Gadis Pantai
Kulitnya
yang langsat, hidung yang seadanya, tubuh mungil cukup mampu memikat hati
seorang bendoro kota yang merupakan seorang kaya raya dan priyayi, seorang jawa
yang bekerja pada (admiinistrasi) Belanda. Terkenal memang bayak bergonta ganti
istri.
Kehidupannya
mulai berganti dunia. Kehidupan yang dulunya saban hari ia menumbuk udang untuk
dijadikannya trasi dan dijualnya untuk memperoleh jagung sebagai makanannya
saban hari, membantu bapaknya melepaskan jaring yang tersangkut saat menjala
ikan.
Semua
mulai berubah saat ia diantarkan oleh kedua orang tuanya dan ketua RT setempat
kekota dengan menggunakan dokarr sederhana menuju rumah sang bendoro. Umurnya
yang masih 14 tahun, membawanya pada takdir, dia diambil sebagai gundik
pembesar tersebut dan menjadi Mas Nganten : perempuan yang melayani “kebutuhan”
seks pembesar sampai kemudian pembesar memutuskan untuk menikah dengan
perempuan yang sekelas atau sederajat dengannya, ia dinikahkan dengan sebuah
keris yang membawanya pada kehidupan, pengabdian pada bendoronya. Suaminya
sendiri. Ya, di nikahkan dengan sebuah keris, hal tersebut memang suatu tradisi
pernikahan yang apabila sang pengantin tidak datang sendiri dan keris di
jadikan perwakilannya.
Mulanya,
perkawinan itu memberi prestise baginya dikampung halamannya karena ia
dipandang telah dinaikkan derajatnya, menjadi bendoro putri. Tapi itu tidak
berlangsung lama. Setelah 2 tahun perkawinannya gadis pantai mengandung lalu
melahirkan seorang bayi perempuan mungil. Ia kembali terperosok ketanah,
seorang priyayi yang teleh mengawininya tega membuangnya setelah ia melahirkan
seorang bayi perempuan. Lebih tragisnya lagi, ia diceraikan secara sepihak dan
tidak boleh melihat apalagi membawa bayinya.
“
megerikan bapak, mengerikan kehidupan priyayi ini.. ah tidak, aku tak suka pada
priyayi . gedung gedungnya yang berdinding batu itu neraka. Neraka. Neraka
tanpa perasaan.”
---
Pramoedya Ananta Toer---
Roman
yang menusuk foedalisme jawa yang tak memiliki adab dan jiwa kemanusiaan tepat
langsung pada jantungnya yang terdalam. Berbeda jauh dengan jawa yang dikatakan
kebanyakan, beradab, menjunjung tinggi nilai sopan santun serta
berprikemanusiaan yang begitu tinggi dan peka.
Pram,
kembali membuka mata telanjang, memperlihatkan nuansa ketidak prikemanusiaan
keturunan jawa. Ini adalah dunia jawa bukan surga, bukanlah sumber dari segala
sumber, bukanlah keadilan dari segala keadilan, bukanlah kebaikan dari segala
kebaikan.
Lalu pada siapa aku harus mengadu, ?
Kembalikan
adab jawaku,
kembalikan
kebaikan jawaku,
kembalikan
kemanusiaan jawaku,
kembalikan
keadilan jawaku,
akhil
bashiroh
penulis
bebas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar