Lelah gunakan jalan
korupsi, berganti gunakan jalan kurikulum
Kurikulum
pendidikan yang sangat – sangat merugiakan selain mahasiswa namun juga peserta
didik seperti SMA, SMP dan sederajat. Misalnya peserta didik yang berada diluar
jawa, tak akan mengenal jawa karna memang tidak diajarkan disana yang memang
kurikulum baru menerapkan pengajaran bahasa daerah masing – masing.
Terpinggirkanlah
mahasisiwa bahasa jawa, lalu buat apa setiap tahunnya berbagai macam
universitas yang memiliki jurusan bahasa dan sastra jawa meluluskan puluhan
bahkan ratusan sarjana bahasa dan sastra jawa, terutamakan pendidikan bahasa
jawa kalau lapangan kerjanya pun mulai akan dilahap oleh oknum-oknum tertentu.
Inikah
jalan perlahan para pembesar negara untuk menghancurkan negaranya sendiri.
Melalui pendidikan. Ya, inilah jalan termudah lagi bersih yaitu mencerdaskan
sekaligus membodohkan dan menghancurkan. Tidakpuaskah menggunakan jalan
korupsi? Jalan bersih namun kotor.
Korupsi adalah kejahatan yang sudah tidak
menjadi rahasia umum, karena sekarang korupsi sudah dijalankan dengan terbuka.
Perilaku seperti ini bisa sangat merugikan negara. Korupsi sudah menjadi
Kebiasaan di negeri ini, mereka yang memakan uang negara dengan seenaknya,
melahap kekayaan negeri ini dengan
menggunakan jabatan mereka. Tanpa berfikir apakah negara ini akan rugi karena
perbuatan mereka. Jelas ini merugikan negara, mereka memakan uang rakyat, tanpa
melihat bagaimana keadaan rakyat, padahal rakyatlah yang sangat membutuhkan
uang negara di bandingkan mereka para pejabat. mereka yang sebenarnya bertugas
melayani rakyat justru malah menggunakan kekuasaan mereka untuk membuat rakyat
lebih sengsara.jabatan mereka justru menjadi jalan luas untuk mereka melakukan
korupsi.
Banyak uang yang dihasilkan negara ini,tapi
tidak tahu kemana larinya uang itu. wacana yang berkembang pemasukan yang
dihasilkan oleh negara itu masuk ke kantong para koruptor . padahal
sesungguhnya pendapatan negara
dihasilakan lewat keringat rakyat. Tapi justru mereka tidak merasakan
sesuai dengan yang dilakukannya. Seharusnya mereka ikut menikmati uang negara
ini,tapi mencium baunya saja tidak.
Mungkin tiada landasan kejujuran di hati
mereka hingga mereka melakukan perbuatan tercela ini, bahkan perbuatan korupsi
lebih hina dari pada perbuatan maling ayam. Atau bahkan Sebenarnya mereka sadar
hal ini salah tapi karena memang ada kesempatan bagi mereka untuk melakukan
ini, maka tanpa berfikir lama mereka menggunakan kesempatan ini dengan sebaik
baiknya.
Sebenarnya apabila ada landasan kejujuran bagi
mereka yang lebih kuat, mungkin hal ini tidak akan mereka lakukan. Jika dilihat
sekejap mata kebanyakan para koruptor itu mempunyai latar belakang pendidikan
yang tinggi, namun tetap saja melakukan tindakan yang abnormal. Pendidikan yang
mereka raih memang semuanya berasal dari pendidikan formal, dimana pendidikan
tersebut dilaksanakan dengan melalui sistem top
down. Sistem seperti ini tidak bisa menggerakan jiwa-jiwa mereka, idealnya
untuk membiasakan mereka melakukan perbuatan jujur adalah menggunakan
pendidikan yang berbasis battom up.
Pendidikan dengan sistim herarkhi (Top down)
sepertinya amat relevan untuk situasi-situasi implemnatasi masalah kebijakan
saja (Arif Rohman 2009 :140). Untuk masalah pendidikan moral jelas sangat
sedikit kemungkinannya bisa efektif jika menggunakan car-cara seperti inii,
karena pendidikan moral berasal dari kebiasaan-kebiasaan.
Minimnya pendidikan yang diberikan orang tua
pada masa kecil pun bisa menjadi faktornya. Secara tidak disadari, orang tua
kadang-kadang memberikan pendidikan yang negatif kepada anak-anaknya, seperti
memanjakan mereka, apa yang mereka inginkan selalu dikabulkan, sehingga
membentuk pola pikir anak apabila mereka menginginkan sesuatu harus dikabulkan.
Anak jadi malas untuk berusaha, yang dilakukan hanya meminta, lalu dikabulkan,
tak ada usaha berat sedikitpun.
Berbeda dengan jika orang tua yang tidak
memanjakan anaknya, permintaan anak tidak selalu dikabulkan, mereka memilih
dahulu, apa yang memang benar-benar dibutuhkan anak akan diusahakan, sedangkan
jika hanya berwujud sebuah keinginan tanpa adanya kebutuhan, atau belum saatnya
permintaan itu dikabulkan, maka mereka akan menolak permintaan itu. Yang
lainnya, jika si anak mempunyai keinginan untuk membeli baju-baju baru, mereka
akan membelikannya dengan syarat si anak harus memperoleh nilai bagus pada saat
ulangan akhir semester misalnya, paling tidak mendapat ranking tiga besar di
kelasnya, perlakuan orang tua semacam
itu membentuk pola pikir anak untuk
berusaha terlebih dahulu untuk mecapai sebuah keinginan.
Pendidikan moral lain ialah tidak membiarkan anak untuk menghambur-hamburkan uang jajannya.
Atau jika si anak meminta uang pada orang tua untuk membeli sesuatu, maka jika
uang itu ada sisa harus dikembalikan kepada orang tuanya. Menjadikan anak agar menggunakan uang
seperlunya, sesuai kebutuhan anak, tidak menghamburkan uang sesukanya. (Teori Pendidikan Moral)
Mengajari anak untuk saling memberi juga dapat membentuk watak anak,
contohnya mengajari mereka untuk menyisihkan uang jajan mereka, kemudian jika
uang tabungannya sudah terkumpul banyak, orang tua menyuruh anaknya untuk
membagi dua hasil tersebut. Yang sebagian untuk membeli apa yang diinginkannya
sebagai apresiasi terhadap anak yang mau untuk berhemat dan menyisihkan uang
jajannya. Dan yang sebagian lagi di berikan kepada anak-anak seusia anak mereka
yang membutuhkan sepeser-duapeser uang, atau kepada panti asuhan anak,
mengajarinya untuk saling mengasihi, untuk berempati-simpati terhadap
teman-temannya yang membutuhkan “pertolongannya”,
walaupun sedikit atau bahkan memaksa anak.
Bashiroh
akhil
Sastra
jawa UNNES
Tidak ada komentar:
Posting Komentar