Negeri di Ujung Tanduk
Saat puing-puing peluru itu mulai menyambar, menyambar
sebelah kanan, meyambar sebelah kiri, dari sudut belakang, dari sudut depan.
Peluru-prluru yang mempermainkan hukum di negeri ini, menghina secara
terang-terangan, dan menjadikannya sebagai lubang besar bisnis dan menyebabkan
ketergantungan, sehingga terbentuklah suatu organisasi hukum yang menjadi
subjek didalamnya. Di sebut dengan mafia hukum.
Mafia hukum, kalimat yang di kenalkan pertama kali
oleh seorang tokoh yang diangkat dari sebuah buku “ negeri di ujung tanduk” karya
tere liye. Thomas, seorag konsultan politik yang mati-matian membela klien
politiknya yang ternyata berujung pada suatu perag hebat dengan mafia hukum
yang merasa terancam apabila klien politik yang di bela thomas memenangkan
pemilihan presiden.
Hidup pada sebuah negara yang sangat kaya, yang
menganut asas Demokrasi membuat semua hal adalah milik rakyat, memang begitu,
bukan? Bahkan demokrasi jelas cara terbaik untuk mencari uang. Misalnya, seorang
konsultan politik, atau pemilik bisnis, perusahaan raksasa, perkebunan atau
yang lainnya. Karena jelas lebih mudah menyumpal, membeli, mungkin dalam bahasa
halusnya : menanamkan invensi pada pemerintah yang dipilih rakyat di banding
memelihara rezim diktator dengan preferensi terbatas.
Apakah demokrasi sistem terbaiak yang di berikan
tuhan? Di firmankan Tuhan dalam kitab suci? Jelas tidak. Demokrasi adalah hasil
ciptaan manusia. Dalam catatan sejarah, sistem otoriter absolut juga bisa
memberikan kesejahteraan yang lebih baik. Tuhan hanya memerintahkan kita
memberikan sebuah urusan ahlinya, hanya itu. Tidak ada pemerintahan apalagi
denokrasi dalam ajaran kitab suci.
Apakah suara terbanyak adalah suara tuhan? Omong
kosong. Berani sekali manusia mengklaim sepihak, fait accomli suara tuhan. Coba bayangkan saja sebuah kota yang di
penuhi pemabuk, pemadat, mereka mayoritas, maka saat undang-undang tentang
peredaran minuman keras dan ganja di sahkan melalui referendum warga kota,
otomatis menang sudah mereka. Bebas menjual minuman keras di mana-mana, mabuk
–mabukan dimanapun. Maka tidak ada demokrasi bagi orang-orang bodoh apalagi
berkepentingan. Lalu, apa relevansi antara bodoh, kepentingan dan demokrasi.
Sebagai contoh, hidup rakyat jelata dalam sebuah
kampung yang lumayan banyak penduduknya. Suatu haru salah sorang penduduk
kampung tersebut melewati sebuah jambatan yang ada di kampung tersebut
dilihatlah jembatan itu retak. Lalu ia pulang kerumahnya dan melapor kepada
kepala Desa bahwa jembatan di desa retak, malam harinya seluruh penduduk
dikumpulkan untuk bermusyawarah membahas bagaimana jembatan itu bisa
diperbaiki. Banyak pendapat yang keluarr dari berbagai kalangan keluarga yang
hidup pada Desa tersebut, ada pendapat dari keluarga guru, petani, buruh, pedagang
dan lain-lain. Karena tidak ditemukan jalan keluar pada malam itu juga, maka
rapat di tangguhkan dan semua pendapat dari masyarakat di tampung.
Keesokan harinya, saat banyak orang melewati
jembatan yang retak itu, anak-anak sekolah, para petani, pekerja swasta,
mobil-mobil, motor, saat itu jembatan
tersebut runtuh dan mengakibatkan tidak sedikit yang menjadi korban. Maka
akibat dari tidak cakapnya lurah untuk memperbaiki jembatan yang retak dan
lebih memilih untuk menagguhkan semua pendapat masyarakatnya yang mengatasnamakan
musyawarah dan demokrasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar