UDOMU MATI
Ditulis
oleh Akhil Bashiroh
Demak,
29 Januari 2016
Terlintas olehku kapan kakakku mati. Biar
penantianku tak begitu lama haruskan aku membunuhnya atau diam dan menunggu
saja dan biarlah kematian yang menjemputnya sendiri. Bagaimana caraku memanggil malaikat pencabut
nyawa agar mempercepat kematiannya.
***
Kepalaku masih pusing berkutat dengan
angka-angka yang belum pas pada tempatnya, juga pelajaran bahasa Indonesia yang
kata-katanya membulat disitu saja. Kakakku meneriakiku meminta kopi.
“Ning, bikinkan aku kopi!” dan aku masih saja diam
ditempat berkutat dengan pelajaranku, sendirian. Tak ada niat sedikitpun dari
kakakku untuk sedikit membantuku yang belum keluar juga dari bahasa dan
bilangan yang membulat ini. Malah berteriak-teriak meinta kpi.
“Ning!! Buatkan aku kopi!” suaranya semakin
meninggi. “Iya” jawabku dengan hati membengkak. Aku antarkan segelas kopi
dengan hati semakin membengkak saat melihatnya duduk bermain remi dengan
kawan-kawannya. Matanya memerah marah saat melihatku datang dan berjalan begitu
lama karena menjaga kopi buatanku agar tak jatuh yang itu pasti akan membuatnya
semakin memencak-mencak.
Beberapa hari yang lalu amarah kakak
semata wayangku kumat, hanya karena hal
sepele. Aku menjatuhkan segelas kopi pada selimutnya, ia yang baru bangun
tidur, matanya yang belum terbuka sempurna membuat amarahnya tak terkendali.
Pagi-pagi aku sudah mendapat sarapan berupa beberapa pisuhan yang keluar dari
marah kakakku. Kala itu ibuku tak ada di rumah, pagi-pagi ibu sudah menanam
padi di sawah yang diwariskan kakek, hanya sepetak. Biarpun aku adik semata
wayang dari kakakku, namun baginya kelahiranku sudah menjadi sebuah kesalahan
baginya, aku menggeser posisinya sebagai anak tunggal_sebelumnya_ yang kini
menjadi anak pertama dan aku anak terakhir.
Aku tidak akan melupakan semua yang
dilakukan kakakku padaku, saban hari pasti ada saja kesalahanku biarpun aku
sudah melakukan semua dengan sebaik mungkin. Kakakku yang pengangguran,
sebelumnya ia adalah seorang mahasiswa jurusan fisika yang cerdas, beberapa
bulan kuliah ia keluar, ayahku meninggal. Pekerjanan sebagai kuli bangunan dan
pemanggul kayu ia jalani usai meninggalkan kuliahnya, namun juga tak bertahn
lama. Pergaulannya dengan anak-anak desa yang urakan mulai menyurupinya,
malas-malasan bekerja, main remi di pos ronda atau sekedar di rumah dan
mancari-cari kesalahanku sebagai hiburan saban harinya. Saban kali diingatkan
ibu, suaranya akan meninggi. Tak jarang ibu mengeluarkan air matanya karena
itu. Bersyukur kakakku tak main tangan, nuraninya belum semua terkuras. Entah
apa yang membuatnya berubah. Kelakuannya semakin buruk, keras kepala, dan
manganggap dirinya yang paling benar, semua keinginannya harus ada. Semua itu
tak sesuai: yang seharusnya ia menjadi kepala keluarga setelah sepeninggal
ayah, dialah satu-satunya laki-laki dalam keluarga.
Suatu hari pintu berderit keras, kakak
membanting daun pintunya. Seperti biasa, kemarahannya memuncak dan langsung
mencariku, kala itu aku masih berumur 12 tahun, aku dengan tidak sengaja
menghilangkan papan catur milik kakakku, aku bermain-main dengan kawan sebayaku
sepulang dari sekolah, karena katakutan aku langsung berlari dan sembunyi di
kamar dengan isak tangis yang tak tertahan, yang aku biasanya bersembunyi
dibalik baju ibuku saat kakakku marah, ibuku belum juga pulang dari ladang yang
jaraknya lumayan jauh dari rumah. Kakakku semakin marah karena aku kabur dari
amarahnya, ia menghampiriku yang masih bersembunyi di balik bantal doraemon
kesayanganku. Kakakku menemukanku.
“Dasar anak sialan, harusnya kau tak lahir. Kau
selalu saja mengganggu hidupku. Ibu selalu membelamu, selalu menyayangimu.”
Sadar tangannya yang mencekikku tak juga dilepaskan biarpun melihatku kesakitan
yang menangis tanpa suara, aku kesulitan bernafas. Kakak baru melepaskan
tangannya dari leherku saat seseorang mengetuk pintu. Ibu datang.
“Ada apa ini?” ibu bertanya dengan raut muka yang
begitu lelah. “Ada apa, Udo? Kamu bertengkar lagi dengan adikmu?” Ibu belum
menyadari apa yang terjadi. Kakak langsung berlari keluar dan meninggalkan
kami.
“Ada apa, Ning?” ibu mengalihkan pertanyaannya
padaku. “Tidak ada apa-apa, Bu.” Aku takut mengatakan yang sebenarnya terjadi.
Biarlah ini menjadi suatu yang takkan pernah ibu ketahui. Aku tak tega melihat
ibu menangis karena tahu anaknya yang tadinya pemarah kini berubah menjadi
psikopat.
***
Kejadian itu menutup masa kecilku yang
suram. Kesuraman itu tak berhenti juga kala dewasa menghampiriku. Ibuku semakin
renta, kakakku juga belum sembuh dari main reminya, malah semakin menjadi. Aku
meninggalkan mereka di rumah yang merupakan satu-satunya harta yang keluarga
kami miliki. Tanah dan rumah kami yang sebelumnya : terbuat dari jati yang
kokoh, diatapi genting yang kuat, penyekat-penyekat kamar juga terbuat dari
jati-jati yang tebal mengkilap, lantainya masih berkeramik putih bersih,
halaman rumah masih cukup ditanami beberapa bunga-bunga dan beberapa pohon
cabai, terong dan tomat_ kini tinggal sepetak tanah yang tak begitu luas, papan
rumah beralih terbuat dari gedhek –bambu-bambu tipis yang dianyam-, atapnya burupa
genteng yang mulai kehitaman, sekat-sekat kamar juga terbuat dari bahan yang
sama, gedhek. Semua, sawah, sebagian tanah rumah sudah dijual untuk berobat ibu
dan menuruti keserakahan kakakku yang semakin menjadi. Kebencian kakakku
terhadapku semakin menjadi saat aku berhasil diterima disalah satu perguruan
swasta di Demak, biarpun begitu kini aku sedikit berani untuk membela diriku
sendiri. Saban akhir pekan kuusahan untuk pulang, sekedar untuk merawatnya.
Hanya ibu satu-satunya alasannku untuk menyempatkan pulang.
Kebiasaan kecil belum juga hilang, saban
di rumah kakak selalu mencari-cari kesalahanku, bukan malah menanyakan
keadaanku, bagaimana pendidikaku, malah berbagai kata-kata yang tak mengenakkan
dihantamkan padaku.
“Sudah tahu Ibu sakit, harusnya kau tak usah kuliah,
menghabiskan uang ibu saja. Itu rawat ibumu yang sudah renta. Dari kecil sampai
sekarang kau tak hentinya merepotkanku.”
“Mas kan di rumah, setiap akhir pekan aku juga
selalu pulang. Untuk kuliah aku juga meminta uang pada ibu juga sama Mas.”
Pembelaanku. Kakakku terdiam, “ Apa karena aku tak di rumah maka mengurangi
waktumu untuk remi? Kaulah yang menghabiskan uang ibu, Mas.”
“Diam, kau!. Kau anak kemarin sore. Jangan membantah
masmu yang sudah banyak makan garam dibanding kau!” ia kembali membanting daun
pintu dan keluar.
Hatiku cukup tersakiti dengan kejadian
masa kecil dulu, kini semakin menjadi lara. Pernah suatu kala kakakku tiba-tiba
memelukku dengan isak tangis yang membuncah, ia meminta maaf dan tidak akan
mengulang kesalahannya kembali padaku dan ibu. Namun itu sudah beberapa tahun
yang lalu, kini dia sudah lupa dan mungkin janji-janjinya ikut luntur bersama
baju-baju ibu yang kucuci. Juga sudah tak membekas bak sampah yang digiring banjir
lalu berhamburan dan berpindah tempat diselokan-selokan tetangga. Nuraninya
semakin mati, hatinya kian kaku, kelakuannya tak ada yang bisa menebak,
barang-barang habis sudah dibantinginya kala keinginannya tak terpenuhi, untuk
kedua kalinya aku menyebutnya : Psikopat!
***
Batuk ibu semakin parah, kadang beberapa
kali mengeluarkan darah. Yang sebelumnya setiap akhir pekan aku pulang, kini
saban dua-tiga hari aku menyempil waktuku dan menyempatkan pulang untuk merawat
ibu. Aku tak begitu mempercayakannya pada kakakku.
“Mas, ayo kita bawa ibu ke rumah sakit, batuknya
semakin parah.” Kakakku masih saja duduk di kursi yang ada di sudat kamar ibuku
dengan sebatang rokok yang terselempit jelas diantara kedua jarinya sambil
menyeruput kopi. “Mas! Ibu mas!” ia tak juga menghiraukan perkataanku. Biar,
dari pada kau duduk di pojokan situ, tak berbuat apa-apa bukankah sebaiknya kau
tertidur dalam liang lahatmu. Kemarahanku membuncah, sesekali terlintas
keinginanku untuk mengirim kakakku tidur di bawah batu nisannya, mempercepat
kematiannya. Tapi tidak, ibu pasti akan sedih dan kerepotan untuk mengurus jesadnya
yang berat itu. Aku juga akan ikut kerepotan untuk mencari biaya pengkuburan
dan acara tujuh hariannya.
“Ibu, kita ke rumah sakit ya?” sambil terus aku
ciumi tangan ibu yang tinggal tulang terlapis kulit yang tipis. “Tidak usah,
Ibu baik-baik saja” ibu meyakinkanku kalau keadaannya baik.
Malam ini anak-anak kecil di desa riuh, mereka
memainkan kebang api untuk menyambut Idul Fitri yang tinggal beberapa hari,
hujan kembang api menghiasi langit malam, membentuk payung-payung lalu pecah
dan menghujani desa dengan cahaya-cahaya yang indah. Kini bintang-bintang mulai
punya pesaing, percikan api membuncah tinggi seperti menantang dan menggodainya
dengan turun kembali ke bumi. Tak cukup satu, beberapa kembang api sudah
disiapkan sejak sore tadi oleh anak-anak kecil di desa.
Wajah ibu mulai sedikit bercahaya,
kesehatan mulai mengunjunginya, saban hari keadaannya semakin membaik. Tapi
sudah beberapa hari ini kakakku tidak pulang. Ia tahu aku mendapatkan liburku
menjelang idul fitri.
“Bu,,, Bu...” Suara Arga tergesa-gesa. Ia tetangga
kami juga kawan kakakku.
“Ada apa, Ga?” jawab Ibu yang masih duduk di ambin
ditemani aku. “Udo, Bu. Udo.” Nafasnya tersengal-sengal. “Udo mati, Bu.
Dipinggiran sawah Pak Kamto.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar