Selasa, 14 Januari 2014

negeri di ujung tanduk

  Negeri di Ujung Tanduk

Saat puing-puing peluru itu mulai menyambar, menyambar sebelah kanan, meyambar sebelah kiri, dari sudut belakang, dari sudut depan. Peluru-prluru yang mempermainkan hukum di negeri ini, menghina secara terang-terangan, dan menjadikannya sebagai lubang besar bisnis dan menyebabkan ketergantungan, sehingga terbentuklah suatu organisasi hukum yang menjadi subjek didalamnya. Di sebut dengan mafia hukum.
Mafia hukum, kalimat yang di kenalkan pertama kali oleh seorang tokoh yang diangkat dari sebuah buku “ negeri di ujung tanduk” karya tere liye. Thomas, seorag konsultan politik yang mati-matian membela klien politiknya yang ternyata berujung pada suatu perag hebat dengan mafia hukum yang merasa terancam apabila klien politik yang di bela thomas memenangkan pemilihan presiden.
Hidup pada sebuah negara yang sangat kaya, yang menganut asas Demokrasi membuat semua hal adalah milik rakyat, memang begitu, bukan? Bahkan demokrasi jelas cara terbaik untuk mencari uang. Misalnya, seorang konsultan politik, atau pemilik bisnis, perusahaan raksasa, perkebunan atau yang lainnya. Karena jelas lebih mudah menyumpal, membeli, mungkin dalam bahasa halusnya : menanamkan invensi pada pemerintah yang dipilih rakyat di banding memelihara rezim diktator dengan preferensi terbatas.
Apakah demokrasi sistem terbaiak yang di berikan tuhan? Di firmankan Tuhan dalam kitab suci? Jelas tidak. Demokrasi adalah hasil ciptaan manusia. Dalam catatan sejarah, sistem otoriter absolut juga bisa memberikan kesejahteraan yang lebih baik. Tuhan hanya memerintahkan kita memberikan sebuah urusan ahlinya, hanya itu. Tidak ada pemerintahan apalagi denokrasi dalam ajaran kitab suci.
Apakah suara terbanyak adalah suara tuhan? Omong kosong. Berani sekali manusia mengklaim sepihak, fait accomli suara tuhan. Coba bayangkan saja sebuah kota yang di penuhi pemabuk, pemadat, mereka mayoritas, maka saat undang-undang tentang peredaran minuman keras dan ganja di sahkan melalui referendum warga kota, otomatis menang sudah mereka. Bebas menjual minuman keras di mana-mana, mabuk –mabukan dimanapun. Maka tidak ada demokrasi bagi orang-orang bodoh apalagi berkepentingan. Lalu, apa relevansi antara bodoh, kepentingan dan demokrasi.
Sebagai contoh, hidup rakyat jelata dalam sebuah kampung yang lumayan banyak penduduknya. Suatu haru salah sorang penduduk kampung tersebut melewati sebuah jambatan yang ada di kampung tersebut dilihatlah jembatan itu retak. Lalu ia pulang kerumahnya dan melapor kepada kepala Desa bahwa jembatan di desa retak, malam harinya seluruh penduduk dikumpulkan untuk bermusyawarah membahas bagaimana jembatan itu bisa diperbaiki. Banyak pendapat yang keluarr dari berbagai kalangan keluarga yang hidup pada Desa tersebut, ada pendapat dari keluarga guru, petani, buruh, pedagang dan lain-lain. Karena tidak ditemukan jalan keluar pada malam itu juga, maka rapat di tangguhkan dan semua pendapat dari masyarakat di tampung.
Keesokan harinya, saat banyak orang melewati jembatan yang retak itu, anak-anak sekolah, para petani, pekerja swasta, mobil-mobil, motor, saat itu  jembatan tersebut runtuh dan mengakibatkan tidak sedikit yang menjadi korban. Maka akibat dari tidak cakapnya lurah untuk memperbaiki jembatan yang retak dan lebih memilih untuk menagguhkan semua pendapat masyarakatnya yang mengatasnamakan musyawarah dan demokrasi



Tidak ada komentar:

Posting Komentar