Rabu, 18 Desember 2013

fungsi pelaku dalam cerita


Urutan fungsi pada novel anteping tekad


1. Bu Prawoto dan Ny. Sutarno mengobrol di teras rumah ny. Sutarno
2. Ny. Sutarno dan bapak Sutarno mengobrol di teras rumah
3. Irah pembantu baru Ny. Sutinah mengenang masa lalu dengan menulis di buku hariannya
4. Irah dan warni mengobrol soal mas kardi pacar Warni yang tidak disetujui Ny. Sutarno
5. Gimin mendekati Irah dengan membelikannya baju
6. Keluarga Sutarno mengobrol dengan Irah di rumah
7. Irah menerima surat dari Sukri
8. Irah bingung dengan perasaanya, menerima cinta Sukri walau terpaksa atau tidak, kerena dia sudah terlanjur jatuh cinta pada Sundoro
9. Sundoro meminta tolong Irah menjahit bajunya
10. Irah ngobrol dengan mbok Yem soal perginya Ny. Dan bapak Sutarno ke Surabaya layat
11. Sundoro meminta irah untuk membuatkan untuknya wedang jeruk
12. Rombongan keluarga Utami dan Ny. Sutarno pulang dari rumah saudara
13. Utami ngobrol dengan Sundoro tentang rencana Sundoro melanjutkan kuliah di luar negri
14. Sundoro membuat surat kepada Irah yang  berisikan rasa kasih, dan menyuruh Irah pulang kampung, dan diberikan juga uang, poto dan cincin berlian
15. Ny. Sutarno pulang dari layat saudara
16. Sundoro pulang dari menjemput bapak Semeru,bersama Utami
17. Irah membenahi keadaan ekonomi keluarga dengan uang hasil tabungannya dan dari pemberian Sundoro
18. Irah bekerja sebagai baby siter Ny. Sujoko di Jakarta
19. Ny. Sujoko memperbolehkan Indiah untuk sekolah SMA sore
20. Indiah dan keluarga Sujoko mengantar pak Sujoko ke bandara untuk berangkat tugas ke luar negri
21. Ny. Sujoko melahirkan di rumah sakit St. Carolus
22. Indiah bertemu dengan Isti di rumah Ny. Sujoko
23. Indiah berangkat reunian di rumah Ny. Sunarko pada hari minggu
24. Tiga hari setelah itu, Suwandono yang seangkatan dengan Suparno, dolan ke rumah Ny. Sujoko, bersama Sukri
25. Ny. Sujoko, Suparno dan Indiah membuka paket dari amerika.
26. Sukri bertamu ke Indiah, dan bermaksud membina tali percintaan yang dulu putus sebelum tersambung
27. Indiah mengajak Suwandono ketemu dan membicarakan soal Sukri
28. Indiah mamba surat dari Sundoro yang mengabarkan kelahiran bayinya dan kematian Utami.
29. 1 tahun berlalu tanpa kabar dari Sundoro
30. Suparno datang dan mengatakan dia juga mencintai Indiah, sama seperti Sukri, Suwandono, dan dia mengatakan dia tidak diijinkan pergi mengajar ke luar negeri sebelum menikah, entah dengan siapapun.
31. Indiah kedatangan tamu yang ternyata Sundoro
32. Sundoro dan indiah pulang ke bogor
33. Sundoro dan indiah pergi ke rumah indiah,
34. Sundoro menikah dengan indiah
35. Sundoro dan Indiah pergi menuju rumah Ny. Sutarno
36. Suparno menikah dengan bule jepang






cerita rakyat

Fungsi dan motif pelaku dalam cerita rakyat
“asal mula girikusuma”
Description: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/c/ce/Logo_Unnes.png
Nama :Akhil Bashiroh
Nim:2611412013
Semester 2

Fakultas bahasa dan seni
Universitas negeri semarang
2013

Analisis 31 FUNGSI PELAKU DALAM CERITA RAKYAT

1.      SEORANG DARI PADA AHLI KELUARGA MENINGGALKAN RUMAH (lambang β)
*Mbah hasan muhibat meninggalkan tempat belajarnya, di utus oleh sunan bayat untuk  mencari tempat yang mirip dengan Makkah yaitu dikelilingi oleh gunung, bukit, dan lembah untuk berdakwah dan mengajarkan islam disana.

*motif  pengembaraa :
yaitu mbah hasan muhibat meninggalkan tempat belajarnya guna mengembara atas perintah gurunya yaitu sunan bayat untuk menemukan tembat yang mirip dengan makkah guna menyebarkan islam di tempat tersebut.

2.     SATU LARANGAN DIUCAPKAN KEPADA WIRA(lambang  γ)
*Bila suatu saat nanti telah menemukan tempat untuk berdakwah, maka letakkanlan batu sebagai pembatas, dimana tak akan ada orang yang mampu memasuki wilayahmu kecuali berpakaian menutup aurat.

*motif  larangan diucapkan:
Untuk mencegah orang orang memasuki daerah dakwahnya mbah hasan muhibat tanpa menutup auratnya, sebagaimana seperti islam memerintahkan untuk seluruh umatnya berpakaian sopan dan menutup aurat.


3.     LARANGAN DILANGGAR (lambang δ)
*Suatu hari datang seorang wanita dengan tanpa menggunakan pakaian yang menutup aurat, maka setelah melewati batu yang telah diletakkan oleh mbah hasan muhibat sebagai pembatas akan wilayahnya dan wanita itu seakan akan hanya berputar putar dijalan itu, dan tidak pernah sampai pada tempat tujuannya.

*motif pelanggaran;
Karena ketidak tahuan wanita tersebut sehingga memasuki daerah dakwah mbah hasan muhibat tanpa menggunakan pakaian yang sopan dan menutup aurat.

4.     PENJARAH MEMBUAT PERCUBAAN UNTUK MENINJAU (lambang ε)
*Mengapa menyebarkan islam ditempatku,

*motif penjarah:
Karena tidak terima wilayahnya digunakan mbah hasan muhibat untuk berdakwah menyebarkan agama islam.
5.     PENJARAH MENERIMA MAKLUMAT TENTANG MANGSANYA (lambang ζ )
***?

6.     PENJARAH MENCUBA MEMPERDAYA MANGSANYA DENGAN TUJUAN UNTUK MEMILIKINYA ATAU MEMILIKI KEPUNYAANNYA (lambang η )
Menyerang mbah hasan muhibat untuk tidak menyebarkan islam di tempat yang dianggapnya miliknya, yaitu tempat yang indah yang dikelilingi engan gunung, bukit, dan lembah yang di penuhi dengan bunga.

7.     MANGSA TERPERDAYA DAN DENGAN DEMIKIAN TANPA PENGETAHUANNYA MEMBANTU MUSUHNYA (lambang  θ)
Mbah Hasan Muhibat bertarung dengan naga tersebut untuk mempertahankan wilayahnya guna menyebarkan islam disana.

8.     PENJARAH MENYEBABKAN KESUSAHAN ATAU KECEDERAAN KEPADA SEORANG AHLI DIDALAM SEBUAH KELUARGA(lambang A)
* naga menyerang masyarakat sekitar enggan menggunakan senjata apinya yang keluar dari mulutnya.

*motif penjarah menyerang masyarakat sekitar
Yaitu masih ketidakterimaannya ata tempatnya yang digunakan mbah hasan muhibat berdakwah

9.     KECELAKAAN ATAU KEKURANGAN DIMAKLUMKAN, WIRA DIMINTA ATAU DIPERINTAH, IA DIBENARKAN PERGI ATAU DIUTUSKAN (lambang B)
*untuk membunuh seekor naga yang coba untuk merebut daerah yang ditemukannya (mbah hasan muhibat) untuk menyebarkan islam.

    10. MENCARI BERSETUJU ATAU MEMUTUSKAN UNTUK        BERTINDAK BALAS (lambang C)
           “ dimanakan naga itu berada” maka didatanginya.

11.                        WIRA MENINGGALKAN RUMAH (lambang ↑)
Mbah hasan muhibat pergi kemakkah untuk melaksanakan haji

12.                        WIRA DIUJI, DISOAL, DISERANG DAN LAIN LAIN YANG  MENYEDIAKAN WIRA KEARAH PENERIMAAN SAMA ADA SESUATU ALAT MAGIS ATAU PEMBANTU (lambang D)
***?

13.                        WIRA BERTINDAK BALAS KEPADA TINDAKAN TINDAKAN BAKAL PEMBERI (lambang E)
***?

14.                        WIRA MEMPEROLEH AGEN SAKTI (lambang F)
Sebuah tongkat atau pedang yang digukan untuk membunuh baga yang menyerangnya.
Dua buah batu besar yang melindungi daerah dakwahnya

15.                        WIRA DIPINDAHKAN, DISAMPAIKAN ATAU DIPANDU KETEMPAT TEMPAT  TERDAPATNYA OBJEK YANG DICARI (lambang G)
Wira menaiki mancung untuk ke Makkah dan berlomba dengan “?” namun kalah dan hanya berselisih 1 detik dengan lawannya.

16.                        WIRA DAN PENJARAH TERLIBAT DALAM PERTARUNGAN (lambang H)
Mereka ( mbah hasan muhibat dan seekor naga) terlibat dalam suatu pertarungan.

17.                        WIRA DITANDAI (lambang J)
***?
18.                        PENJARAH DITEWASKAN (lambang  I)
Penjarah ( seekor naga) ditewaskan dalam pertarungan dengan mbah hasan muhibat

19.                        KECELAKAAN ATAU KEKURANGAN AWAL DIATASI     (lambang  K)
***?
20.                        WIRA PULANG (lambang  ↓)
Mbah Hasan Muhibat pulang dari makkah usai melaksanakan haji dan kembali ke tempat asal dakwahnya dimulai, yaitu Girikusuma.

21.                        WIRA DIKEJAR (lambang Pr.)
***??
22.                        WIRA DISELAMATKAN (lambang Rs.)
***??
23.                        WIRA YANG TIDAK DIKENALI, TIBA KENEGERINYA ATAU KE NEGERI LAIN (lambang  O)
***??
24.                        WIRA PALSU MEMPERSEMBAHKAN TUNTUTAN PALSU(lambang L)
***??
25.                        SUATU TUGAS YANG SUSAH DICANDANGKAN KEPADA WIRA (lambang M)
*Mbah hasan muhibat diperintahkan untuk mendirikan masjid dengan secepatnya agar dapat digunakan untuk tempatnya berdakwah, degunakan untuk mengajarkan sholat, mengaji pada masyarakat sekitar.

*motif  perintah dicandangkan:
Mendirikan masjid untuk lebih mempermudah dan memberikan tempat bagi masyarakat yang ingin masuk islam serta mempelajari islam secara sempurna, seperti belajar mengaji, sholat dan lain sebagainya.

26.                        TUGAS DISELESAIKAN (lambang N)
*Mbah Hasan Muhibat berhasil mendirikan masjid hanya dalam waktu 4 jam, dimulai sejak jam 9 malam dan selesai pada jam 1 pagi

*motif penyelesaian:
Supaya lebih cepat dan segera mengajarkan islam didaerah tersebut

27.                        WIRA DIKENALI(lambang Q)
Mbah hasan muhibat sepulangnya dari haji di Makkah, semakin

28.                        WIRA PALSU ATAU PENJARAH DIDEDAHKAN (lambang Ex.)
Penjarah didedahkan dan mati karena terbunuh dalam pertarungan dengan mbah hadi, dan tubuh dari penjarah (naga) itu pun terpotong menjadi 3 bagian

29.                        WIRA DIBERI RUPA BARU (lambang  T)
Mbah hasan muhibat, akhirnya pun dikenal oleh masyarakat sekitar dengan sebutan Mbah Hadi

30.                        PENJARAH PALSU DIHUKUM (lambang U)
***???


31.                        WIRA BERKAHWIN DAN MENAIKI TAHTA (lambang  W)
Akhirnya mbah hasan muhibat pun menaiki tahtanya sebagai penyebar islam di daerah Girikusuma, dan meninggal disana pula serta dimakamkan di bawah perbukitan yang indah yang terdapat di Girikusuma pula, selanjutnya dakwahnya dilanjutkan oleh keturunannya hingga sekarang dan maju dengan pesat.




STRUKTURALISME DAN SEMIOTIK

STRUKTURALISME DAN SEMIOTIK
Oleh:
Drs. Olih Solihat Karso, M.Sn.
Sebuah penelitian atau sebuah tinjauan dalam desain selalu mencari metoda
penelitian atau tinjauan yang tepat, diharapkan hasilnya lebih efektif untuk desain,
designer maupun untuk penggunadesain.
Strukturalisme adalah sebuah pisau alternatif untuk membedah desain secara
langsung dengan melihat struktur atau susunan tanpa melihat historis atau penggalan
waktu pada desain. Sedangkan semiotik adalah ilmu tanda, jadi dengan kajian
strukturalisme dan semiotik, langsung bisa mengungkap secara denotatif dan konotatif
dalam sebuah desain.
1. Strukturalisme menurut Jeans Piaget
Jean Piaget berpendapat bahwa struktur mempunyai tiga sifat, yaitu;
a. Totalitas
Totalitas, Transformasi dan ot6oregulasi/ pengaturan diri. Sebuah Struktur harus
dilihat sebagai suatu totalitas. Meskipun terdiri dari sejumlah unsur yang saling bekaitan
satu sama lain dalam sebuah kesatuan. Dilihat secara hirarkis, sebuah struktur terdiri atas
sejumlah sub-struktur yang terikat oleh struktur yang lebih besar. Struktur merupakan
sesuatu yang dinamis karena di dalamnya ada kaidah transformasi. Jadi pengertian
struktur tidak terbatas pada kon6sep terstruktur, tetapi sekaligus mencakup pengertian
proses menstruktur.
b. Transformasi
Pengertian transformasi menjadikan sifat yang dinamis, hal ini berkaitan dengan
otoregulasi yang ada pada sebuah struktur. Struktur adalah sebuah bangunan yang terdiri
dari berbagai unsur yang satu sama lain saling berkaitan. Dalam setiap perubahan yang
terjadi pada sebuah unsur struktur akan mengakibatkan perubahan pada unsur lain, hal ini
akibat dari hubungan antar unsur menjadi berubah.
c. Otoregulasi
Otoregulasi adalah hubungan antar unsur akan mengatur diri sendiri, bila ada
unsur yang berubah atau hilang, inilah yang dimaksud dengan pengaturan diri atau
otoregulasi (Benny. 1995; ix).
Istilah struktur sering dikaitkan dengan sistem, seperti dua sisi sebuah mata uang.
Perbedaan dan kaitan antara struktur dengan sistem pada konsep Ferdinan de Sausure
tentang relasi sintagmatis dan asosiatif, hubungan sintagmatis adalah hubungan yang
tersusun dalam kombinasi/ gabungan. Hubungan sintagmatis membentuk struktur seperti
rumah beratap joglo (model Jawa Tengah) diberi tiang Romawi pada bagaian mukanya.
Antara unsur Jawa (atap) dan unsur Romawi (tiang) terdapat hubungan sitagmatis. Dalam
analisis bahasa, hubungan semacam ini disebut sebagai hubungan sintagmatis dan linier,
artinya urutan antar unsur bahasa sudah tertentu dan tidak dapat diubah, sebab bila
dirubah maknanyapun akan berubah.
Hubungan sintagmatis itu atau struktural itu terjadi menurut perspektif ruang
karena menyangkut kombinasi antar unsur yang masing-masing mengisi ruang tertentu.
Jadi Langue menurut Saussure adalah suatu pengetahuan dan kesadaran secara kolektif
dimiliki oleh suatu masyarakat mengenai sesuatu hal dalam wilayahnya, seperti sistem
arsitektur masyarakat Jawa menyatukan unsur-unsur atap joglo, tiang, pintu, dan jendela
dengan berbagai bentuk dan ukuran. Demikan pula dengan arsitektur Romawi Kuno
menyatukan unsur-unsur berbagai jenis tiang dan atap, sistem disadari oleh
masyarakatnya secara kolektif. Sistem itu diwujudkan dalan bentuk sesuatu yang
kongkrit oleh Saussure disebut parole, dan dalam kenyataannya disebut struktur.
Dalam pemahaman strukturalisme, sistem/langue dan struktur/parole adalah alat
untuk mengkaji dengan baik gejala adopsi unsur budaya asing. Adopsi dimulai dengan
peminjaman budaya asing, kalau masih dianggap janggal maka statusnya masih pinjaman
(masih dianggap sebagai anggota sistem yang lain). Jika sesuatu unsur dalam sebuah
struktur yang tadinya berasal dari luar sistem itu berada dalam suatu masyarakat maka
terjadilah proses tersebut. Contoh’ Jas (dari sitem pakaian Eropa) yang digunakan dalam
struktur pakaian untuk sholat Idul Fitri dengan sarung dan peci, pada suatu waktu unsur
dari sistem itu sudah menjadi bagian dari sisrtem kita setelah masuk ke dalam struk6tur
pakaian (Benny. 1995; 4).
2. Langue Parole
a.Langue
Langue menurut Saussure adalah suatu pengetahuan dan kesadaran yang dimiliki
secara kolektif oleh suatu masyarakat dalam wilayahnya. Kemudian Rolan Barthes
menegaskan “ it is essentially a collective contract which one must accept in its entirety
if one wishes to communicate moreover, this social product is autonomous”.
Karena merupakan kesepakatan sehingga tidak dapat dikreasikan atau direkayasa
oleh individu. Ini seperti permaianan dengan peraturannya yang disepakati bersamasama,
yang tidak mungkin dibuat atau dirubah oleh pemain secara sendiri-sendiri. Atau
seperti tanda pada mata uang yang resmi, untuk dipergunakan sebagai alat beli sesuai
kwantitasnya dan mempunyai hubungan dengan tanda pada mata uang yang lainnya.
Disini terlihat bahwa langue adalah sistem yang disepakati secara kolektif oleh
masyarkat, instuisi dan aspek sistematis yang menjadikan adanya suatu kesepakatan dan
terhindar dar arbitrary atau tanda yang sewenang-wenang, dan sekaligus menjadikan
suatu tanda yang pasti, ini menentang rekayasa yang datang dari perorangan. Hal ini
merupakan kode yang terjadi karena konvensi masyarakat.
b. Parole
Sedangkan Parole, Berbeda dengan langgue, parole adalah merupakan tindakan nyata
dari individu dengan menggunakan kode dari langue, hal ini dipertegas oleh Roland
Barthes: “parole is essentially an individual act of selection actualization; it is made in
the first place of the combination thanks to wich the speaking subject can use the code of
the language with a view to expressing his personal thought ”.
Jadi parole merupakan suatu tindakan nyata dalam mengungkapkan kode-kode yang
ada dimasyarakat, misalnya pakaian ada tanda, didalamnya ada sistem/ langue (ada
konvensi/ kesepakatan masyarakat) merupakan instuisi misalnya pakaian resmi (parole)
merupakan aksi/ event dari gaya atau pemakaian pakaian resmi tersebut, dan ada
paradigmatiknya atau kecocokannya.
Dalam penggunaan sistem secara nyata, terdapat suatu prinsif yang disebut
prinsif diperensi atau prinsif perbedaan yang diakibatkan oleh kode yang ada di
masyarakat terjadi pada proses pemaknaan dari sebuah tanda atau material yang bersifat
transenden atau melampaui realitas, contohnya;
Bunga Kasih sayang
Kenapa bunga, karena bukan Mobil
Atau karena bukan Piala
Kemudian terjadi pula pada penamaan suatu material, seperti;
Kenapa disebut PEN
Karena bukan PIN, atau
Karena bukan PAN
3. Sign dan Ideologi
Menurut Aart Van Zoest fungsi esensial dari tanda untuk membuat hubungan-hubungan
yang tidak 6efesien menjadi 6efesien, tidak untuk menyebabkan mereka bertindak, akan tetapi
hanya untuk menempatkan kebiasaan dalam satu aturan-aturan yang umum sehingga pada
waktunya hubungan-hubungan tersebut bisa menjadi operasional.
a. Sign
Berdasarkan relasi diantara tanda dan denotatumnya, Pierce membedakan tiga jenis tanda
yakni;
(1). Iconis, adalah suatu yang bisa ada sebagai suatu kemungkinan, terlepas dari adanya
denotatum, akan tetapi yang dapat dihubungkan dengan denotatum berdasarkan persamaan
potensial dengan sesuatu itu.
(2). Indeks, adalah tanda yang sifat tandanya tergantung dari keberadaannya suatu denotatum.
Dalam terminologi Pierce, merupakan suatu second, suatu tanda yang m6empunyai kaitan
kausal ataupun berdekatan dengan apa yang diwakilinya, contoh asap dengan api, tidak ada
asap kalau tidak ada api. Asap merupakan indeks.
(3). Simbol adalah suatu tanda, dimana relasi diantara tanda dengan denotatumnya ditentukan
oleh suatu peraturan yang berlaku umum; ditentukan oleh suatu 6kesepakatan bersama atau
konvensi (Aart Van Zoest. 1978;17).
Dalam tanada/ sign dikenal dengan trianggel yaitu antara tanada, penanda dan pertanda,
seperti bagan dibawah ini;
Sign
Penanda Pertanda
(Matrial)
Hubungan antara tanda/ sign, penanda/ signifier dan penanda/ signified merupakan suatu
kesepakatan atau sitem/ langue atau bisa dikatakan kode yang disepakati oleh masyarakat
menjadi suatu bahasa. Hal ini terjadi pada tanda tingkat pertama, juga pada penandan dan
pertanda tingkat pertama sedangkan pada tingkat kedua hal ini akan menjadi suatu ideologi.
Untuk itu perlu dijelaskan apa yang dimaksud dengan ideologi.
Ideologi bukan hanya sekedar tipe dari speech, melainkan pesan disampaikan kepada
masyarakat mungkin berbentuk objek, konsep, atau ide. Ini adalah gambaran pertama dari
ideologi yang dipertegas oleh Roland Barthes seperti berikut:
“…, it is not any type; language needs special conditions in order to become myth;
….established at the start is that myth is system of communication, that is message. This allows
one to perceive that myth can not possibly be an object, concept, or an idea; ….”
Dalam ideologi, akan ditemukan lagi istilah tri-dimensional patren, yaitu;
Sign, Signifier dan signified, namun pada ideologi ada tingkatan yang keduanya dimana petanda
akan memberikan petanda pada tingkatan ke dua atau bisa dikatakan sebagai makna ke dua. Dari
penanda kemudian penanda yang akan menjadi tanda yang6 menghasilkan penanda ke dua dan
petanda ke dua akan menhasillkan tanda.
Untuk lebih jelasnya kita simak apa yang diuraikan raland barthes, yaitu sebagai berikut;
“ myth is a peculiar system, in that it is constructed from a semiology chain which axisted before
it: it is second-order semiologycal system. That which is a sign (namely the associative total of a
concept and an image) in the first system, becomes a more signifier in the second.”.
Bila dilihat dari hirarkinya maka penjelasan diatas oleh Roland Barthes diskemakan seperti
berikut ini;
Langua
MIYTH
4. Syntagm dan System
Syntagm adalah kombinasi dari tanda pada ruang yang mendukungnya, dan dapat
dirubah berdasarkan pengertian yang sama, kesesuaian dari paradigmatiknya. Kecocokannya
contohnya dalam makan – nasi/ lauk/ sayur/ buah/ minum. Ini merupakan tahap pertama dari
syntagm seperti yang diungkapkan oleh Saussure, yaitu “ The syntagm is combination of sign,
wich has space as a support,”. Sedangkan tahap keduanya diterangkan “ the units wich have
something in common are associated in memory and thus form groups within which various
relation ships can be found;”. Pada tahap ke dua merupakan penggantian dengan pengertian
yang sama pada penggantinya, seperti; Saya melihat rumah, rumah disini bisa dikatakan atau
diganti dengan gubuk, villa dan seterusnya.
System merupakan konstitusi yang kedua dari language, Saussure melihat dari bentuk yang
berurutan dari asisiatif, yang ditentukan oleh persamaan bunyi, atau oleh persamaan arti /
meaning (Roland Barthes,133).
Kemudian Roland Barthes menuangkannya pada skema dibawah ini:
1. Signifier 2. signified
3. Sign
I. SIGNIFIER
II. SIGNIFIED
III. SIGN
Sedangkan pada penggatian yang kedua menunjukan adanya penggantian dengan pengertian
yang sama, adalah sebagai berikut:
Syntagm A B C etc
A’ B’ C’
A” B” C”
System
Saya Melihat
Gubuk
Rumah
Vila
System Syntagm
Garmen
System
Set of pi6eces, part of details which
cannot be worn at the same time on
the same part of the body, and whose
variations coresponds to change in the
meaning of clothing: toque – bonnethood.
Et6c
Juxtaposition in the same type
of dress of different elements:
Skrit – blouse – jacket.
Persamaan Arti
DAFTAR PUSTAKA
1. Aart Van Zoest, 1978, Semiotik, Basisbucen, ambo, Bearn.
2. Benny H. Pent.: 1995, Jean Piaget, Strukturalisme, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
3. Geoffri Broadbent, 1980, Sign.Simbol and architecture, John Wiley & Son, New york
4. John Fiske, 1991, Introduction to Communication Study, Jonathan Cape Ltd, london.
5. Roland Barthes, 1972, Mythologyes, Jonathan Cape Ltd, London.
6. Roland Barthes, 1972, Writing Degree Zero & Elemenmts Semiology, Jonathan Cape Ltd,
London.
7. Terence Hawk, 1988, Structuralism & Semiotics, Routledge, london.
8. Umberto Eco, 1976, A Theori of Semiology, Indiana University Press, London

SUKAP BAHASA

Wirausaha
SIKAP BAHASA (LANGUAGE ATTITUDE)
I.    Pendahuluan
Bahasa adalah salah satu ciri khas manusiawi yang membedakannya dari makhluk-makhluk yang lain. Selain itu, bahasa mempunyai fungsi sosial, baik sebagai alat komunikasi maupun sebagai suatu cara mengidentifikasikan kelompok sosial. Pandangan de Saussure (1916) yang menyebutkan bahwa bahasa adalah salah satu lembaga kemasyarakatan, yang sama dengan lembaga kemasyarakatan lain, seperti perkawinan, pewarisan harta peninggalan, dan sebagainya telah memberi isyarat akan pentingnya perhatian terhadap dimensi sosial bahasa. Namun, kesadaran tentang hubungan yang erat antara bahasa dan masyarakat baru muncul pada pertengahan abad ini (Hudson 1996). Para ahli bahasa mulai sadar bahwa pengkajian bahasa tanpa mengaitkannya dengan masyarakat akan mengesampingkan beberapa aspek penting dan menarik, bahkan mungkin menyempitkan pandangan terhadap disiplin bahasa itu sendiri. Sosiolinguistik merupakan ilmu yang mempelajari bahasa dengan dimensi kemasyarakatan. Apabila kita mempelajari bahasa tanpa mengacu ke masyarakat yang menggunakannya sama dengan menyingkirkan kemungkinan ditemukannya penjelasan sosial bagi struktur yang digunakan.  Dari perspektif sosiolinguistik fenomena sikap bahasa (language attitude) dalam masyarakat multibahasa merupakan gejala yang menarik untuk dikaji, karena melalui sikap bahasa dapat menentukan keberlangsungan hidup suatu bahasa.
II.    Sikap Bahasa (Language Attitude)
Sikap bahasa adalah posisi mental atau perasaan terhadap bahasa sendiri atau bahasa orang lain (Kridalaksana, 2001:197). Dalam bahasa Indonesia kata sikap dapat mengacu pada bentuk tubuh, posisi berdiri yang tegak, perilaku atau gerak-gerik, dan perbuatan atau tindakan yang dilakukan berdasarkan pandangan (pendirian, keyakinan, atau pendapat) sebagai reaksi atas adanya suatu hal atau kejadian.
Sikap merupakan fenomena kejiwaan, yang biasanya termanifestasi dalam bentuk tindakan atau perilaku. Sikap tidak dapat diamati secara langsung. Untuk mengamati sikap dapat dilihat melalui perilaku, tetapi berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa apa yang nampak dalam perilaku tidak selalu menunjukkan sikap. Begitu juga sebaliknya, sikap seseorang tidak selamanya tercermin dalam perilakunya.
Keadaan dan proses terbentuknya sikap bahasa tidak jauh dari keadaan dan proses terbentuknya sikap pada umumnya. Sebagaimana halnya dengan sikap, maka sikap bahasa juga merupakan peristiwa kejiwaan sehingga tidak dapat diamati secara langsung. Sikap bahasa dapat diamati melalui perilaku berbahasa atau perilaku tutur. Namun dalam hal ini juga berlaku ketentuan bahwa tidak setiap perilaku tutur mencerminkan sikap bahasa. Demikian pula sebaliknya, sikap bahasa tidak selamanya tercermin dalam perilaku tutur. Dibedakannya antara bahasa (langue) dan tutur (parole) (de Saussure, 1976), maka ketidaklangsungan hubungan antara sikap bahasa dan perilaku tutur makin menjadi lebih jelas lagi. Sikap bahasa cenderung mengacu kepada bahasa sebagai sistem (langue), sedangkan perilaku tutur lebih cenderung merujuk kepada pemakaian bahasa secara konkret (parole).
Triandis (1971) berpendapat bahwa sikap adalah kesiapan bereaksi terhadap suatu keadaan atau kejadian yang dihadapi. Kesiapan ini dapat mengacu kepada “sikap perilaku”. Menurut Allport (1935), sikap adalah kesiapan mental dan saraf, yang terbentuk melalui pengalaman yang memberikan arah atau pengaruh yang dinamis kepada reaksi seseorang terhadap semua objek dan keadaan yang menyangkut sikap itu. Sedangkan Lambert (1967) menyatakan bahwa sikap itu terdiri dari tiga komponen, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif. Penjelasan ketiga komponen tersebut sebagai berikut.
·         Komponen kognitif berhubungan dengan pengetahuan mengenai alam sekitar dan gagasan yang biasanya merupakan kategori yang dipergunakan dalam proses berpikir.
·         Komponen afektif menyangkut masalah penilaian baik, suka atau tidak suka, terhadap sesuatu atau suatu keadaan, maka orang itu dikatakan memiliki sikap positif. Jika sebaliknya, disebut memiliki sikap negatif.
·         Komponen konatif menyangkut perilaku atau perbuatan sebagai “putusan akhir” kesiapan reaktif terhadap suatu keadaan.
Melalui ketiga komponen inilah, orang biasanya mencoba menduga bagaimana sikap seseorang terhadap suatu keadaan yang sedang dihadapinya. Ketiga komponen sikap ini (kognitif, afektif, dan konatif) pada umumnya berhubungan dengan erat. Namun, seringkali pengalaman “menyenangkan’ atau “tidak menyenangkan” yang didapat seseorang di dalam masyarakat menyebabkan hubungan ketiga komponen itu tidak sejalan. Apabila ketiga komponen itu sejalan, maka bisa diramalkan perilaku itu menunjukkan sikap. Tetapi kalau tidak sejalan, maka dalam hal itu perilaku tidak dapat digunakan untuk mengetahui sikap. Banyak pakar yang memang mengatakan bahwa perilaku belum tentu menunjukkan sikap.
Edward (1957) mengatakan bahwa sikap hanyalah salah satu faktor, yang juga tidak dominan, dalam menentukan perilaku. Oppenheim (1976) dapat menentukan perilaku atas dasar sikap. Sedangkan Sugar (1967) berdasarkan penelitiannya memberi kesimpulan bahwa perilaku itu ditentukan oleh empat buah faktor utama, yaitu sikap, norma sosial, kebiasaan, dan akibat yang mungkin terjadi. Dari keempat faktor itu dikatakan bahwa kebiasaan adalah faktor yang paling kuat, sedangkan sikap merupakan faktor yang paling lemah. Jadi, dengan demikian jelas bahwa sikap bukan satu-satunya faktor yang menentukan perilaku, tetapi yang paling menentukan perilaku adalah kebiasaan.
Anderson (1974) membagi sikap atas dua macam, yaitu (1) sikap kebahasaan dan (2) sikap nonkebahasaan, seperti sikap politis, sikap keagamaan, dan lain-lain. Menurut Anderson, sikap bahasa adalah tata keyakinan atau kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai objek bahasa, yang memberikan kecenderungan seseorang untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disenanginya. Namun sikap tersebut dapat berupa sikap positif dan negatif, maka sikap terhadap bahasa pun demikian. Garvin dan Mathiot (1968) merumuskan tiga ciri sikap bahasa yaitu:
·         Kesetiaan Bahasa (Language Loyalty) yang mendorong masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain.
·         Kebanggaan Bahasa (Language Pride) yang mendorong orang mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat.
·         Kesadaran adanya norma bahasa (Awareness Of The Norm) yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan menggunakan bahasa (language use).
Ketiga ciri yang dikemukakan Garvin dan Mathiot tersebut merupakan ciri-ciri sikap positif terhadap bahasa. Sikap positif yaitu sikap antusiasme terhadap penggunaan bahasanya (bahasa yang digunakan oleh kelompoknya/masyarakat tutur dimana dia berada). Sebaliknya jika ciri-ciri itu sudah menghilang atau melemah dari diri seseorang atau dari diri sekelompok orang anggota masyarakat tutur, maka berarti sikap negatif terhadap suatu bahasa telah melanda diri atau kelompok orang itu. Ketiadaan gairah atau dorongan untuk mempertahankan kemandirian bahasanya merupakan salah satu penanda sikap negatif, bahwa kesetiaan bahasanya mulai melemah, yang bisa berlanjut menjadi hilang sama sekali.
Sikap negatif terhadap bahasa dapat juga terjadi bila orang atau sekelompok orang tidak mempunyai lagi rasa bangga terhadap bahasanya, dan mengalihkannya kepada bahasa lain yang bukan miliknya. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu antara lain: faktor politis, faktor etnis, ras, gengsi, menganggap bahasa tersebut terlalu rumit atau susah dan sebagainya. Sebagai contoh yaitu penggunaan bahasa Jawa di lingkungan masyarakat Jawa. Dewasa ini penggunaan bahasa Jawa dikalangan masyarakat Jawa sendiri dirasa kurang begitu antusias. Hal ini merupakan tanda-tanda mulai munculnya sikap yang kurang positif terhadap bahasa tersebut. Bahasa-bahasa daerah terkadang dianggap sebagai bahasa yang kurang fleksibel dan kurang mengikuti perkembangan jaman. Demikian pula bahasa Jawa. Anak-anak muda pada jaman sekarang kurang begitu mengerti dan antusias menggunakan bahasa tersebut, karena ada yang merasa bahwa bahasa Jawa terlalu rumit bagi mereka, banyak leksikon dari bahasa Jawa yang tidak dimengerti, ditambah dengan penggunaan tingkat tutur bahasa Jawa dan sebagainya. Hal tersebut merupakan indikasi bahwa mereka sudah tidak berminat lagi untuk mempelajari bahasa Jawa, atau hal itu juga dipengaruhi oleh perkembangan keadaan yang menghendaki segala sesuatu yang serba praktis dan simpel. Tidak hanya bahasa daerah, tetapi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional pun dirasa telah mulai pudar ciri sikap bahasa positifnya.
Sikap negatif juga akan lebih terasa akibat-akibatnya apabila seseorang atau sekelompok orang tidak mempunyai kesadaran akan adanya norma bahasa. Sikap tersebut nampak dalam tindak tuturnya. Mereka tidak merasa perlu untuk menggunakan bahasa secara cermat dan tertib, mengikuti kaidah yang berlaku.
Berkenaan dengan sikap bahasa negatif ada pendapat yang menyatakan bahwa jalan yang harus ditempuh adalah dengan pendidikan bahasa yang dilaksanakan atas dasar pembinaan kaidah dan norma-norma sosial dan budaya yang ada dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan. Namun menurut Lambert (1976) motivasi belajar tersebut juga berorientasi pada dua hal yaitu:
1.        Perbaikan nasib (orientasi instrumental). Orientasi instrumental mengacu/banyak terjadi pada bahasa-bahasa yang jangkauan pemakaiannya luas, banyak dibutuhkan dan menjanjikan nilai ekonomi yang tinggi, seperti bahasa Inggris, bahasa Prancis, dan bahasa Jepang.
2.        Keingintahuan terhadap kebudayaan masyarakat yang bahasanya dipelajari (orientasi integratif). Orientasi integratif banyak terjadi pada bahasa-bahasa dari suatu masyarakat yang mempunyai kebudayaan tinggi, tetapi bahasanya hanya digunakan sebagai alat komunikasi terbatas pada kelompok etnik tertentu.
Kedua orientasi tersebut juga merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi sikap bahasa seseorang. Selain itu sikap bahasa juga bisa mempengaruhi seseorang untuk menggunakan suatu bahasa, dan bukan bahasa yang lain, dalam masyarakat yang bilingual atau multilingual.
Mengacu pada sikap bahasa pada masyarakat yang bilingual atau multilingual, terdapat dampak positif dan negatif bagi pembinaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Memang semakin meluasnya pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, adalah suatu hal yang positif. Tetapi dampak negatifnya seseorang sering mendapat hambatan psikologis dalam menggunakan bahasa daerahnya yang mengenal tingkatan bahasa, seringkali memaksa mereka terbalik-balik dalam bertutur antara bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Akhirnya sering terjadi kalimat-kalimat / kata-kata (karena banyaknya terjadi interferensi / campur kode yang tidak terkendali) muncul kata-kata sebagai suatu ragam bahasa baru. Misalnya, bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan atau bahasa Indonesia yang keinggris-inggrisan, dan lain-lain. Hal itu pun mulai sering ditemui di masyarakat pengguna bahasa sekarang.
Contoh:
1.    Bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan.
a.    Adanya pemakaian akhiran ‘o’
 lihato [ lihat
כ ]‘lihatlah’, yang baku sebenarnya adalah lihatlah.àLihat + o
Jadi kata bahasa Indonesia mendapat tambahan akhiran -o, atau seperti akhiran a [ 
כ  ] dalam bahasa Jawa.
b.  Adanya pemakaian akhiran ‘-en’
 ambilen [ ambIlən ], yang baku adalah ambilah.
àAmbil + en
Kata ambil dalam bahasa Indonesia mendapat tambahan akhiran -en yang merupakan akhiran dalam bahasa Jawa.
 menembaki [mənεmba?i], seharusnya menembakki [mənεmba?ki].àc. Menembak + i
d. Adanya pemakaian akhiran ‘-ke’
 biarke [biarke], yang baku adalah biarkan.
àbiar + ke    
 dudukke [dudU?ke], yang baku adalah dudukkan
àduduk + ke
 ambilke [ambIlke], yang baku adalah ambilkan
àambil + ke  
Akhiran -ke tidak terdapat dalam bahasa Indonesia, akhiran -ke disini digunakan seperti dalam penggunaan akhiran –ake dalam bahasa Jawa.
2.    Bahasa Indonesia yang keinggris-inggrisan
Hal ini biasanya terdapat dalam pengucapan/pelafalan bahasa Indonesia yang menyerupai pelafalan/pengucapan bahasa Inggris.
Contoh:
 diucapkan Becheq [bεchε?]
àBecek [bεcεk]  
fonem t [t] diucapkan c [c]
 gicu [gicu]
àGitu [gitu]    
 anchri [anchri]
àAntri [antri]  
3.    Bahasa Jawa yang keindonesia-indonesiaan.
Penggunaan akhiran -lah.
Contoh:
 wis ta ‘sudahlah’
àwislah [wIslah] 
III.    Penutup
Sikap bahasa adalah posisi mental atau perasaan terhadap bahasa sendiri atau bahasa orang lain (Kridalaksana, 2001:197). Keadaan dan proses terbentuknya sikap bahasa tidak jauh dari keadaan dan proses terbentuknya sikap pada umumnya. Lambert (1967) menyatakan bahwa sikap itu terdiri dari tiga komponen, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif.
Anderson (1974) membagi sikap atas dua macam, yaitu (1) sikap kebahasaan dan (2) sikap nonkebahasaan. Sikap kebahasan dapat dikategorikan menjadi dua sikap yaitu sikap positif dan sikap negatif. Sikap positif yaitu sikap antusiasme terhadap penggunaan bahasanya (bahasa yang digunakan oleh kelompoknya/masyarakat tutur dimana dia berada). Sebaliknya jika ciri-ciri itu sudah menghilang atau melemah dari diri seseorang atau dari diri sekelompok orang anggota masyarakat tutur, maka berarti sikap negatif terhadap suatu bahasa telah melanda diri atau kelompok orang itu. Garvin dan Mathiot (1968) merumuskan tiga ciri sikap bahasa yaitu kesetiaan bahasa (language loyalty), kebanggaan bahasa (language pride), kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm).
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Chaer, Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Harimurti Kridalaksana. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Mansoer, Pateda. 1990. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.
Nababan, P.W.J. 1986. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia.
Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik Teori dan Problema. Surakarta: Henari Offset Solo.
http://www.google.com-sosiolinguistik-sikap bahasa.
Beberapa pemikiran pakar memang sengaja tidak muncul dalam daftar pustaka karena menunggu artikel ini diterbitkan dalam buku. Harap maklum