pengetahuan
Kau bagai bumi tanpa khalifah
Kau bagai buku tanpa pena
Kau bagai pena tanpa tinta
Siapa, Kau?


Akhil Bashiroh_Semarang 21/11/2014

Jumat, 07 November 2014

SAJAK WAKTU_8/11/14 02.00 WIB

Sajak Waktu
Berdiri kau
Entah di balik jendela maupun pintu berkaca
Menangis kau
Dalam teriak ataupun sedu
Maka baringkanlah otakmu
Untuk pertempuran dunia yang semu
Dunia sekedar waktu
Yang tak berdaya
Suara detiknya pun rintih, lemah tiada daya
Atas manusia
Manusia yang tamak harta
Manusia yang gila wanita
Entah manusia yang pecandu narkoba
Semua tak berdaya
Entah waktu maupun manusia itu sendiri
Keduanya saling bertengkar, beradu kuat
Waktu atau manusia yang akan menang?

Akhil Bashiroh_Sastra Jawa Unnes