SIKAP BAHASA (LANGUAGE ATTITUDE)
I.
Pendahuluan
Bahasa adalah salah satu ciri khas manusiawi yang membedakannya dari makhluk-makhluk yang lain. Selain itu, bahasa mempunyai fungsi sosial, baik sebagai alat komunikasi maupun sebagai suatu cara mengidentifikasikan kelompok sosial. Pandangan de Saussure (1916) yang menyebutkan bahwa bahasa adalah salah satu lembaga kemasyarakatan, yang sama dengan lembaga kemasyarakatan lain, seperti perkawinan, pewarisan harta peninggalan, dan sebagainya telah memberi isyarat akan pentingnya perhatian terhadap dimensi sosial bahasa. Namun, kesadaran tentang hubungan yang erat antara bahasa dan masyarakat baru muncul pada pertengahan abad ini (Hudson 1996). Para ahli bahasa mulai sadar bahwa pengkajian bahasa tanpa mengaitkannya dengan masyarakat akan mengesampingkan beberapa aspek penting dan menarik, bahkan mungkin menyempitkan pandangan terhadap disiplin bahasa itu sendiri. Sosiolinguistik merupakan ilmu yang mempelajari bahasa dengan dimensi kemasyarakatan. Apabila kita mempelajari bahasa tanpa mengacu ke masyarakat yang menggunakannya sama dengan menyingkirkan kemungkinan ditemukannya penjelasan sosial bagi struktur yang digunakan. Dari perspektif sosiolinguistik fenomena sikap bahasa (language attitude) dalam masyarakat multibahasa merupakan gejala yang menarik untuk dikaji, karena melalui sikap bahasa dapat menentukan keberlangsungan hidup suatu bahasa.
Bahasa adalah salah satu ciri khas manusiawi yang membedakannya dari makhluk-makhluk yang lain. Selain itu, bahasa mempunyai fungsi sosial, baik sebagai alat komunikasi maupun sebagai suatu cara mengidentifikasikan kelompok sosial. Pandangan de Saussure (1916) yang menyebutkan bahwa bahasa adalah salah satu lembaga kemasyarakatan, yang sama dengan lembaga kemasyarakatan lain, seperti perkawinan, pewarisan harta peninggalan, dan sebagainya telah memberi isyarat akan pentingnya perhatian terhadap dimensi sosial bahasa. Namun, kesadaran tentang hubungan yang erat antara bahasa dan masyarakat baru muncul pada pertengahan abad ini (Hudson 1996). Para ahli bahasa mulai sadar bahwa pengkajian bahasa tanpa mengaitkannya dengan masyarakat akan mengesampingkan beberapa aspek penting dan menarik, bahkan mungkin menyempitkan pandangan terhadap disiplin bahasa itu sendiri. Sosiolinguistik merupakan ilmu yang mempelajari bahasa dengan dimensi kemasyarakatan. Apabila kita mempelajari bahasa tanpa mengacu ke masyarakat yang menggunakannya sama dengan menyingkirkan kemungkinan ditemukannya penjelasan sosial bagi struktur yang digunakan. Dari perspektif sosiolinguistik fenomena sikap bahasa (language attitude) dalam masyarakat multibahasa merupakan gejala yang menarik untuk dikaji, karena melalui sikap bahasa dapat menentukan keberlangsungan hidup suatu bahasa.
II.
Sikap Bahasa (Language Attitude)
Sikap bahasa adalah posisi mental atau perasaan terhadap bahasa sendiri atau bahasa orang lain (Kridalaksana, 2001:197). Dalam bahasa Indonesia kata sikap dapat mengacu pada bentuk tubuh, posisi berdiri yang tegak, perilaku atau gerak-gerik, dan perbuatan atau tindakan yang dilakukan berdasarkan pandangan (pendirian, keyakinan, atau pendapat) sebagai reaksi atas adanya suatu hal atau kejadian.
Sikap merupakan fenomena kejiwaan, yang biasanya termanifestasi dalam bentuk tindakan atau perilaku. Sikap tidak dapat diamati secara langsung. Untuk mengamati sikap dapat dilihat melalui perilaku, tetapi berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa apa yang nampak dalam perilaku tidak selalu menunjukkan sikap. Begitu juga sebaliknya, sikap seseorang tidak selamanya tercermin dalam perilakunya.
Sikap bahasa adalah posisi mental atau perasaan terhadap bahasa sendiri atau bahasa orang lain (Kridalaksana, 2001:197). Dalam bahasa Indonesia kata sikap dapat mengacu pada bentuk tubuh, posisi berdiri yang tegak, perilaku atau gerak-gerik, dan perbuatan atau tindakan yang dilakukan berdasarkan pandangan (pendirian, keyakinan, atau pendapat) sebagai reaksi atas adanya suatu hal atau kejadian.
Sikap merupakan fenomena kejiwaan, yang biasanya termanifestasi dalam bentuk tindakan atau perilaku. Sikap tidak dapat diamati secara langsung. Untuk mengamati sikap dapat dilihat melalui perilaku, tetapi berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa apa yang nampak dalam perilaku tidak selalu menunjukkan sikap. Begitu juga sebaliknya, sikap seseorang tidak selamanya tercermin dalam perilakunya.
Keadaan dan proses terbentuknya sikap
bahasa tidak jauh dari keadaan dan proses terbentuknya sikap pada umumnya.
Sebagaimana halnya dengan sikap, maka sikap bahasa juga merupakan peristiwa
kejiwaan sehingga tidak dapat diamati secara langsung. Sikap bahasa dapat
diamati melalui perilaku berbahasa atau perilaku tutur. Namun dalam hal ini
juga berlaku ketentuan bahwa tidak setiap perilaku tutur mencerminkan sikap bahasa.
Demikian pula sebaliknya, sikap bahasa tidak selamanya tercermin dalam perilaku
tutur. Dibedakannya antara bahasa (langue) dan tutur (parole) (de Saussure,
1976), maka ketidaklangsungan hubungan antara sikap bahasa dan perilaku tutur
makin menjadi lebih jelas lagi. Sikap bahasa cenderung mengacu kepada bahasa
sebagai sistem (langue), sedangkan perilaku tutur lebih cenderung merujuk
kepada pemakaian bahasa secara konkret (parole).
Triandis (1971) berpendapat bahwa sikap
adalah kesiapan bereaksi terhadap suatu keadaan atau kejadian yang dihadapi.
Kesiapan ini dapat mengacu kepada “sikap perilaku”. Menurut Allport (1935),
sikap adalah kesiapan mental dan saraf, yang terbentuk melalui pengalaman yang
memberikan arah atau pengaruh yang dinamis kepada reaksi seseorang terhadap
semua objek dan keadaan yang menyangkut sikap itu. Sedangkan Lambert (1967)
menyatakan bahwa sikap itu terdiri dari tiga komponen, yaitu komponen kognitif,
komponen afektif, dan komponen konatif. Penjelasan ketiga komponen tersebut
sebagai berikut.
·
Komponen kognitif berhubungan
dengan pengetahuan mengenai alam sekitar dan gagasan yang biasanya merupakan
kategori yang dipergunakan dalam proses berpikir.
·
Komponen afektif menyangkut
masalah penilaian baik, suka atau tidak suka, terhadap sesuatu atau suatu
keadaan, maka orang itu dikatakan memiliki sikap positif. Jika sebaliknya,
disebut memiliki sikap negatif.
·
Komponen konatif menyangkut
perilaku atau perbuatan sebagai “putusan akhir” kesiapan reaktif terhadap suatu
keadaan.
Melalui ketiga komponen inilah, orang
biasanya mencoba menduga bagaimana sikap seseorang terhadap suatu keadaan yang
sedang dihadapinya. Ketiga komponen sikap ini (kognitif, afektif, dan konatif)
pada umumnya berhubungan dengan erat. Namun, seringkali pengalaman “menyenangkan’
atau “tidak menyenangkan” yang didapat seseorang di dalam masyarakat
menyebabkan hubungan ketiga komponen itu tidak sejalan. Apabila ketiga komponen
itu sejalan, maka bisa diramalkan perilaku itu menunjukkan sikap. Tetapi kalau
tidak sejalan, maka dalam hal itu perilaku tidak dapat digunakan untuk
mengetahui sikap. Banyak pakar yang memang mengatakan bahwa perilaku belum
tentu menunjukkan sikap.
Edward (1957) mengatakan bahwa sikap
hanyalah salah satu faktor, yang juga tidak dominan, dalam menentukan perilaku.
Oppenheim (1976) dapat menentukan perilaku atas dasar sikap. Sedangkan Sugar
(1967) berdasarkan penelitiannya memberi kesimpulan bahwa perilaku itu
ditentukan oleh empat buah faktor utama, yaitu sikap, norma sosial, kebiasaan,
dan akibat yang mungkin terjadi. Dari keempat faktor itu dikatakan bahwa
kebiasaan adalah faktor yang paling kuat, sedangkan sikap merupakan faktor yang
paling lemah. Jadi, dengan demikian jelas bahwa sikap bukan satu-satunya faktor
yang menentukan perilaku, tetapi yang paling menentukan perilaku adalah
kebiasaan.
Anderson (1974) membagi sikap atas dua
macam, yaitu (1) sikap kebahasaan dan (2) sikap nonkebahasaan, seperti sikap
politis, sikap keagamaan, dan lain-lain. Menurut Anderson, sikap bahasa adalah
tata keyakinan atau kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai
bahasa, mengenai objek bahasa, yang memberikan kecenderungan seseorang untuk
bereaksi dengan cara tertentu yang disenanginya. Namun sikap tersebut dapat
berupa sikap positif dan negatif, maka sikap terhadap bahasa pun demikian.
Garvin dan Mathiot (1968) merumuskan tiga ciri sikap bahasa yaitu:
·
Kesetiaan Bahasa (Language
Loyalty) yang mendorong masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya dan
apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain.
·
Kebanggaan Bahasa (Language
Pride) yang mendorong orang mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai
lambang identitas dan kesatuan masyarakat.
·
Kesadaran adanya norma bahasa
(Awareness Of The Norm) yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan
cermat dan santun merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap
perbuatan yaitu kegiatan menggunakan bahasa (language use).
Ketiga ciri yang dikemukakan Garvin dan
Mathiot tersebut merupakan ciri-ciri sikap positif terhadap bahasa. Sikap
positif yaitu sikap antusiasme terhadap penggunaan bahasanya (bahasa yang
digunakan oleh kelompoknya/masyarakat tutur dimana dia berada). Sebaliknya jika
ciri-ciri itu sudah menghilang atau melemah dari diri seseorang atau dari diri
sekelompok orang anggota masyarakat tutur, maka berarti sikap negatif terhadap
suatu bahasa telah melanda diri atau kelompok orang itu. Ketiadaan gairah atau
dorongan untuk mempertahankan kemandirian bahasanya merupakan salah satu
penanda sikap negatif, bahwa kesetiaan bahasanya mulai melemah, yang bisa
berlanjut menjadi hilang sama sekali.
Sikap negatif terhadap bahasa dapat juga
terjadi bila orang atau sekelompok orang tidak mempunyai lagi rasa bangga
terhadap bahasanya, dan mengalihkannya kepada bahasa lain yang bukan miliknya.
Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu antara lain: faktor
politis, faktor etnis, ras, gengsi, menganggap bahasa tersebut terlalu rumit
atau susah dan sebagainya. Sebagai contoh yaitu penggunaan bahasa Jawa di
lingkungan masyarakat Jawa. Dewasa ini penggunaan bahasa Jawa dikalangan
masyarakat Jawa sendiri dirasa kurang begitu antusias. Hal ini merupakan
tanda-tanda mulai munculnya sikap yang kurang positif terhadap bahasa tersebut.
Bahasa-bahasa daerah terkadang dianggap sebagai bahasa yang kurang fleksibel
dan kurang mengikuti perkembangan jaman. Demikian pula bahasa Jawa. Anak-anak
muda pada jaman sekarang kurang begitu mengerti dan antusias menggunakan bahasa
tersebut, karena ada yang merasa bahwa bahasa Jawa terlalu rumit bagi mereka, banyak
leksikon dari bahasa Jawa yang tidak dimengerti, ditambah dengan penggunaan
tingkat tutur bahasa Jawa dan sebagainya. Hal tersebut merupakan indikasi bahwa
mereka sudah tidak berminat lagi untuk mempelajari bahasa Jawa, atau hal itu
juga dipengaruhi oleh perkembangan keadaan yang menghendaki segala sesuatu yang
serba praktis dan simpel. Tidak hanya bahasa daerah, tetapi bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional pun dirasa telah mulai pudar ciri sikap bahasa
positifnya.
Sikap negatif juga akan lebih terasa
akibat-akibatnya apabila seseorang atau sekelompok orang tidak mempunyai
kesadaran akan adanya norma bahasa. Sikap tersebut nampak dalam tindak
tuturnya. Mereka tidak merasa perlu untuk menggunakan bahasa secara cermat dan
tertib, mengikuti kaidah yang berlaku.
Berkenaan dengan sikap bahasa negatif
ada pendapat yang menyatakan bahwa jalan yang harus ditempuh adalah dengan
pendidikan bahasa yang dilaksanakan atas dasar pembinaan kaidah dan norma-norma
sosial dan budaya yang ada dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan. Namun
menurut Lambert (1976) motivasi belajar tersebut juga berorientasi pada dua hal
yaitu:
1.
Perbaikan nasib (orientasi
instrumental). Orientasi instrumental mengacu/banyak terjadi pada bahasa-bahasa
yang jangkauan pemakaiannya luas, banyak dibutuhkan dan menjanjikan nilai
ekonomi yang tinggi, seperti bahasa Inggris, bahasa Prancis, dan bahasa Jepang.
2.
Keingintahuan terhadap kebudayaan
masyarakat yang bahasanya dipelajari (orientasi integratif). Orientasi
integratif banyak terjadi pada bahasa-bahasa dari suatu masyarakat yang
mempunyai kebudayaan tinggi, tetapi bahasanya hanya digunakan sebagai alat
komunikasi terbatas pada kelompok etnik tertentu.
Kedua orientasi tersebut juga merupakan
faktor-faktor yang mempengaruhi sikap bahasa seseorang. Selain itu sikap bahasa
juga bisa mempengaruhi seseorang untuk menggunakan suatu bahasa, dan bukan
bahasa yang lain, dalam masyarakat yang bilingual atau multilingual.
Mengacu pada sikap bahasa pada
masyarakat yang bilingual atau multilingual, terdapat dampak positif dan
negatif bagi pembinaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Memang semakin
meluasnya pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, adalah suatu hal
yang positif. Tetapi dampak negatifnya seseorang sering mendapat hambatan
psikologis dalam menggunakan bahasa daerahnya yang mengenal tingkatan bahasa,
seringkali memaksa mereka terbalik-balik dalam bertutur antara bahasa daerah
dan bahasa Indonesia. Akhirnya sering terjadi kalimat-kalimat / kata-kata
(karena banyaknya terjadi interferensi / campur kode yang tidak terkendali)
muncul kata-kata sebagai suatu ragam bahasa baru. Misalnya, bahasa Indonesia
yang kejawa-jawaan atau bahasa Indonesia yang keinggris-inggrisan, dan
lain-lain. Hal itu pun mulai sering ditemui di masyarakat pengguna bahasa
sekarang.
Contoh:
1. Bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan.
a. Adanya pemakaian akhiran ‘o’
lihato [ lihatכ ]‘lihatlah’, yang baku sebenarnya adalah lihatlah.àLihat + o
Jadi kata bahasa Indonesia mendapat tambahan akhiran -o, atau seperti akhiran a [ כ ] dalam bahasa Jawa.
1. Bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan.
a. Adanya pemakaian akhiran ‘o’
lihato [ lihatכ ]‘lihatlah’, yang baku sebenarnya adalah lihatlah.àLihat + o
Jadi kata bahasa Indonesia mendapat tambahan akhiran -o, atau seperti akhiran a [ כ ] dalam bahasa Jawa.
b. Adanya pemakaian akhiran ‘-en’
ambilen [ ambIlən ], yang baku adalah ambilah.àAmbil + en
Kata ambil dalam bahasa Indonesia mendapat tambahan akhiran -en yang merupakan akhiran dalam bahasa Jawa.
ambilen [ ambIlən ], yang baku adalah ambilah.àAmbil + en
Kata ambil dalam bahasa Indonesia mendapat tambahan akhiran -en yang merupakan akhiran dalam bahasa Jawa.
menembaki [mənεmba?i], seharusnya menembakki
[mənεmba?ki].àc. Menembak + i
d. Adanya pemakaian akhiran ‘-ke’
biarke [biarke], yang baku adalah biarkan.àbiar + ke
dudukke [dudU?ke], yang baku adalah dudukkanàduduk + ke
ambilke [ambIlke], yang baku adalah ambilkanàambil + ke
Akhiran -ke tidak terdapat dalam bahasa Indonesia, akhiran -ke disini digunakan seperti dalam penggunaan akhiran –ake dalam bahasa Jawa.
biarke [biarke], yang baku adalah biarkan.àbiar + ke
dudukke [dudU?ke], yang baku adalah dudukkanàduduk + ke
ambilke [ambIlke], yang baku adalah ambilkanàambil + ke
Akhiran -ke tidak terdapat dalam bahasa Indonesia, akhiran -ke disini digunakan seperti dalam penggunaan akhiran –ake dalam bahasa Jawa.
2. Bahasa Indonesia
yang keinggris-inggrisan
Hal ini biasanya terdapat dalam pengucapan/pelafalan bahasa Indonesia yang menyerupai pelafalan/pengucapan bahasa Inggris.
Contoh:
diucapkan Becheq [bεchε?]àBecek [bεcεk]
fonem t [t] diucapkan c [c]
gicu [gicu]àGitu [gitu]
anchri [anchri]àAntri [antri]
Hal ini biasanya terdapat dalam pengucapan/pelafalan bahasa Indonesia yang menyerupai pelafalan/pengucapan bahasa Inggris.
Contoh:
diucapkan Becheq [bεchε?]àBecek [bεcεk]
fonem t [t] diucapkan c [c]
gicu [gicu]àGitu [gitu]
anchri [anchri]àAntri [antri]
3. Bahasa Jawa yang
keindonesia-indonesiaan.
Penggunaan akhiran -lah.
Contoh:
wis ta ‘sudahlah’àwislah [wIslah]
Penggunaan akhiran -lah.
Contoh:
wis ta ‘sudahlah’àwislah [wIslah]
III.
Penutup
Sikap bahasa adalah posisi mental atau perasaan terhadap bahasa sendiri atau bahasa orang lain (Kridalaksana, 2001:197). Keadaan dan proses terbentuknya sikap bahasa tidak jauh dari keadaan dan proses terbentuknya sikap pada umumnya. Lambert (1967) menyatakan bahwa sikap itu terdiri dari tiga komponen, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif.
Sikap bahasa adalah posisi mental atau perasaan terhadap bahasa sendiri atau bahasa orang lain (Kridalaksana, 2001:197). Keadaan dan proses terbentuknya sikap bahasa tidak jauh dari keadaan dan proses terbentuknya sikap pada umumnya. Lambert (1967) menyatakan bahwa sikap itu terdiri dari tiga komponen, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif.
Anderson (1974) membagi sikap atas dua
macam, yaitu (1) sikap kebahasaan dan (2) sikap nonkebahasaan. Sikap kebahasan
dapat dikategorikan menjadi dua sikap yaitu sikap positif dan sikap negatif.
Sikap positif yaitu sikap antusiasme terhadap penggunaan bahasanya (bahasa yang
digunakan oleh kelompoknya/masyarakat tutur dimana dia berada). Sebaliknya jika
ciri-ciri itu sudah menghilang atau melemah dari diri seseorang atau dari diri
sekelompok orang anggota masyarakat tutur, maka berarti sikap negatif terhadap
suatu bahasa telah melanda diri atau kelompok orang itu. Garvin dan Mathiot
(1968) merumuskan tiga ciri sikap bahasa yaitu kesetiaan bahasa (language
loyalty), kebanggaan bahasa (language pride), kesadaran adanya norma bahasa
(awareness of the norm).
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Chaer,
Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Harimurti Kridalaksana. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Mansoer, Pateda. 1990. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.
Nababan, P.W.J. 1986. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia.
Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik Teori dan Problema. Surakarta: Henari Offset Solo.
http://www.google.com-sosiolinguistik-sikap bahasa.
Harimurti Kridalaksana. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Mansoer, Pateda. 1990. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.
Nababan, P.W.J. 1986. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia.
Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik Teori dan Problema. Surakarta: Henari Offset Solo.
http://www.google.com-sosiolinguistik-sikap bahasa.
Beberapa pemikiran pakar memang sengaja
tidak muncul dalam daftar pustaka karena menunggu artikel ini diterbitkan dalam
buku. Harap maklum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar