Senin, 01 Februari 2016

Cerpen : Tarian Hujan

TARIAN HUJAN
Ditulis oleh Akhil Bashiroh
Demak, 30 januari 2016

Setiap kali hujan datang, aku sering kali menyambutnya dengan cara menadahkan wajahku, membiarkan setiap bagian dari mukaku dihujani air dari langit, lalu aku tersenyum usai mukaku di belai halus oleh titik titik bekas air hujan yang berupa butiran-butiran seperti embun pagi yang menyegarkan. Aku selalu menyukai hujan sampai suatu hari aku tidak lagi menyukai hujan.
***
Petirnya yang menyambar-nyambar aku anggap bagian terindah saat hujan turun. Aku membayangkannya: hujan adalah dentingan piano dan petir adalah dramnya. Malam itu hujan menyapu jalanan dengan derasnya, petir menyambar kesana kemari tak beraturan dan memaksa anak-anak kecil yang tadinya menari riang gembira di bawah hujan berlari masuk ke dalam rumah dan berlindung dibalik daster ibunya.
“Ibu... Ibu... ada petir, langit sedang marah, Bu. Petirnya mengkilat-kilat di langit dan menyambar pohon kelapa Pak Zainal, Bu.”
“Ayo cepat mandi, keringkan badanmu dan pakai baju yang hangat. Jangan keluar rumah saat hujan petir begini. Kau paham?”. “Iya, Bu” si kecil yang kini menjadi  anak tunggal dalam rumah itu berlari dan sesegera melaksanakan perintah ibunya.
“Semoga rumah Pak Zaini tak tertimpa pohon kelapanya yang tersambar petir. Semoga banjir tidak datang.” Gumam si Ibu dalam doa sambil menutup semua jendela rumahnya agar air hujan tak masuk.
Suara hujan masih berirama di luar,terdengar lirih dari dalam kamarku. Ada beberapa istri yang keluar rumah dan sesekali menengok apakah suaminya sudah pulang, dan ada juga beberapa ibu yang menunggu anaknya pulang sekolah dengan raut wajah tak pasti. Dengan memegangi payung sambil berdiri di depan rumah sering kali raut wajahnya berubah-ubah. Sepertinya takdir sedang mempermainkannya. Terlihat dari kejauhan seorang anak kecil yang seperti anaknya, semakin dekat dan dilihatnya, namun itu bukan anaknya. Sehingga membuat ibu tersebut harus melanjutkan penantiannya.
Pertunjukan hujan semakin menjadi-jadi. Suaranya semakin deras dan diimbangi dengan petir yang juga semakin mengeras. Air mulai berdatangan dari segala penjuru, dari selokan-selokan rumah warga, dari sungai-sungai kecil yang meluap dan kiriman dari bukit belakang desa kami. Pohon yang tadinya tersambar petir kini telah terbawa arus, rumah-rumah yang memiliki bangunan tak terlalu tinggi telah tergenang air setinggi lutut anak kecil, warnanya coklat bercampur bau berbagai sampah yang teraduk, banjir datang.
Ibu-ibu yang tadinya hanya sesekali mengintip dari jendela, semua riuh panik dan keluar rumah. Si ibu yang mesih menunggu anaknya pulang dari sekolah masih saja berdiri di depan rumahnya yang juga sudah mulai tergenang banjir. Ia sama sekali tak memperdulikannya. Ia masih saja tetap berdiri dan berharap melihat anaknya datang dari kejauhan. Padahal semua orang tahu kalau anak yang ditunggunya tersebut sudah mati beberapa tahun yang lalu terbawa banjir saat pulang sekolah, namun sampai hari ini jasad anak belum juga ditemukan. Ibunya masih saja menyimpan sebuah harapan yang besar, kalau-kalau suatu hari anaknya akan pulang.
“Ibu, Ayo masuk. Nanti ibu sakit.” Aku menjemput ibuku yang masih berdiri di halaman. Aku melihat betul raut kekecewaannya yang menunggu anaknya yang tak kunjung datang. Aku lihat mukanya yang memerah dan air matanya yang tercampur hujan. Hujan telah mengkaburkan mata air mata ibuku sehingga aku tak bisa membedakan mana air mata dan mana air hujan.
“Tidak, aku mau menunggu kakakmu pulang. Kau masuk saja.”
“Kakak tidak akan pulang, Bu.” Aku merangkul halus pundak ibuku dan membawanya masuk. “Ayo, Bu.” Dengan langkah perlahan ia mulai mengikutiku.
***
Sejak kecil aku selalu menyukai hujan, menunggu-nunggunya datang. Entah sekedar menyambutnya dengan cara menadahkan tanganku atau dengan cara menari-nari bersamanya. Hujan membuat hatiku tenang, membuat pikiranku lirih dan tak lagi berberontak. Tak jarang ibu memarahiku karena aku bermain dengan hujan, bercengkrama dengan setiap tetesnya. Aku tak melakukannya sendirian, seringkali aku mengajak teman-teman sebayaku untuk hujan-hujanan, tentu saja orang tua mereka akan marah saat melihatnya, tapi mereka tak pernah absen untuk keluar rumah dan berlarian saat hujan, begitu pula dengan kakak perempuanku.
Semua kenangan manisku tentang hujan masih tertata rapi dalam memori kecilku. Sampai suatu hari aku tak lagi menyukai hujan, hujan merenggut ayah dan kakak perempuanku –sampai hari ini- dan membuat ibuku gila.
Beberapa tahun yang lalu, hari itu hujan deras. Aku dan kakakku masih tertahan di sekolah. Ibu guru tak mengijinkan semua anak muridnya pulang, menunggu sampai hujan reda.  Beberapa anak menuruti dan tak sedikit yang nekat untuk pulang dan tak menghiraukan nasehat ibu guru, termasuk aku dan kakakku. Pikirnya –karena kita sama-sama menyukai hujan- kapan lagi akan mendapatkan kesempatan emas seperti ini: hujan-hujanan!. Saat dirumah pasti ibu tak akan mengijinkan kami untuk keluar rumah saat hujan apalagi bermain hujan-hujanan. Dengan beberapa teman kami nekat untuk pulang, dengan riangnya kami berlarian dan menari-nari dibawah hujan. Tak lagi memperdulikan seragam dan buku-buku kami yang basah, sepatu-sepatu sudah terlepas dari kaki karena hal tersebut memudahkan kami untuk berlari semakin cepat dan menari kian lincah. Banjir datang tapi kami tak memperdulikannya, malah sesekali kami bermain dengan air yang semakin banyak tersebut. Aku melihat kakakku terseret banjir, aku dan teman-temanku menganggapnya sebagai gurauan belaka karena kami sering melakukannya: pura-pura terbawa arus.
Semakin lama-semakin tak terlihat, ternyata kakakku benar-benar terbawa banjir. Aku dan teman-teman terus meneriaki dan mencarinya. Kala itu umurku masih sepuluh tahun, aku berlari pulang sambil menangis.
“Ayahh... Ayah...” ayah memelukku yang masih basah kuyup.
“Dimana kakakmu? Kenapa kamu pulang sendirian?”
“Kakak terbawa banjir, Ayah.” Seketika ayah melepaskan pelukannya dan lari terbirit mencari kakakku. Ibuku yang mendengarnya seketika menangis tersedu, namun tak punya pilihan lain aku dan ibuku tetap dirumah dan menunggu. Tetangga-tetangga yang mengetahui kejadian tersebut ikut berlarian dan menyusul ayahku.
Hujan masih saja mengguyur, malah semakin deras. Petir juga tak henti-hentinya menyambar. Satu jam, dua, jam, tiga jam hingga malam tiba. Banjir mulai surut, sampah sambah yang terbawa banjir mulai berserakan disetiap halaman rumah warga, jalanan dan tanah-tanah tak urungnya bak berubah menjadi sawah dadakan.  Beberapa orang sudah mulai bersibuk membersihkan rumahnya biarpun listrik padam. Ibuku masih saja berdiri dan memelukku di depan rumah. Menunggu ayah dan kakakku kembali. Namun takdir berkata lain, jasad ayahku dibawa pulang oleh beberapa warga sedang kakakku tak ditemukan. Malam itu hujan memadamkan hati ibuku, tangisnya meraung-raung sambi memeluk jasad ayah.
***
Sejak malam itu aku tak lagi menyukai hujan, aku tak lagi menyambutnya dengan menadahkan tangan atau muka, apalagi menati-nari dan bercengkrama, aku tak lagi melakukannya. Yang kulihat kala hujan adalah pandangan mata ibuku yang kosong, harapan-harapan yang tak kunjung terisi, doa-doa yang tak kunjung terkabul, dan kata-kata penghiburku yang terbungkus bui-bui kebohongan.
“Kakak pasti akan pulang, Bu. Tapi nanti kalau ibu sudah sehat dan menghabiskan bubur ini.”
“Benar? Kakakmu akan pulang!?.” Ibuku menjawab kegirangan.

“Iya, Ibu.” Air mataku menetes dipelukannya. Maafkan aku terus memberi harapan-harapan kosong untuk menjaga ibu tetap hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar