Ketika
manusia beranggapan bahwa merekalah yang menentukan kehidupan tanpa harus
melakukan sebuah tindakan. Sebuah ironi bukan? Namun apa salahnya ketika
seorang manusia terlahir dengan menggunakan imajinasinya sebagai landasan
perjalanan hidup dia. Tidak bisa dipersalahkan, memang benar. Lalu, kemanakah
manusia yang menjadikan sebuah dunia seperti dunia buatan yang hampar terasa.
Lalu dimanakah sisi positif maupun negatif yang mampu kami peroleh. Khususnya
bagi kami yang minoritas manusia imajinasi bukan manusia logika pada umumnya.
Bukan sebuah ironi kemunafikan, akan tetapi sebuah perantara menuju dunia
mimpi. Ya, dunia mimpi kami adalah dunia imajinasi tanpa batas. Berbeda dengan
dunia mereka, dunia para kaum mayoritas yang menggunakan batasan-batasan
tertentu dalam segala tingkah yang mereka gunakan. Nasiplah yang menuntun kami
dalam segala hal, tentunya nasip imajinasilah yang membimbing kami kedalam
dunia mimpi tanpa batas. Bukan berarti kami, pera kaum minoritas melakukan
segala hal berlandasakan imajinasi tanpa bertindak. Itu salah. Kami menggunakan
sebuah pemikiran yang lepas dari kerasionalan hidup. Lalu dengan sebuah karya
tentunya kami akan menciptakan sebuah dunia dibalik dunia nyata. Ya, dunia
dengan segenap mimpi para kaum minoritas yang akan divisualisasikan dalam
bentuk karya.
Suatu
saat nanti, dunia akan berpihak kepada dunia kami. Tidak bermusuhan ataupun
menimbulkan perang antara dunia imajinasi dan dunia normalis. Melainkan mereka
berdua akan bergencatan senjata, lalu saling menghubungkan pemikiran mereka
kedalam karya. Dengan bantuan sang diktator ulung, meskipun sang diktator
tersebut tidak akan menampakkan wujudnya. Dialah yang memberikan ruh kepada
daging ini. Tanpa harus menjalani permintaan ataupun ritual suci. Hanya saja,
Dia meminta timbal balik melalui tindakan terpuji.
Sore
itu, angin berhembus kedalam rongga-rongga kancing baju. Nikmat dan tenang
terasa, tanpa harus meminta. Malaikat berujar, bahwa angin merupakan sistem
pendingin dunia. Tidak perlu listrik, PLN bahkan tidak di punggut biaya. Bisa
dibilang, suka rela. Dengan berjalannya roda-roda kuda besi yang sudah
dimodifikasi. Ku sambangi setiap tempat yang tidak terlihat adanya gedung
berdiri tinggi disana. Maksudku hanya ingin melepas penat akan aktifitas yang
menjenuhkan. Kuliah, tugas, organisasi. Aktifitas yang menghambat dunia
imajinasiku.
“Dunia
ini dipenuhi manusia-manusia yang dengan bodohnya diatur oleh waktu. Bukankah
mereka yang seharusnya mengatur waktu. Bodoh” Gumamku pada rumput yang
menjulang tinggi. Mengelitiki kakiku tanpa izin.
Dengan
segenap kebodohanku, kusalurkan pula kebodohanku kepada hamparan tanah kosong.
Tajam pengelihatanku, tertuju pada satu titik. Titik buntu kehidupan manusia
yang dibodohi waktu.
“Ya,
sepertinya mereka berkehendak untuk dibodohi oleh waktu. Miris aku melihatnya”
Imbuhku dengan sedikit nada kesal.
Sekesal
apapun aku, bukankah aku hampir sama dengan mereka. Dan juga, bukankah aku
tidak memiliki hak untuk mencampuri urusan waktu mereka. Munafik mungkin.
Lalu,
muncullah angin yang lain. Tapi dengan bentuk yang berbeda. Yang ini merupakan
angin yang memberikan kesejukan hati serta pikiranku. Dialah yang bersikap
layaknya manusia yang memiliki dua dunia. Imajinasi dan normal, itu dunianya.
Walaupaun begitu, setiap pembicaraanku mengenai imajinasi tentunya dia dengan
senang hati menambahkan, menguraikan, menyimpulakan omonganku.
“Sudah
lama kau disini Ar? Bukannya kamu masih ada kuliah kajian sastra dunia?.” Tanya
Vrida tanpa menungguku menyapanya terlebih dahulu.
“Lumayan,
tapi tidak selama mereka” Jawabku sembari menunjuk ke arah mereka yang sedang
bergulat dengan waktu mereka masing-masing.
“Kamu
ini, selalu saja mempermasalahkan itu-itu saja. Masalah manusia yang menjadi babu waktukan?”
“Hahah,
kenapa setiap apa yang aku lontarkan kamu paham. Jadi gak ada geregetnya”
Candaku ke Virda.
“Aku
sudah mengenalmu tiga tahun lebih. Dan selalu pembahasanmu ke situ-situ melulu.
Makanya aku paham apa yang akan kamu bahas.” Sanggah Virda dengan seculi senyum
manis. Ibarat dunia, seorang perempuan memang diciptakan untuk melengkapi,
menghiasi isi dunia tak terkecuali hati pula.
Dunia
ini seakan hati ini, berawal dari membuka mata maka menemukan banyak hal.
Seperti hati pula, ketika berkeinginan untuk membukanya maka dengan sendirinya
aku datang penghias-penghias hati tanpa disadari tentunya.
Mungkin
sebelum aku mengerti mengenai permasalahan dunia, tentunya aku harus mengerti
permasalahan hati terlebuh dahulu. Agar nantinya, dunia imajinasi saling
terhubung antara pikiran dan hati pula. Mulailah memanusiakan manusia, lalu
pahami jati diri tidak terkecuali.
“Oh
iya Ar. Sepertinya suasana ini mirip sekali dengan dunia imajinasimu yang kamu
visualisasikan kedalam bentuk rupa dan sastra kemarin. Terlihat hamparan tanah
kosong, lalu diseberangnya terlihat manusia yang menjalani rutinitas pembodohan
itu. Menurutmu bagaimana?” Tanya Virda tanpa rencana. Memecah semilir angin
yang mulai memasuki rongga-rongga hati.
“Iya
ya, hampir mirip juga. Namun bentuk visualisasinya masih kurang. Dan yang
sempurna ya ini. Bentuk tersempurna yang pernah kita lihat. Maha pencipta
dengan segala bentuk ciptaan yang maha sempurna pula.”
“Hahaha.
Sepertinya aku akan kamu tarik kedalam duniamu Ar. Meskipun kamu tarik, aku
menikmati duniamu dengan memasukan cirikhas duniaku. Kontras dan sebagai
gradasi duniamu.” Ujar Virda pelan. Menyurutkan pikiran imajinasiku. Membuatku
semakin terpesona dengan hiasan terindah dunia, perempuan.
Program
keindahan manusia yang tecipta kedalam bentuk realistis oleh tuhan sangat luar
biasa. Ketika tangan tuhan menggerakkan tangan Nya maka dengan sendirinya dunia
berubah menjadi hiasan yang abadi. Walaupun manusia terlalu bodoh dalam
pemanfaatan keindahan tersebut. Sepintar manusia belum tentum mampu
menghasilkan sebuah maha karya. Bahkan aku, manusia imajinasi yang sedang terkungkung
didalam duniaku sendiri, entah sampai kapan.
“Ar,
pernah belum kamu merasakan segala sesuatu itu membosankan?” Tanya Virda
tiba-tiba.
“Kalau
dipikir-pikir, memang sering juga sih soal kebosanan. Seperti kehidupanku selaku
mahasiswa yang selalu dituntut ini itu. Bukannya mencari solusi, terkadang
dosen membuat para mahasiswanya semakin tertekan. Ya kalau diibaratkan seorang
dosen itu diktator.” Jawabku sembari merasakan semilir angin yang semakin
merasuki rongga-rongga kancing baju, dingin.
“Nah
itu loh Ar. Kehidupan kita ini terdiri atas unsur-unsur kebosanan. Tapi,
bodohnya manusia. Meskipun bosan tetap saja melakukan hal yang membosankan itu.
Lalu dimana letak kehidupan manusia yang sesungguhnya? Sejauh aku memandang, hanya
terlihat mereka-mereka kaum mayoritas yang hilir-mudik bergantian.” Sambung
Virda
“Ya,
aku paham maksudmu. Mereka melakukan kebosanan itu karena tuntutan Vir. Nafkah,
duniawi, nafsu. Itulah bagian kebosanan yang mereka ciptakan sendiri.
Meruntuhkan kebosanan mereka sama saja menghilangkan nyawa mereka.”
“Loh,
bukannya kita hampir sama dengan mereka Ar?” Tanya Virda serius. Sembari
menatapku dengan tajam. Seperti anak panah yang siap diluncurkan ketarget.
“Ya,
kita hampir sama dengan mereka. Tidak perlu munafik juga sih. Hahaha. Walaupun
begitu, saat situasi kebosanan melanda tentunya kita memiliki antisipasi
tersendiri. Salah satu contohnya dengan mengumbar-umbar pikiran imajinasi
kedalam bentuk karya.” Jawabku langsung ke Virda.
Sahut
menyahut itulah kami berdua bila dipertemukan. Tanpa penganggu, hanya dengan
bahasan yang dikata orang normal tidaklah logis. Tapi itulah kamu, dengan
segenap pikiran-pikiran nyeleneh
terkadang mampu menciptakan sebuah dunia dimana dunia tersebut mampu menampung
imajinasi manusia didalamnya.
“Hahahah.
Apapun yang kamu pikirkan tentunya akan memiliki sisi kelemahan jugakan Ar?”
“Itu
sudah pasti. Bergantung pergerakan kita sendiri agar mampu menutupi sisi
kelemahan itu. Bukannya kita pernah di ajar mengenai manusia yang memiliki dua
cara dalam menjalani hidup?”. Tanyaku lagi pada Virda
“Soal
itu ya. Aku masih ingat kok Ar. Manusia diberi kodrat dalam menjalani hidup
terdiri atas dua cara. Yaitu cara hidup yang sesuai logika dan jalan hidup yang
sesuai dengan imajinasi” Jawab Virda tegas.
“Nah
itu, persoalan kehidupan tidak lepas dari kedua cara tersebut. Bergantung
manusianya yang memilih cara hidup tersebut. Logika atau imajinasi. Tinggal
aplikasinya saja sih menurutku. Kita ini terlalu banyak di jejali teori-teori
yang terkadang tidak layak dalam aplikasian di kehidupan nyata. Bukankah begitu
ibu Virda?” Candaku, agar suasana tidak terlalu panas karena
pemikiran-pemikiran aneh kami berdua.
“Ya,
kehidupan itu tidak perlu teori-teori yang seakan-akan mengkaji seluk beluk
kehidupan itu. Manusia itu dipersulit dengan teori mereka sendiri. Sedangkan
tindakan mereka toh nyatanya lepas dari teori yang mereka buat.” Jawaban
singkat Virda.
Sembari
kulihat jam tangan, ternyata waktu sudah menunjukan pukul 17.00. waktu dimana
mereka yang hidup dalam kebosanan yang mereka ciptakan akan memulai aktifitas
baru.
“Dunia
ini nantinya akan terasa hambar bila sebuah kebosanan sama sekali tidak
menghampiri manusia di muka dunia logika ini. Konyol memang, tapi mau bagaimana
lagi. sudah menjadi tuntutan bagi mereka.” Celotehku pada Virda, meski respon
dia hanya senyuman. Tapi, itu sudah lebih dari cukup. Sudah memberi jawaban
tersendiri bagiku.
“Masalah
manusia mau sampai kapan akan sulit di pelajari. Sudahlah, kehidupan mereka
biarlah dijalani dengan cara mereka sendiri. Lalu soal kita berdua biarkan
berjalan apa adanya. Tidak perlu melakukan perdebatan sampai membuang waktu”
Seloroh Virda
“Hahah,
iya. Aku sudah tahu itu. Lalu, tanpa perdebatan akan memungkinkan kebosanan
semakin merajalela. Dan yang membingunkan, apa yang harus kita benahi. Logika,
kebosanan, sistem kehidupan atau bagaimana?”
“Entahlah
Ar. Biarkan kehidupan imajinasi dan logika saling bertemu. Nantinya mereka akan
menemukan jalan masing-masing tanpa harus melakukan perdebatan”
Dan,
perbincangan kami sepertinya harus diselesaikan. Bukan karena bosan, tapi
masalah waktu yang sudah memperlihatkan bahwa matahari sudah lelah dan
memanggil temannya untuk bergantian berjaga, bulan.
“Sudahlah,
soal kehidupan ini biarlah mengalun dengan sendirinya. Tanpa harus kita
mengotak atik struktur alamiahnya. Walaupun sebenarnya kita mulai risih dengan
sistem yang mereka buat Ar”. Pernyataan Virda sekaligus mengakhiri perbincangan
mengenai kehidupan manusia yang masih simpang siur ini.
“Baiklah,
soal itu bisa kita urusi. Aku mulai memahami sistem manusia meski kadang ingin
merubahnya”. Imbuhku.
“Iya
Ar. Oke, sampai jumpa ya. Hati-hati dijalan”. Sembari melambaikan tangan kanan
dengan memberi senyum yang menghiasi duniaku.
“Iya
Vir. Kamu hati-hati dijalan. Eh iya, perdebatan kita mengenai dunia ini belum
maksimal.” Ku lempar senyum padanya yang mulai menjauh.
Kesimpulan
yang kami dapat bahwa dunia itu memiliki sistem tersendiri. Namun merek
(manusia0 yang kadang merubah sistem kodrat dunia tanpa melakukan koordinasi
dengan sang pemilik dunia.