Cerita dari Boyolali
Ditulis
oleh Akhil Bashiroh
Demak, 18 Desember 2015
Sebuah cerita bersambung....
“Akhil... Bangun! Cepat solat subuh,
sudah hampir pukul 06.00 itu.” Ibu meneriakiku.
“Sudah solat tadi, Bu. Aku hari ini
tidak jadi ke semarang saja ya, Bu. Aku mau di rumah saja, tidur.”
“Hust,, tidak boleh seperti itu, ayo
bangun. Ibu sudah siapkan semua.”
“Aku malas ke Semarang, Bu.”
“Cepat bangun Akhil, ,,” Ibu masih saja
meneriakiku dari dapur. “Kamu butuh apa lagi? Mau bawa beras tidak?”
“Terserah, Bu.” Jawabku yang masih
malas-malasan di tempat tidurku.
“Akhil... Bangun! Kamu dengar ibu apa
tidak? Anak perawan kok jam segini belum bangun! Nanti rejekimu dipatok ayam!”
Ibu mulai menceramahiku dalam teriakannya.
“
Iya, Bu, iya.. lima menit lagi” aku masih menawarnya.
“Bangun
sekarang! Akhiiilll...” Ibu terus saja meneriakiku.”Iya Ibu, iya.”
Kusengaja tak bangun pagi hari ini, ada
jadwal bertemu dengan kawan KKn dulu, yang berencana berkunjung ke tempat KKN
kami, Desa Trimulyo, Demak.
Namaku akhil, nama yang begitu sulit
untuk mengucapkan. Hanya orang yang memahami makhorijul khuruf dengan
baik yang akan langsung bisa dan benar mengucapkan namaku. Bukan orang tuaku
yang memberi nama itu melainkan kakekku, ayah dari ibuku. Aku dilahirkan dari
keluarga yang biasa saja, hidup di desa yang masih kental dengan budaya,
khususnya budaya agama islam atau islam yang dibudayakan? entahlah. Aku
memiliki nasab agamis, entah itu menjadi sebuah keberuntungan atau sebaliknya,
aku dilahirkan dari silsilah istri keempat dari moyangku, ayah dari kakekku.
Maklumi saja KIAI jaman dahulu memiliki istri lebih dari satu adalah wajar,
mungkin sekarang juga tak jauh beda bahkan sudah menjadi umum.
Aku bukan peranakan jawa asli, ada darah
Melayu dalam diriku, entah berapa gumpal atau bahkan tetes. Aku mendapatkannya
bukan dari orang tuaku melainkan dari moyangku, moyang putri. Moyang putri asli
peranakan Singapura, berdarah melayu. Ada beberapa yang memanggilku, “Ning”.
Ah, tapi aku tak suka dengan panggilan itu, membuatku tak nyaman. Mungkin
karena nasab itu aku dipanggilnya “Ning”. Sungguh aku membenci panggilan itu.
Ning, dalam ungkapan jawa khususnya Jawa
Tengah dan Jawa Timur adalah seorang wanita yang memiliki nasab atau seorang
putri KIAI. Digambarkan seorang wanita yang halus, lemah lembut, selalu
menunduk saat berbicara dengan lawan jenisnya, dan sendhiko dhawuh
juga sebagian besar adalah seorang penghafal Al-Qur’an didikan pondok pesantren.
Mungkin sebuah gambarang wanita sempurna.
Ning, sangatlah bertolak belakang
denganku, orang tuaku bukan kiai hanya saja aku terlahir dari nasab itu, aku
lebih suka berpetualang dari pada berada di rumah yang dikelilingi pondok,
gemar dengan lingkaran diskusi, terbiasa dengan asap rokok (biarpun demikian
aku tak begitu suka dengan asap rokok), dan sering berteriak dan memperjuangkan
“NU harus Jaya!”. Aku aktivis ulung.
Ibu sudah meyiapkan semua kebutuhanku
dalam tas, baju-bajuku, buku, laptop dan tak ketinggalan sembako yang pagi tadi
ditawarkannya, lebih kurang bisa untuk hidup satu sampai dua minggu kedepan di
kos. Biarpun demikian aku harus tetap mendapatkan uang sakuku. Aku masih
setengah hati untuk berangkat ke Semarang. HPku berdering, panggilan dari Fahmi
kawan KKNku, ya, memintaku segera ke Semarang karena semua sudah menunggu. Satu
jam jarak dari rumahku ke kampus. Aku mendapati mereka memasang muka kecewa,
aku datang terlambat dan segera minta maaf.
“Ayo cepat, kita sudah kesiangan.” Semua
bergegas untuk berangkat, aku tak diberinya istirahat seberapa perlu. Aku
menurut saja.
“Mbaaak...” Si kecil Lisa sudah
menyambut kami sambil menemplok dibalik daun pintu.
“Adiikk... Lisa bagaimana kabarnya?” Aku
menghampiri dan langsung memeluknya.
“Kangen sama Mbak Akhil dan kangen sama
semua.”
Ini kunjungan pertama kami setelah
beberapa bulan meninggalkan rumah penuh kenangan 40 hari itu. Kami disambut
hanyat oleh ibu dan bapak yang sudah seperti orang tua kami sendiri, juga anak
termanjanya, Rifqi.tak saban waktu dia mau keluar dan bicara sepatah dua kata
dengan kami, setelah bersalaman ia langsung mencari tempat yang membuatnya
nyaman, sendirian, di serambi rumahnya
yang dahulu sering aku pakai untuk membaca barang dua tiga lembar.
“Tadi macet?”
“Iya,, sempat salah jalan juga, Mas. Dan
bla...bla...bla..” seperti biasa aku lebih banyak kata dibandingkan dia,
Mr.Introvert.
Hari
itu kuhabiskan hariku bersama keluarga KKNku, ngomong ngalor-ngidul, senda
gurau ramai, yang awalnya suasana hati tak enak, lupakan.
“Aku tunggu di Semarang ya, Mas.” Kataku sebelum
berpamitan pulang, entah dia mengindahkan permintaanku atau tidak. Kami kembali
ke Semarang saat matahari mulai kekuningan dan meredup lalu hilang.
***
Semarang kota atlas, Semarang kota
budaya, Semarang kota belajar, Semarang kota tugas, Semarang kota kerja keras,
begitulah anggapanku mengenai kota yang berbatasan dengan Demak itu. Berbeda
dengan di rumah, rumah adalah surgaku, bisa sepuasnya tidur, makanpun tak harus
dipikirkan, ada ibu, ah ibu kaulah yang terbaik.
Capekku belum juga hilang, ponselku berbunyi
adalah panggilan dari Rekan K memintaku datang ke Komisariat, secepatnya. Aku
mengiyakannya, peduli pula dengan hal itu, namun aku tetap ingin beristirahat
barang satu dua jam. sore harinya aku baru menemui.
“Persiapkan semua, Khil”
“Apa?”
“Pertemuan Pengurus Komisariat Perguruan
Tinggi (PKPT) Nasional di Bojonegoro. Kita berangkat besok pagi menggunakan
kereta pertama.”
Aku sudah menangkap arah percakapannya,
ia menjelaskan panjang lebar semua agenda yang akan dibahas pada pertemuan
besar itu. Belum lagi aku mengiyakan dia terus berbicara.
“Kita akan berangkat ber 4, karena rekan
G tidak bisa hadir maka banyak yang harus kita selesaikan. Semua berkas yang
harus kau pelajari akan segera kau dapat dalam e-mailmu sore ini juga.”
Berkas-berkas yang dijanjikan Rekan K
sudah dikirim, ditemani secangkir teh hangat aku belum bersemangat untuk
membacai lembaran file tersebut, kubuka folder kenangan KKN-ku, foto si kecil
Lisa yang terlihat akur dengan kakaknya yang manja itu menyita mataku, rasanya
baru kemarin aku bertemu dengan mereka, namun sudah terasa begitu lama dan
kerinduan mulai menggodai.
“Sudahlah” aku menyadarkan diri. Aku
melawan diri supaya tidak terusik keriduan. Mulai kupelajari berkas-berkas yang
ada di depanku. Isinya tak jauh beda dengan yang kubayangkan, berupa beberapa
agenda dan randown acara, tak akan begitu banyak menyita otak, tinggal
mengikuti. Aku lanjutkan membuka e-mail yang kedua, dari Rekan G.
“Bawa hasil dari pertemuan SILATNAS yang
ke-4 ini, tarik semua masa dari Jawa Timur atau yang hadir dalam pertemuan
untuk hadir di Unnes H-3 kongres IPNU IPPNU di Boyolali.”
Aku sedikit mengerutkan dahi dan paham
betul maksud dari pesan tersebut. Akan ada gerakan besar-berasan pada kongres
di Boyolali nanti. Persiapannya pasti panjang, akan banyak pekerjaan satu
sampai tiga minggu kedepan. Aku harus mengundur jadwal untuk menemui Mas Rifqi
di Unnes, relakan.
Aku langsung mengabari Mas Rifqi dan ia
menyetujui tanpa menawarnya sedikitpun, aku sedikit lega setidaknya dia
mengerti. Belum sempat aku menaruh ponselku, terdengar panggilan dari Rekan K
yang mengabarkan kita kehabisan tiket kereta dan memutuskan menggunakan motor
malam ini juga, pikirnya jalanan akan sepi dan perjalanan kami tentunya lebih
cepat. Aku langsung menyibukkan diri dengan beberapa lipatan baju, peralatan
mandi, peralatan solat semua telah masuk kedalam tas, aku masih punya waktu
satu jam untuk tidur sebelum perjalanan ke Bojonegoro tengah malam nanti.
Pertemuan dengan mas Rifqi sudah
dipastikan diundur, kekecewaan mulai terlupakan. Cahaya subuh sudah kami dapati
di Bojonegoro, kami disambut dengan deretan kebun salak sebelum kami diantarkan
ke penginapan. Kegiatan berjalan sedikit molor dari randown yang ditetapkan,
tak begitu berpengaruh. Tinggal malam terakhir, diskusi puncak persiapan
kongres yang sudah di depan mata.
“Kita harus perjuangkan PKPT!! Biarpun
kita sudah legal, kita harus tetap menegaskan.” Gebuan Nuris setelah beberapa
saat diskusi dimulai.
“Iya, Rek. Pokoknya kita harus berjuang
dan membawa hasil di kongres nanti.” Sahut Deni, seorang asli peranakan
Surabaya.
“Mungkin ada usulan dari Semarang?” Sela
pemantik.
Sebagai PKPT tertua yang saat itu
berdiri tahun 2000. Aku mulai menawarkan dengan tenang.
“Kami berharap seluruh PKPT Nasional
pada H-3 kongres dapat berkumpul di Semarang, Unnes. Kami akan mengfasilitasi, kita
gelar forum dengan isian dialog bersama ketum pusat IPNU IPPNU, kita buat
konsolidasi dan membangun masa terlebih dahulu sebelum kita bersama-sama
berangkat dari Semarang ke Boyolali. Karena meningat kita merupakan Romli
(rombongan liar) yang tidak mendapatkan hak suara juha hak bicara dalam
kongreng, kami rasa ini sangatlah penting.”
Serentak semua mengatakan “Setuju!!”,
yang terjaun ataupun yang terdekat dipastikan datang. Acara selesai menjelang
subuh dan pagi harinya kami harus kembali ke Semarang.
“Hati-hati, Cak.” Teman-teman dari
Banyuwangi mendahului plang.
“Nanti, pasti aku datang ke
Semarang.” Ucap Nuris padaku sebelum
pulang.
“Kami tunggu, Cak”
Tak ada yang spesial.
***
Persiapan di Semarang tak begitu matang,
banyak kegiatan berjajar antri untuk diselesaikan oleh orang-orang yang sama,
disini pribahasa “berat sama dijinjing, ringan sama dipikul” tidak berlaku.
Keegoisan masih banyak bertebaran dan rasa peka masih malu-malu bersembunyi.
Tergambar betul raut kekecewaan pada
peserta PKPT Nasional yang datang di Semarang, kami gagal mendatangkan ketum
pusat untuk konsolidasi.
“Tak apa-apa, kami memaklumi.” Tegur
Nuris
“Maafkan kami, Cak. Kau sudah datang
jauh-jauh dari Banyuwangi.” Dialah yang datang terawal menaiki bus umum dari
Banyuwangi ke Semarang. Entah berapa ratus kilo yang ia tempuh, maafkan, Cak.
“Perjuangan kita tidak berakhir, tapi
sedang dimulai. Jangan patah arang.”
“Tentu, Cak” jawabku pasrah.
“Kamu suka menulis?” Nuris mulai
mengalihkan fokus, mungkin harapanny bisa menghiburku.
“Iya, menulis seadanya, Cak. ‘Tulisanmu
kurang elegan’ada yang bilang begitu. Jawabku senyum. Kamu sendiri, Cak?”
“Sama, adillah sejak dalam pikiran,
sudah mau menulis itu sudah lebih baik daripada tak mau menulis sama sekali.
Akupun pasti abadikan ceritaku sepulang dari Semarang nanti.”
“Baiklah, aku tunggu karya terbaikmu,
Cak” jawabku basa-basi.
“Tentu.”
Aku mengenal Nuris sejak Pertemuan di
Bojonegoro, ia ketua PKPT di salahsatu perguruan tinggi swasta di Jawa paling
timur. Watak dan kemauannya keras, ia punya banyak mimipi bukan sebatas untuk
tanah kelahirannya Bumi Blambangan, Tapi untuk negerinya, Indonesia. Impiannya
: Indonesia bisa lebih maju dibandingkan Amerika. Kata-katanya lebih kasar
dibandingkan orang suku jawa, ia seorang Osing, suku asli dari Banyuwangi.
“Aku tunggu di Semarang hari Rabu ya,
Mas.” Aku ingin menemui Mas Rifqi sbelum keberangkatanku ke Kongres, masih ada
sela-sela hariku yang bisa kupakai untuk menemuianya.
“Oke.” Seperti biasa jawabnya singkat.
Ya begitulah dia. Aku mengenalnya lewat kebaikannya yang sering menolongku saat
KKN dulu, tapi aku lebih banyak mengenal kejelekannya dabalik kebaikannya.
Setidaknya dia adalah orang yang murni dari kepentingan “kongres”. Aku ingin
sedikit menyegarkan otakku dengan menemuinya. Belum ada yang spesial darinya,
ia biasa saja. Kuharap hati dan dirinya masih murni, jernih sepertia air. Tapi
sepertinya aku “mulai” lelah untuk memulai, dia orang yang terlalu pasif.
“Es dengan dengan sirup, Bu.”
Sesampainya dia di Semarang aku langsung membawanya ke sebuah kedai eg degan.
Ukurannya tak begitu besar, kira-kira 4x3 M, sekelilingnya berderet pepohonan
sehingga membuat angin menjadi sejuk.
“Aku dengan saja, Bu.”aku sengaja tak
memesan es, tubuhku mulai runtuh.
“Maaf, maaf aku terlambat.” Dia mulai
membuka percakapan dengan meminta maaf atas keterlambatannya.
“Tidak apa-apa, hanya terlambat dua
jam.” jawabku berusaha santai. Sebenarnya waktu dua jam sangatlah berarti
bagiku. Dua jam aku menunggu ditemani oleh nuris, aku tak mengatakan padanya
kaau aku sedang menunggu Mas Rifqi. Tak perlu kusampaikan juga, barang tak
perlu.
“Sudahlah, Cak.” Deni mengagetkanku.
“Ku tahu kalau aku menyukainya, tapi
kubiarkan dia pergi menemui orang lain.”
“Waktumu tak banyak, Cak. Usai dari
kongres kau harus pulang ke Banyuwangi, kan?”
“Iya, Cak. Tapi aku tak bisa membohongi
diriku sendiri, kuharap ini sekedar rasa kagum, biar nanti tak terlalu sakit”
jawabnya dengan senyum rela.
Entah sampai mana obrolan setelah
permintaan maaf itu. Aku tak begitu mengingatnya.
“Aku ingin mencoba membuka usaha, pingin
lihat peluang.”
“Berapa modalmu?” jawabku sambil
mengotak-atik ponselku. Aku sudah diminta kembali oleh Rekan K. Rapat sudah
menunggu.
“Tak banyak memang, namun cukupkah untuk
membeli motor.”Jawabnya gurau. Setelahnya ia menjelaskan panjang lebar dengan
serius, baru kali ini aku melihatnya banyak bicara.
“Lalu?”aku masih sibuk dengan ponselku,
panggilan dari pemateri untuk acara seminarku esok.
“Akhil, bisa bertemu sekarang? Ada hal
penting yang perlu saya bicarakan.”
“Sekarang?” mata Mas Rifqi langsung
menangkap percakapanku, usai aku menutup telpon ia langsung menyambar.
“Kalau ada acara dan ingin pergi
sekarang tak apa. Au bisa pulang sekarang.”
Aku senyum-senyum saja mendengar
perkataannya. “Tidak, sampai mana tadi?”
“Jangan bilang sama Lisa ya apa yang
kusampaikan tadi.” Dia paham betul kedekatanku dengan adik satu-satunya itu.
“Iya, aku bisa menempatkannya.”
Ia mengindahkan permintaanku kala itu.
Hari itu cukup untukku, mengetahui bahwa ada sisilain dari keintrovertannya.
Keintrovertannya yang cukup menguji kesabaranku. Namun demikian,
keintrovertannya mampu membuatku menulis kembali setelah lebih dari sepuluh
bulan jariku tak menghasilkan karya yang pada kadarnya. Dibalik
keintrovertannya pula ia mengajariku, dialah guru besarku. Wataknya yang
terlihat keras bisa langsung luluh air matanya dengan sedikit kata sentuhan.
Sungguh dirinya dipenuhi kasih sayang. Ia pulang ke Sultan Agung saat sore
tiba.
Rapat sudah berderat, esok pagi sudah
harus berada di lokasi kongres.
“Besok bisa berangkat ke Boyolali
bersamaku?” Tanya Nuris dalam pesan singkatnya.
“Tidak, Cak. Aku harus berangkat pagi.
Cak Nuris bareng bersama arek-arek, nanti kami sudah menyiapkan mobilnya
berangkat setelah dzuhur.”
Boyolali menyambut kami dengan hujan
lebat. Kongres yang diikuti ledih dari 8000 pesertadari seluruh Indonesia
tersebut bertempat di Asrama haji Donohudan yang terletak tak jauh dari bandara
adi Sumarmo Solo, mengingat yang letaknya berada pada perbatasan
Boyolali-Surakarta. Berbagai stand sudah berjajar rapi dan siap menjuah
berbagai khas dari daerahnya. Ada yang menjual: batik, jenang, gantungan kunci
dan kaos dengan gambar logo kongres.
Hari kedua kongres, PKPT ulai bergerak.
Brosur-brosur pengukuhan PKPT kami sebarluaskan di arena kongres, pamflet, MMT
sudah terpampang berjajar dengan gambar-gambar calon ketua umum yang baru.
“Kami IPNU!, kami IPPNU!, Kami
Mahasiswa!, Kami PKPT!” begitulah gemuruh yang terdengar dari tuntutan
mahasiswa di area kongres. Kami berhasil menarik perhatian ketum PP IPNU, kala
itu Khairul anam, untuk konsolidasi. Masalah belum selesai, usai ketum pp
menyetujui pengukuhan PKPT dengan memasukkan aturan khusus dalam PDPRT IPNU
IPPNU ternyata banyak pihak-pihak penyusup yang merusaha mericuhkan.
“NU Komunis! Kalian semua PKI!” seorang
mahasiswa berseru sendirian, ia segera diamanakan, namun ia terus berteriak
“Komunis!, kalian semua PKI!, sesat!”, sayang ia sendirian, suaranya tak begitu
terhiraukan. Diketahui ia seorang mahasiswa disalah satu perguruan tinggi negeri
di Jawa Timur. Herannya berita yang dimuat tak sesuai dengan keadaan.
Mendengar kata “Komunis dan PKI”
sangatlah sensitif bagi telinga orang Indonesia, karena mengingat ketenaran
dari kesadisan partai yang berlambang palu dan arit tersebut pada era orde
lama, yang kemudian hendak berkuasa namun berhasil diruntuhkan pada era orde
baru.
Kericuhan tak berhenti disitu karena
sudah mulai banyak oknum-oknum yang jiwa politiknya mulai tersadar. Terdapat
cerita menarik pada sidang pleno yang akan menentukan ketum PP era 2015-2018.
Peserta ricuh dan kursipun dilempar salah satu peserta kongres yang tak bisa
mengendalikan diri. Yang paling panik adalah presidium, keselamatannya terancam
sedang para pengawal-pengawalnya tentu tak segesit pengawal presiden. Seorang
peserta dari Jawa Tengah terkena kursi yang dilayangkan tersebut, presidium
segera diamankan, sidang ditunda beberapa jam. Akhirnya Asep Irfan dan Puti Hasni
terpilih menjadi ketum PP IPNU IPPNU tahun 2015-2018. Kursi perpolitikan
dimenangkan oleh Jawa Barat dan DIY. Boyolali ricuh, Jateng berduka.
Tinggalkan kongres dengan kericuhannya,
PKPT menang!. Kau lihat guru besarku? Perjuangan ini tak sia-sia, cobalah
sesekali kau rasakan sensasi kekeluargaannya, sensasi perjuangannya, sensasi
segalanya. Tak akan kau dapat semua itu guru besarku, kalau kau terus mengurung
dirimu, biarlah begitu kalau kau ingin tetap bertahan seperti itu.
Sebagai tuan rumah kami mengantar
kawan-kawan yang segera pulang ke Banyuwangi, Surabaya, Nganjuk, Bojonegoro,
Tegal, Cirebon, dst. Sebagian besar dari mereka memang dari Jatim karena memang
disanalah letak basis NU.
“Beberapa menit lagi kerena akan segera
berangkat.” Nuris memperlihatkan tiket keretanya sambil tersenyum padaku.
“Hati-hati, Cak.”
“Iya, tapi... sebelum aku pulang ke
tanah Blambangan, bisakah kau simpankan gelangku ini?” ia juntaikan gelang pada
lengan kirinya.
“Apa maksudmu?”
“Aku telah memakainya selama delapan
tahun.”
Aku masih belum paham maksudnya.
“Aku tahu Banyuwangi-Demak memang tak dekat.
Aku juga tak meminta jawabannya hari ini. Aku cukup tahu diri. Maaf aku tak
membohongi diri.”
Hari itu aku dihujani kata cinta dan aku
masih tetap diam.
“Jagalah baik-baik gelang ini, delapan
tahun ada padaku. Dua tahun berupa tasbih yang kemudian putus dan empat tahun
berupa gelang. Bukannya tak pernah ada yang memintanya, namun aku tak pernah
memberikannya. Aku menunggu jawabanmu sampai silatnas ke-IV di Banyuwangi,
kuharap kau hadir.”
Ia melepas gelang dari tangannya dan
langsung memakaikannya dilengan kiriku.
“Sampai jumpa, kutunggu kau di
Banyuwangi”. Aku masih tetap berdiri ditempatku dan melihati kereta yang
bergerak semakin jauh meninggalkan. Gelang berupa butiran tasbih berwarna merah
hati telah melingkar pada lengan kiriku. Namun demikian fikiranku kacau
berpetualang kemana-mana. Tiba-tiba terhenti saat mengingat guru besarku, Si
Introvert yang lugu itu. Bagaimana kabarnya? Terakhir kudengar ia sakit?
“Kendalikan dirimu, Cak. Kau sadar telah
meninggalkannya begitu jauh?” Tegur Khairul yang memahami betul kondisiku.
“Tetaplah duduk di sampingku, Rul. Bangunkan
aku pada berhentian di statisun berikutnya.
***
Beberapa
bulan telah berlalu, hujan yang tadinya turun setiap hari kini semakin jarang.
Para petani di desaku sudah mulai bersiap menyambut kemarau, sawah-sawahnya tak
lagi ditanami padi, sekarang sudah beralih ketanaman jagung. Dibagian belakang
rumahnya, biasanya terdapat tumpukan padi yang sudah teelepas dari pohonnya,
katanya untuk persediaan selama kemarau. Ya, begitulah masyarakat Jawa, banyak
perhitungannya.
Si kecil Lisa sudah mulai memenuhi BBM, Line-ku:
“mbak, kangen.”, “mbak kapan kesini?”, “mbak sedang apa?”. Aku memahami betul
kesepiannya tapi aku tak sempat membalas semua pesannya, hanya beberapa.
Silatnas ke IV di Banyuwangi telah ditentukan, awal
Februari. Bersamaan dengan agenda kami yang berencana kembali mengunjungi
keluarga di Trimulyo. Semoga tak berada pada tanggal yang sama. Banyuwangi
telah memberi tanggal, 5-7 Februari. Ponselku berbunyi, pesan singkat dari
Fahmi ketua KKN.
“Kawan-kawan KKN, kita ke Trimulyo minggun depan ya,
tanggal 7.” Adhuuuhh.....
Sungguh aku merindukan Trimulyo dan keluarga disana,
si kecil Lisa pasti telah mundak besar.
Aku berangkat ke Banyuwangi menggunakan kereta terakhir pukul 17.00. Kami
sampai di kota yang berjuluk The Sunrise Of Java pukul 09.00 pagi. Banyuwangi
menyambut kami dengan ramah.
“Aku kembalikan gelangmu, Cak. Maaf.”
Bersambung.....