Senin, 01 Februari 2016

Cerpen: Jawaban Penjaga Kasir

JAWABAN PENJAGA KASIR
Ditulis oleh Akhil Bashiroh
Demak, 19 Januari 2016

“Sudahlah jangan menangis, toh juga tak jauh.”
“Tapi, tetap saja judulnya kita akan berpisah to, Qi.”
“Kamu akan selalu menjadi sahabatku, Ning.”
“Tidak mau.” Uning masih saja menangis sesenggukan seperti anak kecil. “Lalu, apa maumu?”
“Belikan aku es krim, sekarang kan ulang tahunku.”
“Cuma itu?” Ifqi menyengir lalu merangkulku dan membelikanku es krim.
Aku mulai memilih milah es krim yang aku inginkan, Ifqie hanya mengikutiku dibalik punggungku, sesekali dia juga memilih beberapa makanan ringan yang diiginkannya. Toko itu berdiri tak jauh dari kampusku, hanya berjarak lebih kurang dua ratusan. Diluar masih gerimis yang lumayan akan membuatku kuyup kalau nekat keluar dari toko. Aku lanjutkan saja memilih es krim yang aku inginkan, aku takkan mengeluarkan uang sepeserpun untuk mendapatkan es krim ini, hari ini kan ulang tahunku, 24 juni.
“Qi, aku mau yang ini ya?” sambil kuangkat beberapa batang es krim pilihanku. “Iya, ambil saja sesukamu, Ning” aku tak melihatnya Cuma mendengar suaranya dua meter dibalik punggungku.
“jadi semua berapa, Mbak?”
“tujuh puluh satu ribu.”
“Terimakasih atas kunjungannya.”
Gerimis semakin deras, aku menunggunya reda sambil duduk dan menikmati beberapa es krimku di depan toko yang sama, aku duduk dengan kaki selonjoran dan memainkan beberapa jariku yang tertetes hujan. Sejenak kupejamkan mata, hujan mulai menaburi wajahku, tangan kiriku menjulur menadahi beberapa air hujan dan tangan kananku masih memegang erat es krim agar tetap terjaga dan tak jatuh.
“Apa yang kau lakukan!” Ifqi datang dan menarik tanganku, “Kau tak lihat hujan begini, kau seperti anak kecil saja bermain hujan, siapa yang akan bertanggung jawab kalau kamu sakit? Aku juga yang akan susah, harus memaksamu minum obat, setiap pagi mengantarkan bubur ke kontrakanmu.”
“Kau adalah sabahatku yang terbaik.” Jawabku sambil menyengir.
“Kau harus biasakan tanpa aku, kau harus mandiri, kau juga harus lulus kuliah tepat waktu, jangan sering bolos karena organisasimu itu.”
“Kan ada kamu yang bisa mengisi kolom kehadiranku, kau sudah kuajari tanda tanganku bukan?” aku masih saja memain-mainkan selonjoran kakiku sambil menjilati es krimku yang mulai meleleh.
“Dasar bodoh, anak curut ini masih saja manja dan tak dewasa.”
“Tak usah mengumpat, aku bisa dengar. Sudah nikmati saja es krim mu itu.”
Biarpun dia laki-laki tapi tak kalah cerewet denganku. Sahabat karipku, Ifqi. Kami dipertemukan pada sebuah universitas yang sama, fakultas yang sama, jurusan yang sama juga prodi yang sama. Tak jarang kami saling menjitak, bukan sering lagi kami saring meledek, dan hampir tiap hari kami saling menyalahkan. Namun berawal dari situlah persahabatan kami, tak pernah ada kesepakatan “Kita Bersahabat”, juga tak pernah ada persetujuan untuk saling peka. Karena persahabatan bukanlah sebuah kesepakatan. Persahabatan juga bukan sebuah perjanjian untuk tidak meinggalkan satu sama lainnya, karena sejauh apapun jarak antara sahabat bukan menjadi alasan putusnya sebuah persahabatan, persahabatan juga bukan merupakan sebuah dalil untuk menuntut dan selalu ada.
Perawakannya kurus tinggi, rambut ikal dan berkulit bersih, matanya belok dan logatnya juga ngapak medok, dia asli Tegal. Saat tertawa akan terlihat giginya yang putih dan besar-besar. Hidungnya macung dan berkolaborasi dengan apik bersama pipinya yang ramping, sayang alisnya tak melengkung rapi dan memperindah matanya yang belok itu. Hem kotak-kotak berpasang dengan jins adalah favoritnya.  Dia bisa menaiki kendaraannya supra fit -keluaran terbaru- dengan kecepatan 100/Km perjam. Warna-warna gelap adalah kesukaannya meskipun saat ia memakainya akan membuat tubuhnya terlihat lebih kurus.  Aku mengenalnya dengan baik, bukan? Biarpun bagi sebagian besar kawannya menganggap dia adalah orang yang pendiam dan tak mudah bersosialisasi.
Aku kembali menutup mataku dan membiarkan wajahku terkena rintik. Aku tadahkan kedua tanganku untuk menampung hujan semuatnya, es krimku sudah habis. Saat mambuka mataku aku tersadar dan celingukan mencari-cari Ifqi, tergesa-gesa aku kembali masuk ke dalam toko dan kutanyakan pada wanita penjaga kasir namun aku tak diberinya jawaban. Hanya wajah heran yang disuguhkan.
“Dimana sahabatku yang duduk di sebelahku tadi?” aku terus mendesak bertanya. “Yang tadi kesini bersamaku?”
“Kamu datang kesini sendirian mbak.” Penjaga kasir akhirnya memberi jawaban.
Aku kembali keluar dari toko dan duduk,  Aku tersadar dan tubuhku lunglai. Beberapa tahun lalu usai membelikanku es krim, hujan mulai reda dan kami meninggalkan toko dengan berlari. Sebuah mobil hampir saja menabrakku namun aku terselamatkan dan Ifqi terjatuh pada pangkuanku dengan darah yang mengalir bercampur gerimis, dia telah pergi.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar