Senin, 01 Februari 2016

Cerpen: Udomu Mati

UDOMU MATI
Ditulis oleh Akhil Bashiroh
Demak, 29 Januari 2016

Terlintas olehku kapan kakakku mati. Biar penantianku tak begitu lama haruskan aku membunuhnya atau diam dan menunggu saja dan biarlah kematian yang menjemputnya sendiri.  Bagaimana caraku memanggil malaikat pencabut nyawa agar mempercepat kematiannya.
***
Kepalaku masih pusing berkutat dengan angka-angka yang belum pas pada tempatnya, juga pelajaran bahasa Indonesia yang kata-katanya membulat disitu saja. Kakakku meneriakiku meminta kopi.
“Ning, bikinkan aku kopi!” dan aku masih saja diam ditempat berkutat dengan pelajaranku, sendirian. Tak ada niat sedikitpun dari kakakku untuk sedikit membantuku yang belum keluar juga dari bahasa dan bilangan yang membulat ini. Malah berteriak-teriak meinta kpi.
“Ning!! Buatkan aku kopi!” suaranya semakin meninggi. “Iya” jawabku dengan hati membengkak. Aku antarkan segelas kopi dengan hati semakin membengkak saat melihatnya duduk bermain remi dengan kawan-kawannya. Matanya memerah marah saat melihatku datang dan berjalan begitu lama karena menjaga kopi buatanku agar tak jatuh yang itu pasti akan membuatnya semakin memencak-mencak.
Beberapa hari yang lalu amarah kakak semata wayangku  kumat, hanya karena hal sepele. Aku menjatuhkan segelas kopi pada selimutnya, ia yang baru bangun tidur, matanya yang belum terbuka sempurna membuat amarahnya tak terkendali. Pagi-pagi aku sudah mendapat sarapan berupa beberapa pisuhan yang keluar dari marah kakakku. Kala itu ibuku tak ada di rumah, pagi-pagi ibu sudah menanam padi di sawah yang diwariskan kakek, hanya sepetak. Biarpun aku adik semata wayang dari kakakku, namun baginya kelahiranku sudah menjadi sebuah kesalahan baginya, aku menggeser posisinya sebagai anak tunggal_sebelumnya_ yang kini menjadi anak pertama dan aku anak terakhir.
Aku tidak akan melupakan semua yang dilakukan kakakku padaku, saban hari pasti ada saja kesalahanku biarpun aku sudah melakukan semua dengan sebaik mungkin. Kakakku yang pengangguran, sebelumnya ia adalah seorang mahasiswa jurusan fisika yang cerdas, beberapa bulan kuliah ia keluar, ayahku meninggal. Pekerjanan sebagai kuli bangunan dan pemanggul kayu ia jalani usai meninggalkan kuliahnya, namun juga tak bertahn lama. Pergaulannya dengan anak-anak desa yang urakan mulai menyurupinya, malas-malasan bekerja, main remi di pos ronda atau sekedar di rumah dan mancari-cari kesalahanku sebagai hiburan saban harinya. Saban kali diingatkan ibu, suaranya akan meninggi. Tak jarang ibu mengeluarkan air matanya karena itu. Bersyukur kakakku tak main tangan, nuraninya belum semua terkuras. Entah apa yang membuatnya berubah. Kelakuannya semakin buruk, keras kepala, dan manganggap dirinya yang paling benar, semua keinginannya harus ada. Semua itu tak sesuai: yang seharusnya ia menjadi kepala keluarga setelah sepeninggal ayah, dialah satu-satunya laki-laki dalam keluarga.
Suatu hari pintu berderit keras, kakak membanting daun pintunya. Seperti biasa, kemarahannya memuncak dan langsung mencariku, kala itu aku masih berumur 12 tahun, aku dengan tidak sengaja menghilangkan papan catur milik kakakku, aku bermain-main dengan kawan sebayaku sepulang dari sekolah, karena katakutan aku langsung berlari dan sembunyi di kamar dengan isak tangis yang tak tertahan, yang aku biasanya bersembunyi dibalik baju ibuku saat kakakku marah, ibuku belum juga pulang dari ladang yang jaraknya lumayan jauh dari rumah. Kakakku semakin marah karena aku kabur dari amarahnya, ia menghampiriku yang masih bersembunyi di balik bantal doraemon kesayanganku. Kakakku menemukanku.
“Dasar anak sialan, harusnya kau tak lahir. Kau selalu saja mengganggu hidupku. Ibu selalu membelamu, selalu menyayangimu.” Sadar tangannya yang mencekikku tak juga dilepaskan biarpun melihatku kesakitan yang menangis tanpa suara, aku kesulitan bernafas. Kakak baru melepaskan tangannya dari leherku saat seseorang mengetuk pintu. Ibu datang.
“Ada apa ini?” ibu bertanya dengan raut muka yang begitu lelah. “Ada apa, Udo? Kamu bertengkar lagi dengan adikmu?” Ibu belum menyadari apa yang terjadi. Kakak langsung berlari keluar dan meninggalkan kami.
“Ada apa, Ning?” ibu mengalihkan pertanyaannya padaku. “Tidak ada apa-apa, Bu.” Aku takut mengatakan yang sebenarnya terjadi. Biarlah ini menjadi suatu yang takkan pernah ibu ketahui. Aku tak tega melihat ibu menangis karena tahu anaknya yang tadinya pemarah kini berubah menjadi psikopat.
***
Kejadian itu menutup masa kecilku yang suram. Kesuraman itu tak berhenti juga kala dewasa menghampiriku. Ibuku semakin renta, kakakku juga belum sembuh dari main reminya, malah semakin menjadi. Aku meninggalkan mereka di rumah yang merupakan satu-satunya harta yang keluarga kami miliki. Tanah dan rumah kami yang sebelumnya : terbuat dari jati yang kokoh, diatapi genting yang kuat, penyekat-penyekat kamar juga terbuat dari jati-jati yang tebal mengkilap, lantainya masih berkeramik putih bersih, halaman rumah masih cukup ditanami beberapa bunga-bunga dan beberapa pohon cabai, terong dan tomat_ kini tinggal sepetak tanah yang tak begitu luas, papan rumah beralih terbuat dari gedhek –bambu-bambu tipis yang dianyam-, atapnya burupa genteng yang mulai kehitaman, sekat-sekat kamar juga terbuat dari bahan yang sama, gedhek. Semua, sawah, sebagian tanah rumah sudah dijual untuk berobat ibu dan menuruti keserakahan kakakku yang semakin menjadi. Kebencian kakakku terhadapku semakin menjadi saat aku berhasil diterima disalah satu perguruan swasta di Demak, biarpun begitu kini aku sedikit berani untuk membela diriku sendiri. Saban akhir pekan kuusahan untuk pulang, sekedar untuk merawatnya. Hanya ibu satu-satunya alasannku untuk menyempatkan pulang.
Kebiasaan kecil belum juga hilang, saban di rumah kakak selalu mencari-cari kesalahanku, bukan malah menanyakan keadaanku, bagaimana pendidikaku, malah berbagai kata-kata yang tak mengenakkan dihantamkan padaku.
“Sudah tahu Ibu sakit, harusnya kau tak usah kuliah, menghabiskan uang ibu saja. Itu rawat ibumu yang sudah renta. Dari kecil sampai sekarang kau tak hentinya merepotkanku.”
“Mas kan di rumah, setiap akhir pekan aku juga selalu pulang. Untuk kuliah aku juga meminta uang pada ibu juga sama Mas.” Pembelaanku. Kakakku terdiam, “ Apa karena aku tak di rumah maka mengurangi waktumu untuk remi? Kaulah yang menghabiskan uang ibu, Mas.”
“Diam, kau!. Kau anak kemarin sore. Jangan membantah masmu yang sudah banyak makan garam dibanding kau!” ia kembali membanting daun pintu dan keluar.
Hatiku cukup tersakiti dengan kejadian masa kecil dulu, kini semakin menjadi lara. Pernah suatu kala kakakku tiba-tiba memelukku dengan isak tangis yang membuncah, ia meminta maaf dan tidak akan mengulang kesalahannya kembali padaku dan ibu. Namun itu sudah beberapa tahun yang lalu, kini dia sudah lupa dan mungkin janji-janjinya ikut luntur bersama baju-baju ibu yang kucuci. Juga sudah tak membekas bak sampah yang digiring banjir lalu berhamburan dan berpindah tempat diselokan-selokan tetangga. Nuraninya semakin mati, hatinya kian kaku, kelakuannya tak ada yang bisa menebak, barang-barang habis sudah dibantinginya kala keinginannya tak terpenuhi, untuk kedua kalinya aku menyebutnya : Psikopat!
***
Batuk ibu semakin parah, kadang beberapa kali mengeluarkan darah. Yang sebelumnya setiap akhir pekan aku pulang, kini saban dua-tiga hari aku menyempil waktuku dan menyempatkan pulang untuk merawat ibu. Aku tak begitu mempercayakannya pada kakakku.
“Mas, ayo kita bawa ibu ke rumah sakit, batuknya semakin parah.” Kakakku masih saja duduk di kursi yang ada di sudat kamar ibuku dengan sebatang rokok yang terselempit jelas diantara kedua jarinya sambil menyeruput kopi. “Mas! Ibu mas!” ia tak juga menghiraukan perkataanku. Biar, dari pada kau duduk di pojokan situ, tak berbuat apa-apa bukankah sebaiknya kau tertidur dalam liang lahatmu. Kemarahanku membuncah, sesekali terlintas keinginanku untuk mengirim kakakku tidur di bawah batu nisannya, mempercepat kematiannya. Tapi tidak, ibu pasti akan sedih dan kerepotan untuk mengurus jesadnya yang berat itu. Aku juga akan ikut kerepotan untuk mencari biaya pengkuburan dan acara tujuh hariannya.
“Ibu, kita ke rumah sakit ya?” sambil terus aku ciumi tangan ibu yang tinggal tulang terlapis kulit yang tipis. “Tidak usah, Ibu baik-baik saja” ibu meyakinkanku kalau keadaannya baik.
Malam ini anak-anak kecil di desa riuh, mereka memainkan kebang api untuk menyambut Idul Fitri yang tinggal beberapa hari, hujan kembang api menghiasi langit malam, membentuk payung-payung lalu pecah dan menghujani desa dengan cahaya-cahaya yang indah. Kini bintang-bintang mulai punya pesaing, percikan api membuncah tinggi seperti menantang dan menggodainya dengan turun kembali ke bumi. Tak cukup satu, beberapa kembang api sudah disiapkan sejak sore tadi oleh anak-anak kecil di desa.
Wajah ibu mulai sedikit bercahaya, kesehatan mulai mengunjunginya, saban hari keadaannya semakin membaik. Tapi sudah beberapa hari ini kakakku tidak pulang. Ia tahu aku mendapatkan liburku menjelang idul fitri.
“Bu,,, Bu...” Suara Arga tergesa-gesa. Ia tetangga kami juga kawan kakakku.
“Ada apa, Ga?” jawab Ibu yang masih duduk di ambin ditemani aku. “Udo, Bu. Udo.” Nafasnya tersengal-sengal. “Udo mati, Bu. Dipinggiran sawah Pak Kamto.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar