JAWABAN PENJAGA KASIR
Ditulis oleh Akhil Bashiroh
Demak, 19 Januari 2016
“Sudahlah jangan menangis, toh juga tak jauh.”
“Tapi, tetap saja judulnya kita akan berpisah to,
Qi.”
“Kamu akan selalu menjadi sahabatku, Ning.”
“Tidak mau.” Uning masih saja menangis sesenggukan
seperti anak kecil. “Lalu, apa maumu?”
“Belikan aku es krim, sekarang kan ulang tahunku.”
“Cuma itu?” Ifqi menyengir lalu merangkulku dan
membelikanku es krim.
Aku mulai memilih milah es krim yang aku
inginkan, Ifqie hanya mengikutiku dibalik punggungku, sesekali dia juga memilih
beberapa makanan ringan yang diiginkannya. Toko itu berdiri tak jauh dari
kampusku, hanya berjarak lebih kurang dua ratusan. Diluar masih gerimis yang
lumayan akan membuatku kuyup kalau nekat keluar dari toko. Aku lanjutkan saja
memilih es krim yang aku inginkan, aku takkan mengeluarkan uang sepeserpun
untuk mendapatkan es krim ini, hari ini kan ulang tahunku, 24 juni.
“Qi, aku mau yang ini ya?” sambil
kuangkat beberapa batang es krim pilihanku. “Iya, ambil saja sesukamu, Ning”
aku tak melihatnya Cuma mendengar suaranya dua meter dibalik punggungku.
“jadi semua berapa, Mbak?”
“tujuh puluh satu ribu.”
“Terimakasih atas kunjungannya.”
Gerimis semakin deras, aku menunggunya
reda sambil duduk dan menikmati beberapa es krimku di depan toko yang sama, aku
duduk dengan kaki selonjoran dan memainkan beberapa jariku yang tertetes hujan.
Sejenak kupejamkan mata, hujan mulai menaburi wajahku, tangan kiriku menjulur
menadahi beberapa air hujan dan tangan kananku masih memegang erat es krim agar
tetap terjaga dan tak jatuh.
“Apa yang kau lakukan!” Ifqi datang dan
menarik tanganku, “Kau tak lihat hujan begini, kau seperti anak kecil saja
bermain hujan, siapa yang akan bertanggung jawab kalau kamu sakit? Aku juga
yang akan susah, harus memaksamu minum obat, setiap pagi mengantarkan bubur ke
kontrakanmu.”
“Kau adalah sabahatku yang terbaik.”
Jawabku sambil menyengir.
“Kau harus biasakan tanpa aku, kau harus
mandiri, kau juga harus lulus kuliah tepat waktu, jangan sering bolos karena
organisasimu itu.”
“Kan ada kamu yang bisa mengisi kolom
kehadiranku, kau sudah kuajari tanda tanganku bukan?” aku masih saja
memain-mainkan selonjoran kakiku sambil menjilati es krimku yang mulai meleleh.
“Dasar bodoh, anak curut ini masih saja
manja dan tak dewasa.”
“Tak usah mengumpat, aku bisa dengar.
Sudah nikmati saja es krim mu itu.”
Biarpun dia laki-laki tapi tak kalah
cerewet denganku. Sahabat karipku, Ifqi. Kami dipertemukan pada sebuah
universitas yang sama, fakultas yang sama, jurusan yang sama juga prodi yang
sama. Tak jarang kami saling menjitak, bukan sering lagi kami saring meledek,
dan hampir tiap hari kami saling menyalahkan. Namun berawal dari situlah
persahabatan kami, tak pernah ada kesepakatan “Kita Bersahabat”, juga tak
pernah ada persetujuan untuk saling peka. Karena persahabatan bukanlah sebuah
kesepakatan. Persahabatan juga bukan sebuah perjanjian untuk tidak meinggalkan
satu sama lainnya, karena sejauh apapun jarak antara sahabat bukan menjadi
alasan putusnya sebuah persahabatan, persahabatan juga bukan merupakan sebuah
dalil untuk menuntut dan selalu ada.
Perawakannya kurus tinggi, rambut ikal
dan berkulit bersih, matanya belok dan logatnya juga ngapak medok, dia asli
Tegal. Saat tertawa akan terlihat giginya yang putih dan besar-besar. Hidungnya
macung dan berkolaborasi dengan apik bersama pipinya yang ramping, sayang
alisnya tak melengkung rapi dan memperindah matanya yang belok itu. Hem
kotak-kotak berpasang dengan jins adalah favoritnya. Dia bisa menaiki kendaraannya supra fit
-keluaran terbaru- dengan kecepatan 100/Km perjam. Warna-warna gelap adalah
kesukaannya meskipun saat ia memakainya akan membuat tubuhnya terlihat lebih
kurus. Aku mengenalnya dengan baik,
bukan? Biarpun bagi sebagian besar kawannya menganggap dia adalah orang yang
pendiam dan tak mudah bersosialisasi.
Aku kembali menutup mataku dan
membiarkan wajahku terkena rintik. Aku tadahkan kedua tanganku untuk menampung
hujan semuatnya, es krimku sudah habis. Saat mambuka mataku aku tersadar dan
celingukan mencari-cari Ifqi, tergesa-gesa aku kembali masuk ke dalam toko dan kutanyakan
pada wanita penjaga kasir namun aku tak diberinya jawaban. Hanya wajah heran
yang disuguhkan.
“Dimana sahabatku yang duduk di
sebelahku tadi?” aku terus mendesak bertanya. “Yang tadi kesini bersamaku?”
“Kamu datang kesini sendirian mbak.”
Penjaga kasir akhirnya memberi jawaban.
Aku kembali keluar dari toko dan duduk, Aku tersadar dan tubuhku lunglai. Beberapa
tahun lalu usai membelikanku es krim, hujan mulai reda dan kami meninggalkan
toko dengan berlari. Sebuah mobil hampir saja menabrakku namun aku
terselamatkan dan Ifqi terjatuh pada pangkuanku dengan darah yang mengalir
bercampur gerimis, dia telah pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar