TARIAN
HUJAN
Ditulis oleh Akhil Bashiroh
Demak, 30 januari 2016
Setiap kali hujan datang, aku sering
kali menyambutnya dengan cara menadahkan wajahku, membiarkan setiap bagian dari
mukaku dihujani air dari langit, lalu aku tersenyum usai mukaku di belai halus
oleh titik titik bekas air hujan yang berupa butiran-butiran seperti embun pagi
yang menyegarkan. Aku selalu menyukai hujan sampai suatu hari aku tidak lagi
menyukai hujan.
***
Petirnya yang menyambar-nyambar aku
anggap bagian terindah saat hujan turun. Aku membayangkannya: hujan adalah
dentingan piano dan petir adalah dramnya. Malam itu hujan menyapu jalanan
dengan derasnya, petir menyambar kesana kemari tak beraturan dan memaksa
anak-anak kecil yang tadinya menari riang gembira di bawah hujan berlari masuk
ke dalam rumah dan berlindung dibalik daster ibunya.
“Ibu... Ibu... ada petir, langit sedang marah, Bu.
Petirnya mengkilat-kilat di langit dan menyambar pohon kelapa Pak Zainal, Bu.”
“Ayo cepat mandi, keringkan badanmu dan pakai baju
yang hangat. Jangan keluar rumah saat hujan petir begini. Kau paham?”. “Iya,
Bu” si kecil yang kini menjadi anak tunggal
dalam rumah itu berlari dan sesegera melaksanakan perintah ibunya.
“Semoga rumah Pak Zaini tak tertimpa pohon kelapanya
yang tersambar petir. Semoga banjir tidak datang.” Gumam si Ibu dalam doa
sambil menutup semua jendela rumahnya agar air hujan tak masuk.
Suara hujan masih berirama di luar,terdengar
lirih dari dalam kamarku. Ada beberapa istri yang keluar rumah dan sesekali
menengok apakah suaminya sudah pulang, dan ada juga beberapa ibu yang menunggu
anaknya pulang sekolah dengan raut wajah tak pasti. Dengan memegangi payung
sambil berdiri di depan rumah sering kali raut wajahnya berubah-ubah.
Sepertinya takdir sedang mempermainkannya. Terlihat dari kejauhan seorang anak
kecil yang seperti anaknya, semakin dekat dan dilihatnya, namun itu bukan
anaknya. Sehingga membuat ibu tersebut harus melanjutkan penantiannya.
Pertunjukan hujan semakin menjadi-jadi.
Suaranya semakin deras dan diimbangi dengan petir yang juga semakin mengeras.
Air mulai berdatangan dari segala penjuru, dari selokan-selokan rumah warga,
dari sungai-sungai kecil yang meluap dan kiriman dari bukit belakang desa kami.
Pohon yang tadinya tersambar petir kini telah terbawa arus, rumah-rumah yang
memiliki bangunan tak terlalu tinggi telah tergenang air setinggi lutut anak
kecil, warnanya coklat bercampur bau berbagai sampah yang teraduk, banjir
datang.
Ibu-ibu yang tadinya hanya sesekali
mengintip dari jendela, semua riuh panik dan keluar rumah. Si ibu yang mesih
menunggu anaknya pulang dari sekolah masih saja berdiri di depan rumahnya yang
juga sudah mulai tergenang banjir. Ia sama sekali tak memperdulikannya. Ia
masih saja tetap berdiri dan berharap melihat anaknya datang dari kejauhan.
Padahal semua orang tahu kalau anak yang ditunggunya tersebut sudah mati
beberapa tahun yang lalu terbawa banjir saat pulang sekolah, namun sampai hari
ini jasad anak belum juga ditemukan. Ibunya masih saja menyimpan sebuah harapan
yang besar, kalau-kalau suatu hari anaknya akan pulang.
“Ibu, Ayo masuk. Nanti ibu sakit.” Aku menjemput
ibuku yang masih berdiri di halaman. Aku melihat betul raut kekecewaannya yang
menunggu anaknya yang tak kunjung datang. Aku lihat mukanya yang memerah dan
air matanya yang tercampur hujan. Hujan telah mengkaburkan mata air mata ibuku
sehingga aku tak bisa membedakan mana air mata dan mana air hujan.
“Tidak, aku mau menunggu kakakmu pulang. Kau masuk
saja.”
“Kakak tidak akan pulang, Bu.” Aku merangkul halus
pundak ibuku dan membawanya masuk. “Ayo, Bu.” Dengan langkah perlahan ia mulai
mengikutiku.
***
Sejak kecil aku selalu menyukai hujan,
menunggu-nunggunya datang. Entah sekedar menyambutnya dengan cara menadahkan
tanganku atau dengan cara menari-nari bersamanya. Hujan membuat hatiku tenang,
membuat pikiranku lirih dan tak lagi berberontak. Tak jarang ibu memarahiku
karena aku bermain dengan hujan, bercengkrama dengan setiap tetesnya. Aku tak
melakukannya sendirian, seringkali aku mengajak teman-teman sebayaku untuk hujan-hujanan,
tentu saja orang tua mereka akan marah saat melihatnya, tapi mereka tak pernah
absen untuk keluar rumah dan berlarian saat hujan, begitu pula dengan kakak
perempuanku.
Semua kenangan manisku tentang hujan
masih tertata rapi dalam memori kecilku. Sampai suatu hari aku tak lagi
menyukai hujan, hujan merenggut ayah dan kakak perempuanku –sampai hari ini-
dan membuat ibuku gila.
Beberapa tahun yang lalu, hari itu hujan
deras. Aku dan kakakku masih tertahan di sekolah. Ibu guru tak mengijinkan
semua anak muridnya pulang, menunggu sampai hujan reda. Beberapa anak menuruti dan tak sedikit yang
nekat untuk pulang dan tak menghiraukan nasehat ibu guru, termasuk aku dan
kakakku. Pikirnya –karena kita sama-sama menyukai hujan- kapan lagi akan
mendapatkan kesempatan emas seperti ini: hujan-hujanan!. Saat dirumah pasti ibu
tak akan mengijinkan kami untuk keluar rumah saat hujan apalagi bermain
hujan-hujanan. Dengan beberapa teman kami nekat untuk pulang, dengan riangnya
kami berlarian dan menari-nari dibawah hujan. Tak lagi memperdulikan seragam
dan buku-buku kami yang basah, sepatu-sepatu sudah terlepas dari kaki karena
hal tersebut memudahkan kami untuk berlari semakin cepat dan menari kian
lincah. Banjir datang tapi kami tak memperdulikannya, malah sesekali kami
bermain dengan air yang semakin banyak tersebut. Aku melihat kakakku terseret
banjir, aku dan teman-temanku menganggapnya sebagai gurauan belaka karena kami
sering melakukannya: pura-pura terbawa arus.
Semakin lama-semakin tak terlihat,
ternyata kakakku benar-benar terbawa banjir. Aku dan teman-teman terus
meneriaki dan mencarinya. Kala itu umurku masih sepuluh tahun, aku berlari
pulang sambil menangis.
“Ayahh... Ayah...” ayah memelukku yang masih basah
kuyup.
“Dimana kakakmu? Kenapa kamu pulang sendirian?”
“Kakak terbawa banjir, Ayah.” Seketika ayah melepaskan
pelukannya dan lari terbirit mencari kakakku. Ibuku yang mendengarnya seketika
menangis tersedu, namun tak punya pilihan lain aku dan ibuku tetap dirumah dan
menunggu. Tetangga-tetangga yang mengetahui kejadian tersebut ikut berlarian
dan menyusul ayahku.
Hujan masih saja mengguyur, malah
semakin deras. Petir juga tak henti-hentinya menyambar. Satu jam, dua, jam,
tiga jam hingga malam tiba. Banjir mulai surut, sampah sambah yang terbawa
banjir mulai berserakan disetiap halaman rumah warga, jalanan dan tanah-tanah
tak urungnya bak berubah menjadi sawah dadakan. Beberapa orang sudah mulai bersibuk
membersihkan rumahnya biarpun listrik padam. Ibuku masih saja berdiri dan
memelukku di depan rumah. Menunggu ayah dan kakakku kembali. Namun takdir
berkata lain, jasad ayahku dibawa pulang oleh beberapa warga sedang kakakku tak
ditemukan. Malam itu hujan memadamkan hati ibuku, tangisnya meraung-raung sambi
memeluk jasad ayah.
***
Sejak malam itu aku tak lagi menyukai
hujan, aku tak lagi menyambutnya dengan menadahkan tangan atau muka, apalagi
menati-nari dan bercengkrama, aku tak lagi melakukannya. Yang kulihat kala
hujan adalah pandangan mata ibuku yang kosong, harapan-harapan yang tak kunjung
terisi, doa-doa yang tak kunjung terkabul, dan kata-kata penghiburku yang
terbungkus bui-bui kebohongan.
“Kakak pasti akan pulang, Bu. Tapi nanti kalau ibu
sudah sehat dan menghabiskan bubur ini.”
“Benar? Kakakmu akan pulang!?.” Ibuku menjawab
kegirangan.
“Iya, Ibu.” Air mataku menetes dipelukannya. Maafkan
aku terus memberi harapan-harapan kosong untuk menjaga ibu tetap hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar