Kamis, 12 Desember 2013


Lelah gunakan jalan korupsi, berganti gunakan jalan kurikulum
Kurikulum pendidikan yang sangat – sangat merugiakan selain mahasiswa namun juga peserta didik seperti SMA, SMP dan sederajat. Misalnya peserta didik yang berada diluar jawa, tak akan mengenal jawa karna memang tidak diajarkan disana yang memang kurikulum baru menerapkan pengajaran bahasa daerah masing – masing.
Terpinggirkanlah mahasisiwa bahasa jawa, lalu buat apa setiap tahunnya berbagai macam universitas yang memiliki jurusan bahasa dan sastra jawa meluluskan puluhan bahkan ratusan sarjana bahasa dan sastra jawa, terutamakan pendidikan bahasa jawa kalau lapangan kerjanya pun mulai akan dilahap oleh oknum-oknum tertentu.
Inikah jalan perlahan para pembesar negara untuk menghancurkan negaranya sendiri. Melalui pendidikan. Ya, inilah jalan termudah lagi bersih yaitu mencerdaskan sekaligus membodohkan dan menghancurkan. Tidakpuaskah menggunakan jalan korupsi? Jalan bersih namun kotor.
Korupsi adalah kejahatan yang sudah tidak menjadi rahasia umum, karena sekarang korupsi sudah dijalankan dengan terbuka. Perilaku seperti ini bisa sangat merugikan negara. Korupsi sudah menjadi Kebiasaan di negeri ini, mereka yang memakan uang negara dengan seenaknya, melahap kekayaan negeri  ini dengan menggunakan jabatan mereka. Tanpa berfikir apakah negara ini akan rugi karena perbuatan mereka. Jelas ini merugikan negara, mereka memakan uang rakyat, tanpa melihat bagaimana keadaan rakyat, padahal rakyatlah yang sangat membutuhkan uang negara di bandingkan mereka para pejabat. mereka yang sebenarnya bertugas melayani rakyat justru malah menggunakan kekuasaan mereka untuk membuat rakyat lebih sengsara.jabatan mereka justru menjadi jalan luas untuk mereka melakukan korupsi.
Banyak uang yang dihasilkan negara ini,tapi tidak tahu kemana larinya uang itu. wacana yang berkembang pemasukan yang dihasilkan oleh negara itu masuk ke kantong para koruptor . padahal sesungguhnya pendapatan negara  dihasilakan lewat keringat rakyat. Tapi justru mereka tidak merasakan sesuai dengan yang dilakukannya. Seharusnya mereka ikut menikmati uang negara ini,tapi mencium baunya saja tidak.
Mungkin tiada landasan kejujuran di hati mereka hingga mereka melakukan perbuatan tercela ini, bahkan perbuatan korupsi lebih hina dari pada perbuatan maling ayam. Atau bahkan Sebenarnya mereka sadar hal ini salah tapi karena memang ada kesempatan bagi mereka untuk melakukan ini, maka tanpa berfikir lama mereka menggunakan kesempatan ini dengan sebaik baiknya.
Sebenarnya apabila ada landasan kejujuran bagi mereka yang lebih kuat, mungkin hal ini tidak akan mereka lakukan. Jika dilihat sekejap mata kebanyakan para koruptor itu mempunyai latar belakang pendidikan yang tinggi, namun tetap saja melakukan tindakan yang abnormal. Pendidikan yang mereka raih memang semuanya berasal dari pendidikan formal, dimana pendidikan tersebut dilaksanakan dengan melalui sistem top down. Sistem seperti ini tidak bisa menggerakan jiwa-jiwa mereka, idealnya untuk membiasakan mereka melakukan perbuatan jujur adalah menggunakan pendidikan yang berbasis battom up.
Pendidikan dengan sistim herarkhi (Top down) sepertinya amat relevan untuk situasi-situasi implemnatasi masalah kebijakan saja (Arif Rohman 2009 :140). Untuk masalah pendidikan moral jelas sangat sedikit kemungkinannya bisa efektif jika menggunakan car-cara seperti inii, karena pendidikan moral berasal dari kebiasaan-kebiasaan.
Minimnya pendidikan yang diberikan orang tua pada masa kecil pun bisa menjadi faktornya. Secara tidak disadari, orang tua kadang-kadang memberikan pendidikan yang negatif kepada anak-anaknya, seperti memanjakan mereka, apa yang mereka inginkan selalu dikabulkan, sehingga membentuk pola pikir anak apabila mereka menginginkan sesuatu harus dikabulkan. Anak jadi malas untuk berusaha, yang dilakukan hanya meminta, lalu dikabulkan, tak ada usaha berat sedikitpun.
Berbeda dengan jika orang tua yang tidak memanjakan anaknya, permintaan anak tidak selalu dikabulkan, mereka memilih dahulu, apa yang memang benar-benar dibutuhkan anak akan diusahakan, sedangkan jika hanya berwujud sebuah keinginan tanpa adanya kebutuhan, atau belum saatnya permintaan itu dikabulkan, maka mereka akan menolak permintaan itu. Yang lainnya, jika si anak mempunyai keinginan untuk membeli baju-baju baru, mereka akan membelikannya dengan syarat si anak harus memperoleh nilai bagus pada saat ulangan akhir semester misalnya, paling tidak mendapat ranking tiga besar di kelasnya, perlakuan  orang tua semacam itu membentuk pola pikir anak  untuk berusaha terlebih dahulu untuk mecapai sebuah keinginan.
Pendidikan moral lain ialah tidak membiarkan anak untuk menghambur-hamburkan uang jajannya. Atau jika si anak meminta uang pada orang tua untuk membeli sesuatu, maka jika uang itu ada sisa harus dikembalikan kepada orang  tuanya. Menjadikan anak agar menggunakan uang seperlunya, sesuai kebutuhan anak, tidak menghamburkan uang  sesukanya. (Teori Pendidikan Moral)
Mengajari anak untuk saling memberi juga dapat membentuk watak anak, contohnya mengajari mereka untuk menyisihkan uang jajan mereka, kemudian jika uang tabungannya sudah terkumpul banyak, orang tua menyuruh anaknya untuk membagi dua hasil tersebut. Yang sebagian untuk membeli apa yang diinginkannya sebagai apresiasi terhadap anak yang mau untuk berhemat dan menyisihkan uang jajannya. Dan yang sebagian lagi di berikan kepada anak-anak seusia anak mereka yang membutuhkan sepeser-duapeser uang, atau kepada panti asuhan anak, mengajarinya untuk saling mengasihi, untuk berempati-simpati terhadap teman-temannya yang membutuhkan “pertolongannya”, walaupun sedikit atau bahkan memaksa anak.



                                                                                                                Bashiroh akhil

                                                                                                   Sastra jawa UNNES

Tidak ada komentar:

Posting Komentar