Kamis, 12 Desember 2013

BUMI MANUSIA

Aku mengangkat sembah sebagaimana biasa aku lihat dilakukan penggawa terhadap kakekku dan nenekku dan orang tuaku, waktu lebaran. Dan entah sampai berapa kali lagi aku harus mengangkat sembah nanti. Sembah ­-----pengagungan pada leluhur dan pembesar melalui perendehan dan penghinaan diri ! sampai sedatar tanah kalau mungkin!  Uh, anak cucuku tak akan kurelakan menjalani kehinaan ini.
Oh, nenek  moyangku mengapa kau tega mewariskan budaya yang memalukan dan hina ini.
Keparat!, ini ternyata yang terjadi pada nenek moyangku terdahulu, bumi manusia.
Perlahan kuinjakkan kakiku  pada kenistaan ini,  yang memalukan, ku baca, kupelajari,  kucari. Dan ternyata itu benar terjadi.
Kak,, bagaimana budaya yang hina ini bisa terjadi?
Aku pun tak mengerti,  ya begitulah hukum adat.
Namun, bukankah selain ditangan tuhan, kodrat manusia kini dan kemudian,  penguasanya atas ilmu dan pengetahuan. Maka, budaya yang menghinakan ini bukan lagi jadi paksaan, namun pilihan.
Manusia haruslah sadar, perubahan bukanlah menunggu namun mengapa tidak mencari dan melahirkan. Berani mencetuskan serta mengaplikasikannya. Dalam kehidupan ilmu tidak ada kata malu, orang tidak malu karena salah ataupun keliru. Kekeliruan dan kesalahan justru akan memperkuat kebenaran, jadi juga membantu penyelidikan.
Namun, terkadang kebenaran hanya berpihak pada beberapa orang saja, entah dimata hukum bagaimana yang sebenarnya. Hal yang sangat memungkinkan adalah perpedaan ‘’status sosial’’yang menyebabkan semuanya, seperti pribumi dengan eropa, maupun indo. Orang berkulit putih dengan orang berkulit hitam, orang terpelajar dengan orang yang tak pernah menginjakkan kakinya dalam pendidikan, orang yang berbudi terhadap orang yang biadap. Namun apa yang sebenarnya yang membedakan mereka? Yang katanya dimata hukum mereka semua adalah sama.
Pribumi sangat dihinakan dengan intelaktual yang tak main- main, apalagi bagaimana orang yang tak mengerti baca tulis. Hukum pun sudah tak mampu menolong, pribumi menjadi budak dan dihinakan dikerajaan sendiri. Sudah bukan kata kejam lagi yang ingin kusampaikan. Keparat!!, brengsek!!, kurang ajar!!.itupun mungkin masih belun berarti.
Lalu apa gunanya berdeklarasi tanpa kekuatan, tak berguna. Pergerakan tanpa emosi ambisi, pengalaman dan dasar Intelektual.
‘’Ah...! bualan saja itu, fenomena ini bukan hanya terjadi pada zaman mu ‘’bang Pram’’ ini pun juga terjadi pada masa ku. Masih banyak ketidakadilan di Negeri kita ini bang, tak akan ada habisnya bila kutulis semua ketidakadilan itu, apa boleh buat. Aku harus pura-pura menulis yang baik-baik saja’’.
Haruskah ketidakadilan ini menjadi budaya  seperti pada masa Pram yang membudayakan sujud sembah kepada leluhur yang harus menunduk sampai lutut, bahkan kaki sampai tanah. Kini pun akan terjadi lagi tapi bukan sujud sembah kepada nenek moyang, melainkan sujud sembah pada ketidakadilan yang berlaku. Mau melawan? Hukum yang mengambil anak dari ibunya, merampas istri dari suaminya, menadah keringat yang sudah dikumpulkannya. Ya!, sungguh benar, ilmu pengetahuan adalah dasar kekuatan, dan kebodohan adlah budaknya. PRAMOEDYA, memainkan sastra eropanya untuk menyampaikan bagaimana pribumi dihinakan. Bumi manusia.
                                                                                         Bashiroh  Akhil

Tidak ada komentar:

Posting Komentar