Selasa, 14 Januari 2014

managemen bahasa

Manajemen bahasa dan interaksi sosial dalam
tempat kerja berbagai bahasa
Hanne Tange dan Jakob lauring
Aarhus School of Business, University of Aarhus, Aarhus, Denmark

Tujuan __ Paper ini bertujuan untuk mengidentifikasi praktik-praktik komunikasi yang timbul dari perusahaan yang memutuskan untuk menerapkan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional, yang diterapkan dalam  hubungan sosial dan tempat kerja yang berbagai bahasa.
Metodologi__ sebuah studi ekplorasi yang berdasarkan riset wawancara kualitatif.
Penemuan __ hasil analisis yang mengarah pada  pendapat umum  yang berbeda dalam menanggapi penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa Internasional dalam praktik komunikasi di berbagai organisasi-organisasi di Denmark. Hal ini melihat pada sekelompok kecil yang berkomunikasi menggunakan bahasanya sendiri dalam tempat kerja yang berbagai bahasa.
Implikasi __  wawancara kepada berbagai macam organisasi-organisasi yang terdapat di Denmark. Di perlukan riset baru dalam penerapan linguistik pada berbagai tempat.
Implikasi praktis __ riset mengidentifikasi dua hambatan untuk interaksi karyawan dalam tempat kerja berbagai bahasa. Ini sangat relevan bila dihubungkan dengan perencanaan bahasa dan keragaman managemen yang ada.
Nilai __ paper yang sebenarnya menyampaikan penerapan yang menghasilkan suatu sudut pandang sosiolinguistik dalam praktik linguistik karyawan. Poin pentingnya terletak pada bahasa sebagai satu sumber daya sosial dan membatasi adanya politik dalam penggunaan bahasa internasional. Kata kunci bahasa, interaksi sosial, managemen komunikasi, Denmark, bahasa inggris.
Tipe paper__ peneitian

Pendahuluan
Tempat Kerja Mengeluarkan tiket gratis sejenis kartu Research  Pengenalan Ekspansi dalam setiap aktivitas bisnis pasar global yang dapat digunakan pada kondisi-kondisi tertentu dalam penyimpangan penggunaan bahasa yang dilakukan oleh mereka sendiri (Dll Welch., 2005).
Hal ini nyata terutama dalam kasus manajer internasional yang berkemampuan untuk mengendalikan orang-orang koordinat, kegiatan dan sumber di satu skala global melibatkan manajemen komunikasi di berbagai tempat perbatasan-perbatasan inernasional. Namun demikian, dalam tempat kerja domestik juga terdapat tempat perekrutan asing. Merger dan kemitraan internasional terdapat perbedaan bahasa yang dialami oleh anggota-anggotanya. Ahli-ahli teori manajemen kenali peran bahasa sebagai seorang fasilitator yang berguna untuk akuisisi dan transmisi informasi dalam interaksi soaial dengan orang lain (misalnya Dhir danGo´ke´-parı´ola´, 2002; Feely and harzing, 2003). Kami melakukan riset praktik komunikatif dalam 14 organisasi yang ada di Denmark menunjukkan bahwa perilaku karyawan tidak bisa dijelaskan dengan merujuk kepada keterampilan-keterampilan berbahasa sendirian, tetapi harus diperiksa dalam kaitannya dengan kekuatan identitas sosial (Bourdieu, 1991; Jenkins, 2000).
            Bahasa yang digunakan pada tempat kerja  yang sebelumnya dalam perusahaan-perusahaan multinasional telah menyampaikan multilingualism yang menciptakan situasi managerial yang sulit dalam penerapan komunikasi lintas budaya (Dll Marschan-Piekkari., 1999b). Masalah semakin bertambah dengan adanya jumlah wujud bahasa bersama dalam sebuah lembaga, dan satu solusi nyata telah memperkenalkan satu bahasa korporat (bahasa persatuan) untuk mengendalikan keadaan dan mengkoordinir berbagai kegiatan-kagiatan internasional (Feely and Harzing, 2003). Pengenalan bahasa perusahaan terbukti mampu membantu komunikasi eksternal dan internal sejak penggunaan satu media untuk semua anggota organisasi dan menawarkan akses mudah untuk semua saluran informasi seperti laporan perusahaan atau majalah-majalah. Namun tetap tidak terdapat kejelasan dampak bahasa koporat dalam pertukarannya baik dalam lingkup pribadi maupun dalam anggota-anggota kelompok bahasa  yang berbeda dalam suatu organisasi. Untuk menjawab hal ini, penelitian yang kini  akan mengeksplorasi hubungan antara antropologi linguistik dan manajemen lintas budaya, mengambil satu tempat sebagai awal penelitian mengenai bahasa dan komunikasi sebagai bagian penting dalam interaksi sosial (Gumperz dan Gumperz, 1996).
Definisi bahasa yang pertama, kita dapat menggunakan kerangka kerja sosialinguistik yang disajikan oleh Troike-Saville. Troike-Saville menjabarkan pilihan para pengguna bahasa dengan media linguistik yang membahas mengenai keprihatinan sosio-budaya seperti fokus dengan satu percakapan (misalnya ingroup/outgroup, formal/tidak resmi), menetapkan (misalnya tempat, waktu, pengguna bahasa), fungsi (e.g. task/relationship), dan identitas sosial (misalnya nasional,profesional, perbedaan kelamin). Kriteria yang dimungkinkan  mirip adalah saat menggunakan bahasa nasional dengan bahasa-bahasa korporat akan sulit untuk membedakannya. Bahasa nasional, pada satu sisi,  dikaitkan kepada satu unit geopolitik tertentu. Sebagai bahasa komunikasi yang diutamakan pada satu negara, ia didukung oleh aparatur negara dan memiliki sebuah fungsi untuk membangun hubungan yang kuat, memberikan para pengguna bahasa dengan satu tanda sosial yang  jelas terhadap identitas kebudayaannya (Anderson, 1990). Di bandingkan olehnya, bahasa korporat adalah bahasa yang istimewa dalam suatu kelompok yang terkadang menjadi identits kelompok tersebut (ciri khas). Meskipun terkadang dianggap atau dijadikan sebagai satu lambang organisasi kesatuan, tujuan utamanya untuk penyelesaian suatu pekerjaan , mengatasi masalah apa pun tentang linguistik dan hambatan budaya dalam komunikasi organisasi yang efektif. Jadi, bahasa nasional dan bahasa-bahasa korporat mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang berbeda  beserta tujuannya, seperti negara Denmark, di mana perencanaan bahasa korporat dengan menggunakan bahasa Inggris di organisasi yang biasanya Berbahasa Denmark.
Satu definisi alternatif ditawarkan oleh Bourdieu, yang memahami bahasa sebagai sumber simbolis yang menggunakan individu untuk mencapai dan mengungkapkan gagasan-gagasan kebudayaan dan  perilaku sosial. Dalam pasar linguistik menurut Bourdieu saat menemukan suatu yang dominan serta mendominasi pertukaran pikiran, dan kemampuan seseoraang yang mampu  mengartikan kode-kode seperti itu, mereka menentukan kekuatan sosial dan pengendalian dalam suatu kelompok sosial khusus atau dalam konteks organisasi (Hedlund, 1999; Dll Janssens., 2004; Nahapiet and ghoshal,1998). Menurut Bourdieu didimensi sosial mengenai  bahasa juga memiliki implikasi untuk pemahaman kinerja linguistik kami dalam tempat kerja berbagai bahasa.Pegawai-pegawai yang menguasai bahasa yang dominan memiliki akses untuk satu kisaran formal dan saluran-saluran komunikasi informal, memungkinkan mereka terlibat dalam ikatan sosial organisasi yang berbeda, sementara individu yang memiliki kelemahan dalam pengetahuan merasa diri mereka terisolasi dari jaringan informasi dan proses pengambilan keputusan (Dll Marschan-Piekkaria., 1999).
Hal ini dapat mendorong kearah munculnya alternatif pasar-pasar linguistik atau kebersamaan bahasa, dan hal ini telah diamati dalam beberapa konteks organisasi (Charles, 2006; Dll Vaara., 2005; Dll Welch., 2005).
Hasil penelitian mengungkapkan kendala berikutnya dalam komunikasi berbagai bahasa dalam tempat kerja. Hal ini disebut dengan komunikasi tipis, didefinisikan sebagai sebuah anggota organisasi yang tidak resmi dalam penggunaan bahasa persatuan orang luar seperti inggris. Alasan mengapa penggunaan bahasa tampak sedikit adalah orang-orang yang menggunakan bahasa inggris sangatlah terbatas dan relatif membatasi reportoar daftar linguistik, dilihat dari profesionalitas yang terjalin dalam sebuah obrolan, dan mereka merasa minder dalam penggunaan bahasa tersebut (bahasa inggris) dalam lingkungan kerja yang spesialis karena akan terlihat sekali kelemahan mereka dalam hal ini (Memarkir dll., 1996). Salah satu akibatnya, kumpulan kumpulan berbagai bahasa terlihat satu tingkat dalam bersosialisasi, dalam obrolan maupun pergunjingan, karena memiliki implikasi lebih dalam alih informasi.
Tujuan analisis adalah untuk memeriksa sehingga dapat mengetahui praktik-praktik komunikatif bahasa perkumpulan dan komunikasi tipis yang berhubungan dengan dengan berbagai macam organisasi dan jaringan. Kita akan sama-sama mengetahui tuduhan-tuduhan  yang kami tunjukkan dengan menyajikan suatu studi kualitatif  komunikasi lintas budaya dalam empat belas bahasa dalam berbagai organisasi di Denmark.
Makna sosial bahasa
Penjelasan sebelumnya telah dipaparkan ide-ide bahasa sebagai sumber sosio-budaya dalam organisasi berbagai bahasa, mayoritas mengungkapkan bahasa memiliki hubungan dengan adanya identitas sosial. Berikutnya diungkap lebih jelas, hubungan penggunaan bahasa dengan satu organisasi sosial atau sebuah komunitas. Pusat dalam pemahaman bahasa adalah gagasan sosiolinguistik dalam bahasa bermasyarakat, yang dapat didefinsikan sebagai sekumpulan pengguna-pengguna bahasa dalam menggunakan kode-kode tertentu dalam daftar linguistik (Gumperz, 1972; Morgan, 2004). Akses dalam satu masyarakat bahasa dikendalikan oleh anggota-anggota sendiri, dan untuk diterima kedalam kelompok, seorang pendatang baru akan mengalami suatu proses sosialisasi, yang mana melibatkan pembelajaran norma-norma dan praktik-praktik yang sangat kolektif, serta bahasa yang diperoleh kolompok tersebut. Implikasinya adalah terhambatnya bahasa sehingga tidak bebas dalam penggunaannya di struktur sosial, yang berarti pelaksana satu membagi bahasa dan tidak harus menyingkirkan organisasi untuk lintas budaya kimunikasi. Bahkan ketika mereka berbicara pada suatu media atau perkumpulan yang menggunakan bahasa inggris, komunikator mampu mengetahui bahwa mereka mengandalkan cara lain dalam memahami bahasa inggris, dan ini dapat menyebabkan komunikasi mereka gagal (Agha, 2004; Woolard, 2004).
                    Bourdieu (1991, p. 67) menjelaskan bahwa kekuatan bahasa dalam masyarakat bahasa dapat mengacu pada interaksi setempat, yang bisa di sebut dengan pasar linguistik. Dengan adanya penempatan bahasa dalam satu konteks sosial, Beurdieu memperlihatkan kemungkinan setiap individu adalah akan dikeluarkan atau tidak diterima pada satu tempat jika mereka tidak memiliki kelebihan yang spesifik untuk masuk ke lingkungan masyarakat tertentu. Sebagai contoh, pengetahuan khusus, satu gaya tertentu dalam interaksi, atau bahasa yang dominan ( Bourdieu, 1991). Dari sudut pandang ini, kompetensi bahasa tidak hanya melibatkan satu kemampuan linguistik untuk mengetahui satu bentuk bahasa yang benar sesuai yang ditentukan (misalnya berdasarkan gramatikal, sintasis, atau pengetahuan analisis), tetapi juga bahasa juga disesuaikan dengan keadaan-keadaan sosial dan lingkungan-lingkungan tertentu.
Pada tataran praktis, hal ini yang berarti ketrampilan-ketrampilan bahasa merupakan sumber (inti) sehingga mendorong individu terlibat dalam tindakan tertentu, sementara itu, pada tingkat simbolis, bahasa mewakili individu pada tempat kerja atau membedakan suatu kelompok pada tingkat sosial tertentu. Pada situasi tertentu, bahasa yang dominan atau bahasa asli akan diucapkan. Hal ini akan berkelanjutan jika bertemu dengan individu lain yang sama menggunakan “bahasa asli” sehingga akan memunculkan satu kesatuan organisasi.
Teori sosiologis menawarkan satu gagasan penting kepada pengguna bahasa dalam perannya di dalam hubungan masyarakat sosial, akan tetapi kebanyakan interaksi yang terjadi menggunakan bahasa yang sama, bahasa nasional (Brubaker, 2002; Jenkins, 1997). Perbedaannya, organisasi berbagai bahasa dengan mengakomodasi anggotanya dengan komunitas nasional yang lainnya, yang berarti tidak ada hirarki yang jelas terhadap penggunaan bahasa nasional itu sendiri. Sehingga hal ini menjadi alasan untuk memperhitungkan aspek kedua tentang perbedaan bahasa, yang mengatakan bahwa bahasa merupakan karakter tersendiri dalam perusahaan-perusahaan bisnis tingkat internasional.
Peran bahasa di organisasi-organisasi bahasa disebut dengan istilah multilingualism. Yang mengungkapkan bisa terdapat lebih dari satu bahasa yang masih memiliki eksistensinya dalam masyarakat tertentu. Multilinguism mengacu pada multikulturalisme dan merujuk pada kode tertentu yang dipengaruhi oleh spesifik regional, etnis, pekerjaan atau kelompok sosial (ekonomi), serta bangsa dan negara. Bahkan dalam komunitas (persatuan)  biasanya terdapat aturan seperti seorang warganegara harus berkomunikasi dengan menggunakan bahsa korporat (persatuan), karena dimungkinkan didalamnya terdapat  multilimguism (Silverstein, 1998; Troike-Saville, 2003). Dalam organisasi multibudaya, bentuk dan multilingualism bergantung pada faktor seperti tingkat organisasi (misalnya global, regional, nasional, lokal, dan individual), menetapkan (misalnya perusahaan induk, anak perusahaan) dan unit, yang melakukan satu analisis sosiolinguistik yang sangat komleks dalam komunikasi organisasi. Pada penelitian yang saat ini, kita menitikfokuskan pada multilingualilm secara global dan spesifik, yang memungkinkan kita menyoroti pada perbedaan antara menegemen teori yang ahli bahasa dan praktik-praktik komunikatif yang dilakukan oleh pengguna bahasa individual.
Ahli-ahli teori mangemen selalu terpacu pada sebuah pandangan metalinguistik bahasa yang berdasarkan satu sistem bahasa nasional (Dhir, 2005; Luo dan Shenkar, 2006). Tempat pertama yang menjadi tujuan analisis adalah persatuan bisnis multinasional, yang berarti multilingualism melibatkan satu keeksistensian persaingan bahasa nasional dalam suatu organisasi yang sama. Hal ini merupakan perspektif yang strategis, hambatan-hambatan dalam bidang linguistik berjalan sejajar dalam lingkup nasional, yang mengurangi arti profesional atau kode bahasa dalam masyarakat sosial yang berbahasa nasional. Terbentuknya managemen bahasa – dalam bentuk satu kode korporat yang umum – satu solusi yang mudah yang mengatakan penggunaan bahasa inggris akan mengesampingkan masyarakat bahasa yang menggunkan bahasa asli karyawan. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan mengenai praktik prilaku linguistik dalam suatu organisasi global bertentangan dengan teoro strategis yang bersubjek masyarakat tunggal bahasa (Charles, 2006; Dll Marschan-Piekkari., 1999a). daripada menerima perusahaan bahasa sebagai alat untuk meningkatkan suatu sistem organisasi, riset menunjukkan pengguna-pengguna bahasa menolak proses standardisasi, yang bisa jadi mereka merasa hal ini merupakan satu tantangan global tersendiri bagi karyawan lokal yang memiliki pengetahuan yang rendah, status dan nilai (Dll Piekkari., 2005; Dll Vaara., 2005).
            Mengenai tanggapan karyawan mengenai standardisasi linguistik, seseorang akan mengetahui multilingualism dari perspektif pengguna bahasa individual itu sendiri. Karena sekalipun ia tidak terlibat secara langsung dalam pengambilan alih oleh bahasa inggris, satu bahasa korporat (bahasa persatuan)  mempengaruhi akses anggota terhadap kode-kode bahasa dalam suatu organisasi (Agha, 2004; Woolard, 2004).  Sarana pengelolaan bahasa yang terdapat beragam tuturan baru yang memenuhi repertoires “ fungsi-fungsi bahasa perantara” ( Blommaert, 2003, p. 609), yang memiliki implikasi terhadap pengguna-pengguna bahasa yang memiliki posisi dalam suatu organisasi dan akan mempengaruhi akan kode-kode yang ada didalamnya. Dalam pertemuan-pertemuan formal, hal ini relatif tidak bermasalah sejak dilakukannya pertukaran jargon dari kelompok  spesilis yang pembicaranya adalah orang-orang luar yang sudah terlebih dahulu menjalani pendidikan bahasa inggris atau sebagai anggota pada sebuah komunitas yang praktik menggunakan bahasa inggris (Keating dan Egbert, 2004; Wenger, 1999). Dibandingkan, kefasihan cara berbicara orang-orang luar, maka terlihat dartar linguistik yang begitu tertinggal. Para karyawan merasa khawatir akan adanya pertukaran yang tidak resmi akan mempengaruhi linguistik yang semakin terbelakang, yang secara tidak langsung merusak profesi keahlian mereka, dan hal ini dapat mendorong pada sebuah percakapan yang tidak biasa (susah dimengerti). Sebagai satu konsekuensinya, prilaku komunikatif bahasa perkumpulan dan bahasa tipis dapat dikaitkan dengan pengalaman pengguna-pengguna bahasa dengan multilingualism, selanjutnya akan kita jelaskan pada analisis di bawah ini.

Metodologi
Topik yang saat ini sangat menarik pada suatu studi kualitatif yang lebih besar, yang bertujuan untuk menetahui hambatan serta peluang yang berhubungan dengan perbedaan bahasa dan kebudayaan. Hal ini menitikfokuskan pada tujuh daerah : kekuatan bekerja, sosial dalam lingkungan kerja, citra, persaingan etnis, intelijen pasar, pengertian internasional dan pengetahuan sinergi, penerapan pendekatan hermenetik untuk studi antar budaya komunikasi (Nyna¨s, 2006; Svane, 2006). Salah satu tema yang timbul dari investigasi yang dilakukan adalah hubungan antara perilaku komunikatif pengguna-pengguna bahasa dan struktur sosial dalam tempat kerja berbagai bahasa – topik tersebut tertera disini. Berikutnya, dalam metodologi penelitian kami menggunakan studi yang lebih besar, penelitian ini mengidentifikasi mengenai praktik linguistik bahasa perkumpulan dan komunikasi tipis. Tujuannya untuk memberikan gambaran umum mengenai komunikasi lintas budaya dalam lingkungan kerja yang berbagai bahasa di Denmark, dan kita telah menentukan satu tempat khusus untuk penelitian dengan melibatkan suatu organisasi. Kami memilih suatu lokasi penelitian berdasarkan presentasi karyawan dengan satu latar belakang nasional selain dari Denmark, dan mereka terdiri dari bermacam-macam adat istiadat dan bahasa dalam tempat kerja yang ada di Denmark. 14 unit yang diorientasikan secara internasional, organisasi-organisai yang sangat intensif  dalam pengetahuan, di mana permainan bahasa dalam komunikasi antar budaya memiliki peran penting dalam aktivitas sehari-hari. Fokus penelitian ini adalah obat?? , IT perusahan, teknik dan teknologi yang canggih, dan organisasi-organisasi yang terletak di Kopenhagen serta kota-kota kecil di Denmark. Selain penyebaran regional ini, unit yang berbeda-beda dalam hal kepemilikan, ukuran, dan kepentingan ekonomi. Dalam hal kepemilikan, kami mengambil sampel perusahaan swasta serta usaha-usaha Pemerintah-Swasta, induk perusahaan asing, serta perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh Denmark sendiri.
Dalam hal jumlah, tiga organisasi-organisasi terbesar itu mempekerjakan libih dari 5.000 karyawan, sementara lima unit terkecil digaji kurang dari sepuluh karyawan masing-masingnya. Semuanya menggunakan bahasa inggris sebagai bahasa resmi mereka untuk berkomunikasi, keadaan di Denmark yang populasinya sangatlah kecil dan kebutuhan ekonomi yang meningkat sehingga melibatkan meraka dalam kegiatan internasional. Namun demikian, hanya satu persen karyawan yang merupakan penutur asli inggris.
Hasil utama dari beberapa penelitian disajukan dalam bentuk wawancara. Dalam bekerja sama dengan penjaga-penjaga gerbang suatu organisasi, kami mengidentifikasi kunci informan terlibat dalam komunikasi lintas budaya, melakukan sebanyak 82 wawancaradengan manager dan karyawan. Dari yang terwawancara, 43 dari Denmark, sementara 39 mewakili perwakilan dari bangsa lain. Wawancara dilakukan di Denmark dan Inggris dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendetail. Semua, kecuali Inggris wawancara dilakukan dengan mendatangkan penerjemah dari luar, yang mengerti bahasa asli mereka seperti, bahasa Polandia, bahasa Rusia, bahasa Rumania, Italia, Belanda, Prancis, Mandarin, Vietnam, bahasa Hindia dan Arab.
Wawancara dilakukan dengan berdialog antara peneliti dan informan, pertanyaan yang diajukan mengenai efek keragaman budaya dalam berkomunikasi. Tujuannya ialah untuk mengajak infornan sehingga menguraikan situasi tertentu di mana mereka mendapati linguistik dan atau keragaman budaya andaikan mempengaruhi rutinitas-rutinitas kerja sehari-hari mereka. Panduan wawancara awal berisi pertanyaan yang berhubungan dengan pengalaman karyawan dengan keragaman, petunjuk-petunjukmorganisasi (bahasa korporat), dan dampak keragaman dalam berkomunikasi. Sejak awal penelitian dilakukan secara terbuka, analisa data dibawa keluar secara serentak dengan mengumpulkan informan baru, dengan diizinkan integrasi berkelanjutan dengan tema dan ide-ide yang timbul saat wawancara dan tetap berpedoman pada dasar yang ada (Miles dan Huberman, 1994; Spradley, 1980). Dalam praktik, kami bermaksud menggabungkan tema yang diusulkan oleh para informan kedalam konsep yang telah ada guna untuk wawancara-wawancara berikutnya dan dengan demikian kita menggabungkan pandangan informan dengan satu sistematis data (Fontana dan Frey, 1994).
            Kami melakukan wawancara dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan menggunakan penyandian dengan tangan, dengan tidak menggunakan halaman teks. Berdasarkan bahan berkode, kita memasukkan data ke indeks dan diagram pohon dengan subkategori (Bernard, 1995; Spradley, 1980). Berhubungan dengan penelitian yang sedang dilakukan, topik utama muncul dari analisis mengenai komunikasi lintas budaya, penggunaan bahasa, pengetahuan lintas budaya, dan potensi pembangunan interaksi lintas budaya, sehingga semua isu-isu menjadi jelas akan isu-isu antar budaya yang mengedepankan informan yang berkemungkinan memiliki kaitannya dengan multilingualism. Pada awalnya, pengguna bahasa diidentifikasikan mengandung komunikasi yang spesifik dalam kelompop-kelompok sosial tertentu dan dalam kebudayaan. Sedangkan analisis-snalisis berikutnya menyoroti tema sosial pecahan dan komunikasi tipis.
            Kita memutuskan semi wawancara berstruktur untuk metode penelitian utama kami. Karena mereka memberikan pemahaman mendalam mengenai lingkungan multidimensi, serta satu wawasan berharga terhadap isu-isu implisit seperti penggunaan bahasa dan praktik komunikasi. Kelemahan utama metode kami adalah bersifat data khusus, yang membuat suatu  kesimpulan yang sukar untuk diberlakukan dalam satu penelitian yang lain, dan yang mana tidak menyediakan perbandingan-perbandingan lintas budaya menggunakan cara penelitian yang kualitatif. Sebagaimana yang diperdebatkan sebelumnya, namun demikian, praktik bahasa perkumpulan dan komunikasi tipis hanya dapat dijelaskan dengan merujuk kepada situasi individu pengguna-pengguna bahasa, yang mempromosikan pilihan sebuah metode yang membenarkan satu  pemahaman lebih dalam perilaku manusia.

Praktik komunikatif dalam berbagai bahasa
   Penelitian ini mengenai praktik komunikatif dan linguistik dari organisasi-organisasi multibahasa yang ada di Denmark yang melatarbelakangi penelitian bahasa yang sedang berlangsung di Denmark. Seperti halnya laporan terbaru dari komite pemerintahan dalam acara seminar bahasa, terdapat statmen mengenai kecenderungan karyawan yang sering menggunakan bahasa asisng (Sprogudvalget, 2008). Pada bagian ini, alasannya di karenakan jumlah populasi yang terbatas, yang berarti bahwa setiap kegiatan internasional menuntut akuisisi bahasa asing, tetapi internasionalisasi linguistik juga didukung oleh pendapat umum bahwa Denmark memiliki kapasitas khusus untuk belajar bahasa asing khususnya bahasa inggis (Preisler, 1999).
Denmark memperlihatkan sikap keterbukaannya terhadap penelitian yang dilakukan. Beberapa informan mengatakan keragaman bahasa merupakan salah satu aset tersendiri untuk perusahaan mereka, dan lebih menekankan pada mereka untuk tetap berkomunikasi dengan bahasa mereka sendiri. Pada situasi yang sama keragaman bahasa bisa menjadi salah satu faktor untuk memperkuat hubungan eksternal dalam berkomunikasi karena, salah satu informan mengatakan “anda merupakan internasionalisasi internal”, yang membuatnya lebih mudah untuk merekrut tenaga kerja dari negara lain. Akhirnya, informan mengomentari mengenai pengambilan bahasa inggis sebagai bahasa perusahaan, yang mereka lihat adanya keuntungan tersendiri bagi organisasi yang ada di Denmark karena dalam paparan lingua franca dalam bisnis akan mampu meningkatkan kemampuan karyawan dalam menulis dan berbicara dalam bahasa inggris.
Retorika positif mengenai menagemen bahasa telah mengaburkan fakta bahwa banyak non-penutur asli yang sulit untuk menggunakan bahasa kedua (Park et al 1996) . orang-orang yang termasuk dalam kelompuk ini tidak mau mengakui terhadap kelemahan bahasa mereka, kemungkinan mereka takut akan anggapa yang kurang baik terhadap keahlian yang mereka miliki. Jadi, alih-alih mereka memilih strategi bahasa yang memungkinkan mereka untuk mampu bertahan bahkan memperkuat kekuatan sosial mereka dalam suatu organisasi. Hal ini bermasalah terutama dalam suatu organisasi yang berada di negara-negar kecil seperti Denmark dan Finlandia di mana bersaing dengan perusahaan perusahaan yang menggunakan bahasa inggris yang kuat, nasional bahasa ( Marschan - Piekkari et al 1999a ). Dalam keadaan seperti ini, orang dapat melihat penduduk setempat menggunakan bahasa nasional mereka yang bertujuan untuk komunikasi informal saja. Yang menurunkan status bahasa perusahaan, lalu mengucilkan orang yang tidak berbicara dengan bahasa lokal ( Charles dan Marschan - Piekkari , 2002 ) .
Penggunaan bahasa nasional untuk mengkonsolidasikan posisi otoritas sosial atau bahan dalam praktik pengembangan bahasa dan komunikasi tipis. Dari berbagai pendapat informan yang telah disampaikan, kami menganggap bahwa keragaman bahasa tetap menjadi hambatan dalam berbagai organisasi pengetahuan, dan belum tentu masalan ini dapat diselesaikan dengan di terapkannya bahasa korporat (bahasa persatuan).
Pengelompokan bahasa
   Praktik kelompik komunikasi bahasa mengambil pertemuan antara penutur bahasa nasional yang pertama kali di amati dalan studi organisasi Kone Marschan-Piekkari et al. 's (Marschan-Piekkaria et al 1999a, b). dalam wawancara kami, sebagian besar informan memiliki kesamaan dalam kelompok, walaupun mereka tetap memiliki ciri khas masing-masing. Mereka diklasifikasikan berdasarkan kesamaan dan perbedaan bahasa. Negara Amerika Latin termasuk dalam cakupan negara Spanyol yang menggunakan bahasa Spanyol, sedangkan Swis dan atau Belgia termasuk dalam cakupan negara Prancis yang menggunakan bahasa Prancis. Yang juga tak kalah penting adalah bahwa pengelompokan bahasa sesuatu karyawan mengasosiasikan berdasarkan out-group mereka daripada kelompok-mereka sendiri.
Denmark melihat terdapat kelompok-kelompok informal diantara rekan kerja internasional mereka. Sedangkan staf internasional menekankan antara mitra-mitra mereka adalah yang berasal dari Denmark sendiri. Seorang pegawai polandia memperlihatkan bagaimana kecenderungan Denmark kelompok bahasa yang informal sehingga membuat orang lain sulit untuk memahami bahasa mereka apalagi ikut dalam percakapan mereka.
Secara umum, kami bekerja bersama-sama dengan baik. Tetapi seperti contoh saat makan siang, jika anda duduk sendirian, maka orang-orang Denmark akan berbicara dengan bahasa mereka (bahasa Denmark), mereka lebih memilih untuk tidak duduk dengan orang asing (bukan orang Denmark). Pembicaraan kecil yang mereka lakukan dalam bahasa Denmark, terkadang mereka membicarakan banyak hal. Hal ini memberi anda gambaran tentang apa yang benar-benar terjadi, dan ini benar-benar membuat saya untuk masuk dan memahami percakapan mereka. Saya hanya mengetahui bahasa yang sejak kecil saya gunakan. Sebelumnya, saya hanya melakukan apa yang menjadi keahlian saya.
Praktik pengelompokan bahasa dapat berdasarkan dari ketidakmampuan berbahasa. Bahkan jika mereka menganggap dirinya sebagai pengguna bahasa Inggris yang kompeten, infoeman mngatakan tentu lebih nyaman berbicara menggunakan bahasa ibu mereka, mengakui ketika mereka menghadapi masalah yang berhubungan dengan pekerjaan, mereka lebih memilih berkomsultasi dengan orang yang memiliki kesamaan bahasa dengannya, daripada dengan orang dari kelompok bahasa yang berbeda. Ini merupakan pengecualian untuk satu-satunya karyawan wakil dari suatu kelompok bahasa, yang mungkin mengakibatkan adanya keterbukaan dalam berbahasa dan mengabaikan semua masalah linguistik dan sosial untuk mencari orang-orang yang mereka anggap lebih kompeten.
Pengelompokan bahasa dapat dicirikan dengan  munculnya alternatif pasar linguistik yang berdasarkan pada bahasa nasional karyawan. (Bourdieu, 1991). Dari data yang kami miliki, ini merupakan hal nyata dalam kaitannya dengan Denmark. Karena sebagian dari mereka telah mewakili mayoritas bahasa yang digunakan dalam organisasi, dan juga mereka merupakan orang-orang yang patuh akan peraturan-peraturan yang berlaku di Denmark mengenai penggunaan simbol-simbol dalam bahasa Denmark. Sebuah observasi yang dilakukan oleh seorang karyawan Italia menggarisbawahi akan dominasi Denmark ini merusak citra perusahaan dalam lingkungan kerja internasional.
“ketika saya datang kesini saya sangat kecewa. Kami selalu mendengar percakapan tentang negara-negara nordik dan harapan-harapannya yang sangat tinggi. Seperti perusahaan ini contohnya, ketika pertama kali datang kesini saya fikir perusahaan ini lebih internasional. Sebelumnya saya meminta mereka untuk berbicara dalam bahasa Denmark dan mereka mengatakan tidak, tidak, kami adalah perusahaan internasional dan kami berbicara dalam bahasa Inggris. Tapi, mereka tidak bisa memberikan alasan bagwa itu adalah perusahaan internasional dan bahasa Inggris adalah bahasa perusahaan. Ini hanyalah seduah perusahaan Denmark yang dengan banyak orang asing.
Penggunaan bahasa Denmark dalam interaksi informal akan meningkatkan kekuatan simbolis dari bahasa nasional, memperdalam kesenjangan antara mereka yang tidak memiliki akses dalam bahasa dan sumber daya. Dalam wawancara, informan non-pribumi mengomentari praktik linguistik Denmark, sangat menggarisbawahi hal ini karena mencegah pembicara non- Denmark berpartisipasi secara penuh dalam kehidupan sosial organisasi, terlepas dari klaim resmi korporasi untuk bahasa Inggris sebagai bahasa perusahaan, anggota masyarakat selain Denmark mengungkapkan bahwa integrasi mereka ke dalam organisasi bergantung pada kesediaan orang Denmark itu sendiri. Sebab, sebagai informan dari Belanda, bahkan jika tunjangan awalnya di peruntukkan non-pribumi, orang-orang Denmark mengharapkan anggota yang terlibat dalam kegiatan sosial itu agar belajar bahasa Denmark, dan jika mereka tidak menolak, dianggap bersedia untuk mempelajari bahasa setempat, yang terdapat pengecualian terhadap mereka dalam jaringan informal :
“bahasa itu penting, saya tisa menganggap hal ini adalah masalah besar. Akan tetapi, jika anda tidak mengetahiu bahasa yang anda gunakan, maka anda akan di buang kesuatu tempat (diasingkan), beberapa teman saya ada yang dibuang ke suatu tempat (diasingkan). Apabila  saya hidup di Denmark, jika saya mengatakan tidak untuk belajar berbicara dengan menggunakan bahasa Denmark, maka saya akan terisolasi dalam kehidupan bermasyarakat, jika saya hanya berkunjung ke Denmark, itu akan berbeda lagi” ucap orang belanda.
Dari perspektif manajemen, kelompok bahasa melemahkan trans-organisasi dalam berbagai pengetahuan dan jaringan. Ketika interaksi sosial yang terutama berorientasi terhadap anggota dari masyarakat tutur sendiri, maka hanya sedikit informasi yang didapatkan dalam pecakapan lintas bahasa, dan dalam tempat kerja multibahasa ini dapat menyebabkan keterbatasan pengetahuan dalam kelompok sosial tertentu.
“saya sedang rapat,  dan kami terdiri dari beberapa orang yang berbahasa Inggris, beberapa dari Kanada, Swedia, dan Denmark. Dan dalam waktu setengah jam, orang Denmark berbicara dalam bahasa Denmark, orang Swedia berbicara dalam bahasa Swedia. Dan setelah beberapa kali saya berkata – saya akan mulai! Dan orang-orang mulai berbicara dengan bahasa Inggris. Setelah itu saya benar-benar sadar bahwa tidak ada yang benar-benar mengerti satu sama lainnya. Orang-orang dari Arhus tidak mengerti apa yang di katakan oleh orang Swedia dan kami tidak mengerti apa yang dikatakan oleh orang-orang Denmark (karyawan, Amerika Utara).”
Ini merupakan contoh yang menyedihkan, dari hasil wawancara dikatakan bahasa yang berbasis marginalisasi non-pribumi menjadi rahasia umum dalam organisasi multibahasa, sehingga mengakibatkan proses isolasi dalam pengambilan suatu keputusan ( welch et al, 2005). Dari hasil penelitian kami, multilingualisme mempengaruhi komunikasi dan informasi dalam masyarakat linguistik tertentu (misalnya Varner dan Beamer, 2005). Kurangnya keterlibatan sosial merupakan alasan kedua terjadinya keanekaragaman bahasa, bagaimanapun akan menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas pertukaran karyawan dalam kerja multibahasa.
Komunikasi lemah
            Seperti yang ditulis dalam pengelolaan bahasa sastra (Dhir dan Go'ke'-Parı'ola ', 2002; Feely dan Harzing 2003), pengenalan bahasa perusahaan diharapkan menghindari adanya status sosial dan pengelompokan bahasa yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal yang tidak jelas di sampaikan adalah sejaun mana bahasa perusahaan mempengaruhi karyawan dalam praktik komunikasi. Wawancari kami menunjukkan penurunan jumlah komunikasi, yang menunjukkan bahwa non-penutur asli menarik diri dari rutinitas karena dianggap tidak penting (tidak dianggap) bila tidak menggunakan bahasa Inggris. Sebab karena itu, komunikasi perusahaan menjadi lebih formal dalam orientasinya dalam berkomunikasi. Salah satu manager Denmark mengatakan:
“karena keragaman anda lebih fokus pada keahlian anda. Anda tidak berfikir  tentang dari mana orang datang tetapi hanya memikirkan konstribusi apa yang mereka berikan kepada anda dan tidak peduli akan yang mereka lakukan. Anda tidak memikirkan bagaimana pola berfikir masyarakat pada umumnya. Apakan seseorang mempunya pengaruh sosial maupun tidak adalah hal yang tidak penting. Dalam hal ini anda lebih berkemungkinan untuk bermasyarakat bersama-sama dengan orang Denmark.”
Komunikasi lemah dapat disebabkan dari fakta-fakta adanya keterbatasan orang-orang dalam mengetahui bahasa kedua karena terasa asing bagi mereka, dan memungkinkan memiliki dampak negatif pada jaringan organisasi informasi dalam menyampaikan ilmu pengetahuan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar