Kamis, 12 Desember 2013

Gadis Pantai
Kulitnya yang langsat, hidung yang seadanya, tubuh mungil cukup mampu memikat hati seorang bendoro kota yang merupakan seorang kaya raya dan priyayi, seorang jawa yang bekerja pada (admiinistrasi) Belanda. Terkenal memang bayak bergonta ganti istri.
Kehidupannya mulai berganti dunia. Kehidupan yang dulunya saban hari ia menumbuk udang untuk dijadikannya trasi dan dijualnya untuk memperoleh jagung sebagai makanannya saban hari, membantu bapaknya melepaskan jaring yang tersangkut saat menjala ikan.
Semua mulai berubah saat ia diantarkan oleh kedua orang tuanya dan ketua RT setempat kekota dengan menggunakan dokarr sederhana menuju rumah sang bendoro. Umurnya yang masih 14 tahun, membawanya pada takdir, dia diambil sebagai gundik pembesar tersebut dan menjadi Mas Nganten : perempuan yang melayani “kebutuhan” seks pembesar sampai kemudian pembesar memutuskan untuk menikah dengan perempuan yang sekelas atau sederajat dengannya, ia dinikahkan dengan sebuah keris yang membawanya pada kehidupan, pengabdian pada bendoronya. Suaminya sendiri. Ya, di nikahkan dengan sebuah keris, hal tersebut memang suatu tradisi pernikahan yang apabila sang pengantin tidak datang sendiri dan keris di jadikan perwakilannya.
Mulanya, perkawinan itu memberi prestise baginya dikampung halamannya karena ia dipandang telah dinaikkan derajatnya, menjadi bendoro putri. Tapi itu tidak berlangsung lama. Setelah 2 tahun perkawinannya gadis pantai mengandung lalu melahirkan seorang bayi perempuan mungil. Ia kembali terperosok ketanah, seorang priyayi yang teleh mengawininya tega membuangnya setelah ia melahirkan seorang bayi perempuan. Lebih tragisnya lagi, ia diceraikan secara sepihak dan tidak boleh melihat apalagi membawa bayinya.
“ megerikan bapak, mengerikan kehidupan priyayi ini.. ah tidak, aku tak suka pada priyayi . gedung gedungnya yang berdinding batu itu neraka. Neraka. Neraka tanpa perasaan.”
--- Pramoedya Ananta Toer---
Roman yang menusuk foedalisme jawa yang tak memiliki adab dan jiwa kemanusiaan tepat langsung pada jantungnya yang terdalam. Berbeda jauh dengan jawa yang dikatakan kebanyakan, beradab, menjunjung tinggi nilai sopan santun serta berprikemanusiaan yang begitu tinggi dan peka.
Pram, kembali membuka mata telanjang, memperlihatkan nuansa ketidak prikemanusiaan keturunan jawa. Ini adalah dunia jawa bukan surga, bukanlah sumber dari segala sumber, bukanlah keadilan dari segala keadilan, bukanlah kebaikan dari segala kebaikan.
 Lalu pada siapa aku harus mengadu, ?
Kembalikan adab jawaku,
kembalikan kebaikan jawaku,
kembalikan kemanusiaan jawaku,
kembalikan keadilan jawaku,

akhil bashiroh
penulis bebas


Tidak ada komentar:

Posting Komentar