Senin, 01 Februari 2016

      Cerita dari Boyolali
Ditulis oleh Akhil Bashiroh
                                                          Demak, 18 Desember 2015



Sebuah cerita bersambung....
“Akhil... Bangun! Cepat solat subuh, sudah hampir pukul 06.00 itu.” Ibu meneriakiku.
“Sudah solat tadi, Bu. Aku hari ini tidak jadi ke semarang saja ya, Bu. Aku mau di rumah saja, tidur.”
“Hust,, tidak boleh seperti itu, ayo bangun. Ibu sudah siapkan semua.”
“Aku malas ke Semarang, Bu.”
“Cepat bangun Akhil, ,,” Ibu masih saja meneriakiku dari dapur. “Kamu butuh apa lagi? Mau bawa beras tidak?”
“Terserah, Bu.” Jawabku yang masih malas-malasan di tempat tidurku.
“Akhil... Bangun! Kamu dengar ibu apa tidak? Anak perawan kok jam segini belum bangun! Nanti rejekimu dipatok ayam!” Ibu mulai menceramahiku dalam teriakannya.
 “ Iya, Bu, iya.. lima menit lagi” aku masih menawarnya.
 “Bangun sekarang! Akhiiilll...” Ibu terus saja meneriakiku.”Iya Ibu, iya.”
Kusengaja tak bangun pagi hari ini, ada jadwal bertemu dengan kawan KKn dulu, yang berencana berkunjung ke tempat KKN kami, Desa Trimulyo, Demak.
Namaku akhil, nama yang begitu sulit untuk mengucapkan. Hanya orang yang memahami makhorijul khuruf dengan baik yang akan langsung bisa dan benar mengucapkan namaku. Bukan orang tuaku yang memberi nama itu melainkan kakekku, ayah dari ibuku. Aku dilahirkan dari keluarga yang biasa saja, hidup di desa yang masih kental dengan budaya, khususnya budaya agama islam atau islam yang dibudayakan? entahlah. Aku memiliki nasab agamis, entah itu menjadi sebuah keberuntungan atau sebaliknya, aku dilahirkan dari silsilah istri keempat dari moyangku, ayah dari kakekku. Maklumi saja KIAI jaman dahulu memiliki istri lebih dari satu adalah wajar, mungkin sekarang juga tak jauh beda bahkan sudah menjadi umum.
Aku bukan peranakan jawa asli, ada darah Melayu dalam diriku, entah berapa gumpal atau bahkan tetes. Aku mendapatkannya bukan dari orang tuaku melainkan dari moyangku, moyang putri. Moyang putri asli peranakan Singapura, berdarah melayu. Ada beberapa yang memanggilku, “Ning”. Ah, tapi aku tak suka dengan panggilan itu, membuatku tak nyaman. Mungkin karena nasab itu aku dipanggilnya “Ning”. Sungguh aku membenci panggilan itu.
Ning, dalam ungkapan jawa khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah seorang wanita yang memiliki nasab atau seorang putri KIAI. Digambarkan seorang wanita yang halus, lemah lembut, selalu menunduk saat berbicara dengan lawan jenisnya, dan sendhiko dhawuh juga sebagian besar adalah seorang penghafal Al-Qur’an didikan pondok pesantren. Mungkin sebuah gambarang wanita sempurna.
Ning, sangatlah bertolak belakang denganku, orang tuaku bukan kiai hanya saja aku terlahir dari nasab itu, aku lebih suka berpetualang dari pada berada di rumah yang dikelilingi pondok, gemar dengan lingkaran diskusi, terbiasa dengan asap rokok (biarpun demikian aku tak begitu suka dengan asap rokok), dan sering berteriak dan memperjuangkan “NU harus Jaya!”. Aku aktivis ulung.
Ibu sudah meyiapkan semua kebutuhanku dalam tas, baju-bajuku, buku, laptop dan tak ketinggalan sembako yang pagi tadi ditawarkannya, lebih kurang bisa untuk hidup satu sampai dua minggu kedepan di kos. Biarpun demikian aku harus tetap mendapatkan uang sakuku. Aku masih setengah hati untuk berangkat ke Semarang. HPku berdering, panggilan dari Fahmi kawan KKNku, ya, memintaku segera ke Semarang karena semua sudah menunggu. Satu jam jarak dari rumahku ke kampus. Aku mendapati mereka memasang muka kecewa, aku datang terlambat dan segera minta maaf.
“Ayo cepat, kita sudah kesiangan.” Semua bergegas untuk berangkat, aku tak diberinya istirahat seberapa perlu. Aku menurut saja.
“Mbaaak...” Si kecil Lisa sudah menyambut kami sambil menemplok dibalik daun pintu.
“Adiikk... Lisa bagaimana kabarnya?” Aku menghampiri dan langsung memeluknya.
“Kangen sama Mbak Akhil dan kangen sama semua.”
Ini kunjungan pertama kami setelah beberapa bulan meninggalkan rumah penuh kenangan 40 hari itu. Kami disambut hanyat oleh ibu dan bapak yang sudah seperti orang tua kami sendiri, juga anak termanjanya, Rifqi.tak saban waktu dia mau keluar dan bicara sepatah dua kata dengan kami, setelah bersalaman ia langsung mencari tempat yang membuatnya nyaman, sendirian, di serambi  rumahnya yang dahulu sering aku pakai untuk membaca barang dua tiga lembar.
“Tadi macet?”
“Iya,, sempat salah jalan juga, Mas. Dan bla...bla...bla..” seperti biasa aku lebih banyak kata dibandingkan dia, Mr.Introvert.
            Hari itu kuhabiskan hariku bersama keluarga KKNku, ngomong ngalor-ngidul, senda gurau ramai, yang awalnya suasana hati tak enak, lupakan.
“Aku tunggu di Semarang ya, Mas.” Kataku sebelum berpamitan pulang, entah dia mengindahkan permintaanku atau tidak. Kami kembali ke Semarang saat matahari mulai kekuningan dan meredup lalu hilang.
***


Semarang kota atlas, Semarang kota budaya, Semarang kota belajar, Semarang kota tugas, Semarang kota kerja keras, begitulah anggapanku mengenai kota yang berbatasan dengan Demak itu. Berbeda dengan di rumah, rumah adalah surgaku, bisa sepuasnya tidur, makanpun tak harus dipikirkan, ada ibu, ah ibu kaulah yang terbaik.
 Capekku belum juga hilang, ponselku berbunyi adalah panggilan dari Rekan K memintaku datang ke Komisariat, secepatnya. Aku mengiyakannya, peduli pula dengan hal itu, namun aku tetap ingin beristirahat barang satu dua jam. sore harinya aku baru menemui.
“Persiapkan semua, Khil”
“Apa?”
“Pertemuan Pengurus Komisariat Perguruan Tinggi (PKPT) Nasional di Bojonegoro. Kita berangkat besok pagi menggunakan kereta pertama.”
Aku sudah menangkap arah percakapannya, ia menjelaskan panjang lebar semua agenda yang akan dibahas pada pertemuan besar itu. Belum lagi aku mengiyakan dia terus berbicara.
“Kita akan berangkat ber 4, karena rekan G tidak bisa hadir maka banyak yang harus kita selesaikan. Semua berkas yang harus kau pelajari akan segera kau dapat dalam e-mailmu sore ini juga.”
Berkas-berkas yang dijanjikan Rekan K sudah dikirim, ditemani secangkir teh hangat aku belum bersemangat untuk membacai lembaran file tersebut, kubuka folder kenangan KKN-ku, foto si kecil Lisa yang terlihat akur dengan kakaknya yang manja itu menyita mataku, rasanya baru kemarin aku bertemu dengan mereka, namun sudah terasa begitu lama dan kerinduan mulai menggodai.
“Sudahlah” aku menyadarkan diri. Aku melawan diri supaya tidak terusik keriduan. Mulai kupelajari berkas-berkas yang ada di depanku. Isinya tak jauh beda dengan yang kubayangkan, berupa beberapa agenda dan randown acara, tak akan begitu banyak menyita otak, tinggal mengikuti. Aku lanjutkan membuka e-mail yang kedua, dari Rekan G.
“Bawa hasil dari pertemuan SILATNAS yang ke-4 ini, tarik semua masa dari Jawa Timur atau yang hadir dalam pertemuan untuk hadir di Unnes H-3 kongres IPNU IPPNU di Boyolali.”
Aku sedikit mengerutkan dahi dan paham betul maksud dari pesan tersebut. Akan ada gerakan besar-berasan pada kongres di Boyolali nanti. Persiapannya pasti panjang, akan banyak pekerjaan satu sampai tiga minggu kedepan. Aku harus mengundur jadwal untuk menemui Mas Rifqi di Unnes, relakan.
Aku langsung mengabari Mas Rifqi dan ia menyetujui tanpa menawarnya sedikitpun, aku sedikit lega setidaknya dia mengerti. Belum sempat aku menaruh ponselku, terdengar panggilan dari Rekan K yang mengabarkan kita kehabisan tiket kereta dan memutuskan menggunakan motor malam ini juga, pikirnya jalanan akan sepi dan perjalanan kami tentunya lebih cepat. Aku langsung menyibukkan diri dengan beberapa lipatan baju, peralatan mandi, peralatan solat semua telah masuk kedalam tas, aku masih punya waktu satu jam untuk tidur sebelum perjalanan ke Bojonegoro tengah malam nanti.
Pertemuan dengan mas Rifqi sudah dipastikan diundur, kekecewaan mulai terlupakan. Cahaya subuh sudah kami dapati di Bojonegoro, kami disambut dengan deretan kebun salak sebelum kami diantarkan ke penginapan. Kegiatan berjalan sedikit molor dari randown yang ditetapkan, tak begitu berpengaruh. Tinggal malam terakhir, diskusi puncak persiapan kongres yang sudah di depan mata.
“Kita harus perjuangkan PKPT!! Biarpun kita sudah legal, kita harus tetap menegaskan.” Gebuan Nuris setelah beberapa saat diskusi dimulai.
“Iya, Rek. Pokoknya kita harus berjuang dan membawa hasil di kongres nanti.” Sahut Deni, seorang asli peranakan Surabaya.
“Mungkin ada usulan dari Semarang?” Sela pemantik.
Sebagai PKPT tertua yang saat itu berdiri tahun 2000. Aku mulai menawarkan dengan tenang.
“Kami berharap seluruh PKPT Nasional pada H-3 kongres dapat berkumpul di Semarang, Unnes. Kami akan mengfasilitasi, kita gelar forum dengan isian dialog bersama ketum pusat IPNU IPPNU, kita buat konsolidasi dan membangun masa terlebih dahulu sebelum kita bersama-sama berangkat dari Semarang ke Boyolali. Karena meningat kita merupakan Romli (rombongan liar) yang tidak mendapatkan hak suara juha hak bicara dalam kongreng, kami rasa ini sangatlah penting.”
Serentak semua mengatakan “Setuju!!”, yang terjaun ataupun yang terdekat dipastikan datang. Acara selesai menjelang subuh dan pagi harinya kami harus kembali ke Semarang.
“Hati-hati, Cak.” Teman-teman dari Banyuwangi mendahului plang.
“Nanti, pasti aku datang ke Semarang.”  Ucap Nuris padaku sebelum pulang.
“Kami tunggu, Cak”
Tak ada yang spesial.
***
Persiapan di Semarang tak begitu matang, banyak kegiatan berjajar antri untuk diselesaikan oleh orang-orang yang sama, disini pribahasa “berat sama dijinjing, ringan sama dipikul” tidak berlaku. Keegoisan masih banyak bertebaran dan rasa peka masih malu-malu bersembunyi.
Tergambar betul raut kekecewaan pada peserta PKPT Nasional yang datang di Semarang, kami gagal mendatangkan ketum pusat untuk konsolidasi.
“Tak apa-apa, kami memaklumi.” Tegur Nuris
“Maafkan kami, Cak. Kau sudah datang jauh-jauh dari Banyuwangi.” Dialah yang datang terawal menaiki bus umum dari Banyuwangi ke Semarang. Entah berapa ratus kilo yang ia tempuh, maafkan, Cak.
“Perjuangan kita tidak berakhir, tapi sedang dimulai. Jangan patah arang.”
“Tentu, Cak” jawabku pasrah.
“Kamu suka menulis?” Nuris mulai mengalihkan fokus, mungkin harapanny bisa menghiburku.
“Iya, menulis seadanya, Cak. ‘Tulisanmu kurang elegan’ada yang bilang begitu. Jawabku senyum. Kamu sendiri, Cak?”
“Sama, adillah sejak dalam pikiran, sudah mau menulis itu sudah lebih baik daripada tak mau menulis sama sekali. Akupun pasti abadikan ceritaku sepulang dari Semarang nanti.”
“Baiklah, aku tunggu karya terbaikmu, Cak” jawabku basa-basi.
“Tentu.”
Aku mengenal Nuris sejak Pertemuan di Bojonegoro, ia ketua PKPT di salahsatu perguruan tinggi swasta di Jawa paling timur. Watak dan kemauannya keras, ia punya banyak mimipi bukan sebatas untuk tanah kelahirannya Bumi Blambangan, Tapi untuk negerinya, Indonesia. Impiannya : Indonesia bisa lebih maju dibandingkan Amerika. Kata-katanya lebih kasar dibandingkan orang suku jawa, ia seorang Osing, suku asli dari Banyuwangi.
“Aku tunggu di Semarang hari Rabu ya, Mas.” Aku ingin menemui Mas Rifqi sbelum keberangkatanku ke Kongres, masih ada sela-sela hariku yang bisa kupakai untuk menemuianya.
“Oke.” Seperti biasa jawabnya singkat. Ya begitulah dia. Aku mengenalnya lewat kebaikannya yang sering menolongku saat KKN dulu, tapi aku lebih banyak mengenal kejelekannya dabalik kebaikannya. Setidaknya dia adalah orang yang murni dari kepentingan “kongres”. Aku ingin sedikit menyegarkan otakku dengan menemuinya. Belum ada yang spesial darinya, ia biasa saja. Kuharap hati dan dirinya masih murni, jernih sepertia air. Tapi sepertinya aku “mulai” lelah untuk memulai, dia orang yang terlalu pasif.
“Es dengan dengan sirup, Bu.” Sesampainya dia di Semarang aku langsung membawanya ke sebuah kedai eg degan. Ukurannya tak begitu besar, kira-kira 4x3 M, sekelilingnya berderet pepohonan sehingga membuat angin menjadi sejuk.
“Aku dengan saja, Bu.”aku sengaja tak memesan es, tubuhku mulai runtuh.
“Maaf, maaf aku terlambat.” Dia mulai membuka percakapan dengan meminta maaf atas keterlambatannya.
“Tidak apa-apa, hanya terlambat dua jam.” jawabku berusaha santai. Sebenarnya waktu dua jam sangatlah berarti bagiku. Dua jam aku menunggu ditemani oleh nuris, aku tak mengatakan padanya kaau aku sedang menunggu Mas Rifqi. Tak perlu kusampaikan juga, barang tak perlu.
“Sudahlah, Cak.” Deni mengagetkanku.
“Ku tahu kalau aku menyukainya, tapi kubiarkan dia pergi menemui orang lain.”
“Waktumu tak banyak, Cak. Usai dari kongres kau harus pulang ke Banyuwangi, kan?”
“Iya, Cak. Tapi aku tak bisa membohongi diriku sendiri, kuharap ini sekedar rasa kagum, biar nanti tak terlalu sakit” jawabnya dengan senyum rela.
Entah sampai mana obrolan setelah permintaan maaf itu. Aku tak begitu mengingatnya.
“Aku ingin mencoba membuka usaha, pingin lihat peluang.”
“Berapa modalmu?” jawabku sambil mengotak-atik ponselku. Aku sudah diminta kembali oleh Rekan K. Rapat sudah menunggu.
“Tak banyak memang, namun cukupkah untuk membeli motor.”Jawabnya gurau. Setelahnya ia menjelaskan panjang lebar dengan serius, baru kali ini aku melihatnya banyak bicara.
“Lalu?”aku masih sibuk dengan ponselku, panggilan dari pemateri untuk acara seminarku esok.
“Akhil, bisa bertemu sekarang? Ada hal penting yang perlu saya bicarakan.”
“Sekarang?” mata Mas Rifqi langsung menangkap percakapanku, usai aku menutup telpon ia langsung menyambar.
“Kalau ada acara dan ingin pergi sekarang tak apa. Au bisa pulang sekarang.”
Aku senyum-senyum saja mendengar perkataannya. “Tidak, sampai mana tadi?”
“Jangan bilang sama Lisa ya apa yang kusampaikan tadi.” Dia paham betul kedekatanku dengan adik satu-satunya itu.
“Iya, aku bisa menempatkannya.”
Ia mengindahkan permintaanku kala itu. Hari itu cukup untukku, mengetahui bahwa ada sisilain dari keintrovertannya. Keintrovertannya yang cukup menguji kesabaranku. Namun demikian, keintrovertannya mampu membuatku menulis kembali setelah lebih dari sepuluh bulan jariku tak menghasilkan karya yang pada kadarnya. Dibalik keintrovertannya pula ia mengajariku, dialah guru besarku. Wataknya yang terlihat keras bisa langsung luluh air matanya dengan sedikit kata sentuhan. Sungguh dirinya dipenuhi kasih sayang. Ia pulang ke Sultan Agung saat sore tiba.
Rapat sudah berderat, esok pagi sudah harus berada di lokasi kongres.
“Besok bisa berangkat ke Boyolali bersamaku?” Tanya Nuris dalam pesan singkatnya.
“Tidak, Cak. Aku harus berangkat pagi. Cak Nuris bareng bersama arek-arek, nanti kami sudah menyiapkan mobilnya berangkat setelah dzuhur.”
Boyolali menyambut kami dengan hujan lebat. Kongres yang diikuti ledih dari 8000 pesertadari seluruh Indonesia tersebut bertempat di Asrama haji Donohudan yang terletak tak jauh dari bandara adi Sumarmo Solo, mengingat yang letaknya berada pada perbatasan Boyolali-Surakarta. Berbagai stand sudah berjajar rapi dan siap menjuah berbagai khas dari daerahnya. Ada yang menjual: batik, jenang, gantungan kunci dan kaos dengan gambar logo kongres.
Hari kedua kongres, PKPT ulai bergerak. Brosur-brosur pengukuhan PKPT kami sebarluaskan di arena kongres, pamflet, MMT sudah terpampang berjajar dengan gambar-gambar calon ketua umum yang baru.
“Kami IPNU!, kami IPPNU!, Kami Mahasiswa!, Kami PKPT!” begitulah gemuruh yang terdengar dari tuntutan mahasiswa di area kongres. Kami berhasil menarik perhatian ketum PP IPNU, kala itu Khairul anam, untuk konsolidasi. Masalah belum selesai, usai ketum pp menyetujui pengukuhan PKPT dengan memasukkan aturan khusus dalam PDPRT IPNU IPPNU ternyata banyak pihak-pihak penyusup yang merusaha mericuhkan.
“NU Komunis! Kalian semua PKI!” seorang mahasiswa berseru sendirian, ia segera diamanakan, namun ia terus berteriak “Komunis!, kalian semua PKI!, sesat!”, sayang ia sendirian, suaranya tak begitu terhiraukan. Diketahui ia seorang mahasiswa disalah satu perguruan tinggi negeri di Jawa Timur. Herannya berita yang dimuat tak sesuai dengan keadaan.
Mendengar kata “Komunis dan PKI” sangatlah sensitif bagi telinga orang Indonesia, karena mengingat ketenaran dari kesadisan partai yang berlambang palu dan arit tersebut pada era orde lama, yang kemudian hendak berkuasa namun berhasil diruntuhkan pada era orde baru.
Kericuhan tak berhenti disitu karena sudah mulai banyak oknum-oknum yang jiwa politiknya mulai tersadar. Terdapat cerita menarik pada sidang pleno yang akan menentukan ketum PP era 2015-2018. Peserta ricuh dan kursipun dilempar salah satu peserta kongres yang tak bisa mengendalikan diri. Yang paling panik adalah presidium, keselamatannya terancam sedang para pengawal-pengawalnya tentu tak segesit pengawal presiden. Seorang peserta dari Jawa Tengah terkena kursi yang dilayangkan tersebut, presidium segera diamankan, sidang ditunda beberapa jam. Akhirnya Asep Irfan dan Puti Hasni terpilih menjadi ketum PP IPNU IPPNU tahun 2015-2018. Kursi perpolitikan dimenangkan oleh Jawa Barat dan DIY. Boyolali ricuh, Jateng berduka.
Tinggalkan kongres dengan kericuhannya, PKPT menang!. Kau lihat guru besarku? Perjuangan ini tak sia-sia, cobalah sesekali kau rasakan sensasi kekeluargaannya, sensasi perjuangannya, sensasi segalanya. Tak akan kau dapat semua itu guru besarku, kalau kau terus mengurung dirimu, biarlah begitu kalau kau ingin tetap bertahan seperti itu.
Sebagai tuan rumah kami mengantar kawan-kawan yang segera pulang ke Banyuwangi, Surabaya, Nganjuk, Bojonegoro, Tegal, Cirebon, dst. Sebagian besar dari mereka memang dari Jatim karena memang disanalah letak basis NU.
“Beberapa menit lagi kerena akan segera berangkat.” Nuris memperlihatkan tiket keretanya sambil tersenyum padaku.
“Hati-hati, Cak.”
“Iya, tapi... sebelum aku pulang ke tanah Blambangan, bisakah kau simpankan gelangku ini?” ia juntaikan gelang pada lengan kirinya.
“Apa maksudmu?”
“Aku telah memakainya selama delapan tahun.”
Aku masih belum paham maksudnya.
 “Aku tahu Banyuwangi-Demak memang tak dekat. Aku juga tak meminta jawabannya hari ini. Aku cukup tahu diri. Maaf aku tak membohongi diri.”
Hari itu aku dihujani kata cinta dan aku masih tetap diam.
“Jagalah baik-baik gelang ini, delapan tahun ada padaku. Dua tahun berupa tasbih yang kemudian putus dan empat tahun berupa gelang. Bukannya tak pernah ada yang memintanya, namun aku tak pernah memberikannya. Aku menunggu jawabanmu sampai silatnas ke-IV di Banyuwangi, kuharap kau hadir.”
Ia melepas gelang dari tangannya dan langsung memakaikannya dilengan kiriku.
“Sampai jumpa, kutunggu kau di Banyuwangi”. Aku masih tetap berdiri ditempatku dan melihati kereta yang bergerak semakin jauh meninggalkan. Gelang berupa butiran tasbih berwarna merah hati telah melingkar pada lengan kiriku. Namun demikian fikiranku kacau berpetualang kemana-mana. Tiba-tiba terhenti saat mengingat guru besarku, Si Introvert yang lugu itu. Bagaimana kabarnya? Terakhir kudengar ia sakit?
“Kendalikan dirimu, Cak. Kau sadar telah meninggalkannya begitu jauh?” Tegur Khairul yang memahami betul kondisiku.
“Tetaplah duduk di sampingku, Rul. Bangunkan aku pada berhentian di statisun berikutnya.
***
            Beberapa bulan telah berlalu, hujan yang tadinya turun setiap hari kini semakin jarang. Para petani di desaku sudah mulai bersiap menyambut kemarau, sawah-sawahnya tak lagi ditanami padi, sekarang sudah beralih ketanaman jagung. Dibagian belakang rumahnya, biasanya terdapat tumpukan padi yang sudah teelepas dari pohonnya, katanya untuk persediaan selama kemarau. Ya, begitulah masyarakat Jawa, banyak perhitungannya.
Si kecil Lisa sudah mulai memenuhi BBM, Line-ku: “mbak, kangen.”, “mbak kapan kesini?”, “mbak sedang apa?”. Aku memahami betul kesepiannya tapi aku tak sempat membalas semua pesannya, hanya beberapa.
Silatnas ke IV di Banyuwangi telah ditentukan, awal Februari. Bersamaan dengan agenda kami yang berencana kembali mengunjungi keluarga di Trimulyo. Semoga tak berada pada tanggal yang sama. Banyuwangi telah memberi tanggal, 5-7 Februari. Ponselku berbunyi, pesan singkat dari Fahmi ketua KKN.
“Kawan-kawan KKN, kita ke Trimulyo minggun depan ya, tanggal 7.” Adhuuuhh.....
Sungguh aku merindukan Trimulyo dan keluarga disana, si kecil Lisa pasti telah  mundak besar. Aku berangkat ke Banyuwangi menggunakan kereta terakhir pukul 17.00. Kami sampai di kota yang berjuluk The Sunrise Of Java pukul 09.00 pagi. Banyuwangi menyambut kami dengan ramah.
“Aku kembalikan gelangmu, Cak. Maaf.”
Bersambung.....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar