Manajemen bahasa dan interaksi sosial
dalam
tempat kerja berbagai bahasa
Hanne Tange dan Jakob lauring
Aarhus School of Business, University of Aarhus, Aarhus, Denmark
Tujuan __ Paper ini bertujuan untuk
mengidentifikasi praktik-praktik komunikasi yang timbul dari perusahaan yang
memutuskan untuk menerapkan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional, yang
diterapkan dalam hubungan sosial dan
tempat kerja yang berbagai bahasa.
Metodologi__ sebuah studi ekplorasi
yang berdasarkan riset wawancara kualitatif.
Penemuan __ hasil analisis yang
mengarah pada pendapat umum yang berbeda dalam menanggapi penggunaan
bahasa Inggris sebagai bahasa Internasional dalam praktik komunikasi di
berbagai organisasi-organisasi di Denmark. Hal ini melihat pada sekelompok
kecil yang berkomunikasi menggunakan bahasanya sendiri dalam tempat kerja yang
berbagai bahasa.
Implikasi __ wawancara kepada berbagai macam
organisasi-organisasi yang terdapat di Denmark. Di perlukan riset baru dalam
penerapan linguistik pada berbagai tempat.
Implikasi praktis __ riset
mengidentifikasi dua hambatan untuk interaksi karyawan dalam tempat kerja
berbagai bahasa. Ini sangat relevan bila dihubungkan dengan perencanaan bahasa
dan keragaman managemen yang ada.
Nilai __ paper yang sebenarnya menyampaikan
penerapan yang menghasilkan suatu sudut pandang sosiolinguistik dalam praktik
linguistik karyawan. Poin pentingnya terletak pada bahasa sebagai satu sumber
daya sosial dan membatasi adanya politik dalam penggunaan bahasa internasional.
Kata kunci bahasa, interaksi sosial, managemen komunikasi, Denmark, bahasa
inggris.
Tipe paper__ peneitian
Pendahuluan
Tempat Kerja Mengeluarkan tiket gratis sejenis kartu
Research Pengenalan Ekspansi dalam setiap
aktivitas bisnis pasar global yang dapat digunakan pada kondisi-kondisi
tertentu dalam penyimpangan penggunaan bahasa yang dilakukan oleh mereka
sendiri (Dll Welch., 2005).
Hal ini nyata terutama dalam kasus manajer
internasional yang berkemampuan untuk mengendalikan orang-orang koordinat,
kegiatan dan sumber di satu skala global melibatkan manajemen komunikasi di
berbagai tempat perbatasan-perbatasan inernasional. Namun demikian, dalam
tempat kerja domestik juga terdapat tempat perekrutan asing. Merger dan
kemitraan internasional terdapat perbedaan bahasa yang dialami oleh
anggota-anggotanya. Ahli-ahli teori manajemen kenali peran bahasa sebagai
seorang fasilitator yang berguna untuk akuisisi dan transmisi informasi dalam
interaksi soaial dengan orang lain (misalnya Dhir danGo´ke´-parı´ola´, 2002;
Feely and harzing, 2003). Kami melakukan riset praktik komunikatif dalam 14
organisasi yang ada di Denmark menunjukkan bahwa perilaku karyawan tidak bisa dijelaskan
dengan merujuk kepada keterampilan-keterampilan berbahasa sendirian, tetapi
harus diperiksa dalam kaitannya dengan kekuatan identitas sosial (Bourdieu,
1991; Jenkins, 2000).
Bahasa
yang digunakan pada tempat kerja yang
sebelumnya dalam perusahaan-perusahaan multinasional telah menyampaikan multilingualism
yang menciptakan situasi managerial yang sulit dalam penerapan komunikasi lintas
budaya (Dll Marschan-Piekkari., 1999b). Masalah semakin bertambah dengan adanya
jumlah wujud bahasa bersama dalam sebuah lembaga, dan satu solusi nyata telah
memperkenalkan satu bahasa korporat (bahasa persatuan) untuk mengendalikan
keadaan dan mengkoordinir berbagai kegiatan-kagiatan internasional (Feely and
Harzing, 2003). Pengenalan bahasa perusahaan terbukti mampu membantu komunikasi
eksternal dan internal sejak penggunaan satu media untuk semua anggota
organisasi dan menawarkan akses mudah untuk semua saluran informasi seperti laporan
perusahaan atau majalah-majalah. Namun tetap tidak terdapat kejelasan dampak
bahasa koporat dalam pertukarannya baik dalam lingkup pribadi maupun dalam
anggota-anggota kelompok bahasa yang
berbeda dalam suatu organisasi. Untuk menjawab hal ini, penelitian yang kini akan
mengeksplorasi hubungan antara antropologi linguistik dan manajemen lintas
budaya, mengambil satu tempat sebagai awal penelitian mengenai bahasa dan
komunikasi sebagai bagian penting dalam interaksi sosial (Gumperz dan Gumperz,
1996).
Definisi bahasa
yang pertama, kita dapat menggunakan
kerangka kerja sosialinguistik yang disajikan oleh Troike-Saville. Troike-Saville menjabarkan pilihan para pengguna bahasa
dengan media linguistik yang membahas mengenai keprihatinan sosio-budaya seperti fokus
dengan satu percakapan (misalnya ingroup/outgroup, formal/tidak resmi),
menetapkan (misalnya tempat, waktu, pengguna bahasa), fungsi (e.g.
task/relationship), dan identitas sosial (misalnya
nasional,profesional, perbedaan kelamin). Kriteria yang
dimungkinkan mirip adalah saat menggunakan bahasa nasional dengan bahasa-bahasa
korporat akan sulit untuk membedakannya. Bahasa nasional, pada satu
sisi, dikaitkan kepada satu unit
geopolitik
tertentu. Sebagai bahasa komunikasi yang
diutamakan pada satu negara, ia didukung oleh aparatur negara dan memiliki sebuah
fungsi untuk membangun hubungan yang kuat, memberikan para pengguna
bahasa dengan satu tanda sosial yang jelas terhadap identitas
kebudayaannya (Anderson, 1990). Di bandingkan olehnya, bahasa
korporat adalah bahasa yang istimewa dalam suatu kelompok yang terkadang
menjadi identits kelompok tersebut (ciri khas). Meskipun terkadang dianggap
atau dijadikan sebagai satu lambang organisasi kesatuan, tujuan
utamanya untuk
penyelesaian suatu pekerjaan , mengatasi masalah apa pun tentang
linguistik dan hambatan budaya dalam komunikasi organisasi yang efektif. Jadi, bahasa nasional
dan bahasa-bahasa
korporat mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang berbeda beserta tujuannya, seperti negara Denmark,
di mana perencanaan bahasa korporat dengan menggunakan bahasa Inggris di
organisasi yang biasanya Berbahasa Denmark.
Satu definisi alternatif ditawarkan oleh Bourdieu, yang memahami bahasa
sebagai sumber simbolis yang menggunakan individu untuk mencapai
dan mengungkapkan gagasan-gagasan kebudayaan dan perilaku sosial. Dalam pasar linguistik menurut Bourdieu saat menemukan suatu yang dominan serta mendominasi pertukaran pikiran, dan kemampuan seseoraang
yang mampu mengartikan kode-kode
seperti itu, mereka menentukan kekuatan sosial dan
pengendalian dalam suatu kelompok sosial khusus atau dalam konteks
organisasi (Hedlund, 1999; Dll Janssens., 2004; Nahapiet and ghoshal,1998). Menurut Bourdieu
didimensi sosial mengenai bahasa juga memiliki
implikasi untuk pemahaman kinerja linguistik kami dalam tempat kerja berbagai
bahasa.Pegawai-pegawai yang menguasai bahasa yang dominan memiliki akses untuk
satu kisaran formal dan saluran-saluran komunikasi informal, memungkinkan
mereka terlibat dalam ikatan sosial organisasi yang berbeda, sementara individu
yang memiliki kelemahan dalam pengetahuan merasa diri mereka terisolasi dari
jaringan informasi dan proses pengambilan keputusan (Dll Marschan-Piekkaria.,
1999).
Hal ini dapat mendorong kearah munculnya alternatif pasar-pasar
linguistik atau kebersamaan bahasa, dan hal ini telah diamati dalam beberapa
konteks organisasi (Charles, 2006; Dll Vaara., 2005; Dll Welch., 2005).
Hasil
penelitian mengungkapkan kendala berikutnya dalam komunikasi berbagai bahasa
dalam tempat kerja. Hal ini disebut dengan komunikasi
tipis, didefinisikan sebagai sebuah anggota organisasi yang tidak resmi
dalam penggunaan bahasa persatuan orang luar seperti inggris. Alasan mengapa
penggunaan bahasa tampak sedikit adalah orang-orang yang menggunakan bahasa
inggris sangatlah terbatas dan relatif membatasi reportoar
daftar linguistik, dilihat dari profesionalitas yang terjalin dalam sebuah
obrolan, dan mereka merasa minder dalam penggunaan bahasa tersebut (bahasa
inggris) dalam lingkungan kerja yang spesialis karena akan terlihat sekali
kelemahan mereka dalam hal ini (Memarkir dll., 1996). Salah satu akibatnya,
kumpulan kumpulan berbagai bahasa terlihat satu tingkat dalam bersosialisasi,
dalam obrolan maupun pergunjingan, karena
memiliki implikasi lebih dalam alih informasi.
Tujuan
analisis adalah untuk memeriksa sehingga dapat mengetahui praktik-praktik
komunikatif bahasa perkumpulan dan komunikasi tipis
yang berhubungan dengan dengan berbagai macam organisasi dan jaringan. Kita
akan sama-sama mengetahui tuduhan-tuduhan yang kami tunjukkan dengan menyajikan suatu
studi kualitatif komunikasi lintas
budaya dalam empat belas bahasa dalam berbagai organisasi di Denmark.
Makna sosial
bahasa
Penjelasan
sebelumnya telah dipaparkan ide-ide bahasa sebagai sumber sosio-budaya dalam
organisasi berbagai bahasa, mayoritas mengungkapkan bahasa memiliki hubungan
dengan adanya identitas sosial. Berikutnya diungkap lebih jelas, hubungan
penggunaan bahasa dengan satu organisasi sosial atau sebuah komunitas. Pusat
dalam pemahaman bahasa adalah gagasan sosiolinguistik dalam bahasa
bermasyarakat, yang dapat didefinsikan sebagai sekumpulan pengguna-pengguna
bahasa dalam menggunakan kode-kode tertentu dalam daftar linguistik (Gumperz,
1972; Morgan, 2004). Akses dalam satu masyarakat bahasa dikendalikan oleh
anggota-anggota sendiri, dan untuk diterima kedalam kelompok, seorang pendatang
baru akan mengalami suatu proses sosialisasi, yang mana melibatkan pembelajaran
norma-norma dan praktik-praktik yang sangat kolektif, serta bahasa yang
diperoleh kolompok tersebut. Implikasinya adalah terhambatnya bahasa sehingga
tidak bebas dalam penggunaannya di struktur sosial, yang berarti pelaksana satu
membagi bahasa dan tidak harus menyingkirkan organisasi untuk lintas budaya
kimunikasi. Bahkan ketika mereka berbicara pada suatu media atau perkumpulan yang
menggunakan bahasa inggris, komunikator mampu mengetahui bahwa mereka
mengandalkan cara lain dalam memahami bahasa inggris, dan ini dapat menyebabkan
komunikasi mereka gagal (Agha, 2004; Woolard, 2004).
Bourdieu (1991, p. 67)
menjelaskan bahwa kekuatan bahasa dalam masyarakat bahasa dapat mengacu pada
interaksi setempat, yang bisa di sebut dengan pasar linguistik. Dengan adanya
penempatan bahasa dalam satu konteks sosial, Beurdieu memperlihatkan
kemungkinan setiap individu adalah akan dikeluarkan atau tidak diterima pada satu
tempat jika mereka tidak memiliki kelebihan yang spesifik untuk masuk ke lingkungan
masyarakat tertentu. Sebagai contoh, pengetahuan khusus, satu gaya tertentu
dalam interaksi, atau bahasa yang dominan ( Bourdieu, 1991). Dari sudut pandang
ini, kompetensi bahasa tidak hanya melibatkan satu kemampuan linguistik untuk
mengetahui satu bentuk bahasa yang benar sesuai yang ditentukan (misalnya
berdasarkan gramatikal, sintasis, atau pengetahuan analisis), tetapi juga
bahasa juga disesuaikan dengan keadaan-keadaan sosial dan lingkungan-lingkungan
tertentu.
Pada
tataran praktis, hal ini yang berarti ketrampilan-ketrampilan bahasa merupakan
sumber (inti) sehingga mendorong individu terlibat dalam tindakan tertentu,
sementara itu, pada tingkat simbolis, bahasa mewakili individu pada tempat
kerja atau membedakan suatu kelompok pada tingkat sosial tertentu. Pada situasi
tertentu, bahasa yang dominan atau bahasa asli akan diucapkan. Hal ini akan
berkelanjutan jika bertemu dengan individu lain yang sama menggunakan “bahasa
asli” sehingga akan memunculkan satu kesatuan organisasi.
Teori
sosiologis menawarkan satu gagasan penting kepada pengguna bahasa dalam
perannya di dalam hubungan masyarakat sosial, akan tetapi kebanyakan interaksi
yang terjadi menggunakan bahasa yang sama, bahasa nasional (Brubaker, 2002; Jenkins, 1997). Perbedaannya, organisasi berbagai
bahasa dengan mengakomodasi anggotanya dengan komunitas nasional yang lainnya,
yang berarti tidak ada hirarki yang jelas terhadap penggunaan bahasa nasional
itu sendiri. Sehingga hal ini menjadi alasan untuk memperhitungkan aspek kedua
tentang perbedaan bahasa, yang mengatakan bahwa bahasa merupakan karakter
tersendiri dalam perusahaan-perusahaan bisnis tingkat internasional.
Peran bahasa di organisasi-organisasi bahasa disebut dengan istilah
multilingualism. Yang mengungkapkan bisa terdapat lebih dari satu bahasa yang
masih memiliki eksistensinya dalam masyarakat tertentu. Multilinguism mengacu
pada multikulturalisme dan merujuk pada kode tertentu yang dipengaruhi oleh
spesifik regional, etnis, pekerjaan atau kelompok sosial (ekonomi), serta
bangsa dan negara. Bahkan dalam komunitas (persatuan) biasanya terdapat aturan seperti seorang
warganegara harus berkomunikasi dengan menggunakan bahsa korporat (persatuan),
karena dimungkinkan didalamnya terdapat multilimguism
(Silverstein, 1998; Troike-Saville, 2003). Dalam organisasi multibudaya, bentuk
dan multilingualism bergantung pada faktor seperti tingkat organisasi (misalnya
global, regional, nasional, lokal, dan individual), menetapkan (misalnya
perusahaan induk, anak perusahaan) dan unit, yang melakukan satu analisis
sosiolinguistik yang sangat komleks dalam komunikasi organisasi. Pada
penelitian yang saat ini, kita menitikfokuskan pada multilingualilm secara
global dan spesifik, yang memungkinkan kita menyoroti pada perbedaan antara
menegemen teori yang ahli bahasa dan praktik-praktik komunikatif yang dilakukan
oleh pengguna bahasa individual.
Ahli-ahli teori mangemen selalu terpacu pada sebuah pandangan metalinguistik bahasa yang berdasarkan satu sistem
bahasa nasional (Dhir, 2005; Luo dan Shenkar, 2006). Tempat pertama yang
menjadi tujuan analisis adalah persatuan bisnis multinasional, yang berarti
multilingualism melibatkan satu keeksistensian persaingan bahasa nasional dalam
suatu organisasi yang sama. Hal ini merupakan perspektif yang strategis,
hambatan-hambatan dalam bidang linguistik berjalan sejajar dalam lingkup
nasional, yang mengurangi arti profesional atau kode bahasa dalam masyarakat
sosial yang berbahasa nasional. Terbentuknya managemen bahasa – dalam bentuk
satu kode korporat yang umum – satu solusi yang mudah yang mengatakan
penggunaan bahasa inggris akan mengesampingkan masyarakat bahasa yang menggunkan
bahasa asli karyawan. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan mengenai
praktik prilaku linguistik dalam suatu organisasi global bertentangan dengan
teoro strategis yang bersubjek masyarakat tunggal bahasa (Charles, 2006; Dll
Marschan-Piekkari., 1999a). daripada menerima perusahaan bahasa sebagai alat
untuk meningkatkan suatu sistem organisasi, riset menunjukkan pengguna-pengguna
bahasa menolak proses standardisasi, yang bisa jadi mereka merasa hal ini
merupakan satu tantangan global tersendiri bagi karyawan lokal yang memiliki
pengetahuan yang rendah, status dan nilai (Dll
Piekkari., 2005; Dll Vaara., 2005).
Mengenai tanggapan
karyawan mengenai standardisasi linguistik, seseorang akan mengetahui
multilingualism dari perspektif pengguna bahasa individual itu sendiri. Karena
sekalipun ia tidak terlibat secara langsung dalam pengambilan alih oleh bahasa
inggris, satu bahasa korporat (bahasa persatuan) mempengaruhi akses anggota terhadap kode-kode
bahasa dalam suatu organisasi (Agha, 2004; Woolard, 2004). Sarana pengelolaan bahasa yang terdapat
beragam tuturan baru yang memenuhi repertoires “ fungsi-fungsi bahasa
perantara” ( Blommaert, 2003, p. 609), yang memiliki implikasi terhadap
pengguna-pengguna bahasa yang memiliki posisi dalam suatu organisasi dan akan
mempengaruhi akan kode-kode yang ada didalamnya. Dalam pertemuan-pertemuan
formal, hal ini relatif tidak bermasalah sejak dilakukannya pertukaran jargon
dari kelompok spesilis yang pembicaranya adalah orang-orang luar yang sudah
terlebih dahulu menjalani pendidikan bahasa inggris atau sebagai anggota pada
sebuah komunitas yang praktik menggunakan bahasa inggris (Keating dan Egbert,
2004; Wenger, 1999). Dibandingkan, kefasihan cara berbicara orang-orang luar,
maka terlihat dartar linguistik yang begitu tertinggal. Para karyawan merasa
khawatir akan adanya pertukaran yang tidak resmi akan mempengaruhi linguistik
yang semakin terbelakang, yang secara tidak langsung merusak profesi keahlian mereka,
dan hal ini dapat mendorong pada sebuah percakapan yang tidak biasa (susah
dimengerti). Sebagai satu konsekuensinya, prilaku komunikatif bahasa perkumpulan dan bahasa tipis dapat dikaitkan dengan pengalaman
pengguna-pengguna bahasa dengan multilingualism, selanjutnya akan kita jelaskan
pada analisis di bawah ini.
Metodologi
Topik yang saat ini sangat menarik pada suatu studi kualitatif yang
lebih besar, yang bertujuan untuk menetahui hambatan serta peluang yang
berhubungan dengan perbedaan bahasa dan kebudayaan. Hal ini menitikfokuskan
pada tujuh daerah : kekuatan bekerja, sosial dalam lingkungan kerja, citra,
persaingan etnis, intelijen pasar, pengertian internasional dan pengetahuan
sinergi, penerapan pendekatan hermenetik untuk studi antar budaya komunikasi (Nyna¨s,
2006; Svane, 2006). Salah satu tema yang timbul dari investigasi yang dilakukan
adalah hubungan antara perilaku komunikatif pengguna-pengguna bahasa dan
struktur sosial dalam tempat kerja berbagai bahasa – topik tersebut tertera
disini. Berikutnya, dalam metodologi penelitian kami menggunakan studi yang
lebih besar, penelitian ini mengidentifikasi mengenai praktik linguistik bahasa
perkumpulan dan komunikasi tipis. Tujuannya
untuk memberikan gambaran umum mengenai komunikasi lintas budaya dalam
lingkungan kerja yang berbagai bahasa di Denmark, dan kita telah menentukan
satu tempat khusus untuk penelitian dengan melibatkan suatu organisasi. Kami
memilih suatu lokasi penelitian berdasarkan presentasi karyawan dengan satu
latar belakang nasional selain dari Denmark, dan mereka terdiri dari
bermacam-macam adat istiadat dan bahasa dalam tempat kerja yang ada di Denmark.
14 unit yang diorientasikan secara internasional, organisasi-organisai yang
sangat intensif dalam pengetahuan, di
mana permainan bahasa dalam komunikasi antar budaya memiliki peran penting
dalam aktivitas sehari-hari. Fokus penelitian ini adalah obat?? , IT perusahan, teknik dan teknologi yang
canggih, dan organisasi-organisasi yang terletak di Kopenhagen
serta kota-kota kecil di Denmark. Selain penyebaran regional ini, unit yang berbeda-beda
dalam hal kepemilikan, ukuran, dan kepentingan ekonomi. Dalam hal kepemilikan,
kami mengambil sampel perusahaan swasta serta usaha-usaha Pemerintah-Swasta,
induk perusahaan asing, serta perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh Denmark
sendiri.
Dalam
hal jumlah, tiga organisasi-organisasi terbesar itu mempekerjakan libih dari
5.000 karyawan, sementara lima unit terkecil digaji kurang dari sepuluh
karyawan masing-masingnya. Semuanya menggunakan bahasa inggris sebagai bahasa
resmi mereka untuk berkomunikasi, keadaan di Denmark yang populasinya sangatlah
kecil dan kebutuhan ekonomi yang meningkat sehingga melibatkan meraka dalam
kegiatan internasional. Namun demikian, hanya satu persen karyawan yang
merupakan penutur asli inggris.
Hasil
utama dari beberapa penelitian disajukan dalam bentuk wawancara. Dalam bekerja
sama dengan penjaga-penjaga gerbang suatu organisasi, kami mengidentifikasi
kunci informan terlibat dalam komunikasi lintas budaya, melakukan sebanyak 82
wawancaradengan manager dan karyawan. Dari yang terwawancara, 43 dari Denmark,
sementara 39 mewakili perwakilan dari bangsa lain. Wawancara dilakukan di
Denmark dan Inggris dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendetail.
Semua, kecuali Inggris wawancara dilakukan dengan mendatangkan penerjemah dari
luar, yang mengerti bahasa asli mereka seperti, bahasa Polandia, bahasa Rusia,
bahasa Rumania, Italia, Belanda, Prancis, Mandarin, Vietnam, bahasa Hindia dan
Arab.
Wawancara
dilakukan dengan berdialog antara peneliti dan informan, pertanyaan yang
diajukan mengenai efek keragaman budaya dalam berkomunikasi. Tujuannya ialah
untuk mengajak infornan sehingga menguraikan situasi tertentu di mana mereka
mendapati linguistik dan atau keragaman budaya andaikan mempengaruhi
rutinitas-rutinitas kerja sehari-hari mereka. Panduan wawancara awal berisi
pertanyaan yang berhubungan dengan pengalaman karyawan dengan keragaman,
petunjuk-petunjukmorganisasi (bahasa korporat), dan dampak keragaman dalam
berkomunikasi. Sejak awal penelitian dilakukan secara terbuka, analisa data dibawa
keluar secara serentak dengan mengumpulkan informan baru, dengan diizinkan
integrasi berkelanjutan dengan tema dan ide-ide yang timbul saat wawancara dan
tetap berpedoman pada dasar yang ada (Miles dan Huberman, 1994; Spradley,
1980). Dalam praktik, kami bermaksud menggabungkan tema yang diusulkan oleh
para informan kedalam konsep yang telah ada guna untuk wawancara-wawancara
berikutnya dan dengan demikian kita menggabungkan pandangan informan dengan
satu sistematis data (Fontana dan Frey, 1994).
Kami melakukan wawancara dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan menggunakan penyandian dengan tangan, dengan
tidak menggunakan halaman teks. Berdasarkan bahan berkode, kita memasukkan data
ke indeks dan diagram pohon dengan subkategori (Bernard, 1995; Spradley, 1980).
Berhubungan dengan penelitian yang sedang dilakukan, topik utama muncul dari
analisis mengenai komunikasi lintas budaya, penggunaan bahasa, pengetahuan
lintas budaya, dan potensi pembangunan interaksi lintas budaya, sehingga semua
isu-isu menjadi jelas akan isu-isu antar budaya yang mengedepankan informan
yang berkemungkinan memiliki kaitannya dengan multilingualism. Pada awalnya,
pengguna bahasa diidentifikasikan mengandung komunikasi yang spesifik dalam
kelompop-kelompok sosial tertentu dan dalam kebudayaan. Sedangkan
analisis-snalisis berikutnya menyoroti tema sosial
pecahan dan komunikasi tipis.
Kita memutuskan semi wawancara
berstruktur untuk metode penelitian utama kami. Karena mereka memberikan
pemahaman mendalam mengenai lingkungan multidimensi, serta satu wawasan
berharga terhadap isu-isu implisit seperti penggunaan bahasa dan praktik komunikasi.
Kelemahan utama metode kami adalah bersifat data khusus, yang membuat suatu kesimpulan yang sukar untuk diberlakukan dalam
satu penelitian yang lain, dan yang mana tidak menyediakan
perbandingan-perbandingan lintas budaya menggunakan cara penelitian yang
kualitatif. Sebagaimana yang diperdebatkan sebelumnya, namun demikian, praktik
bahasa perkumpulan dan komunikasi tipis hanya
dapat dijelaskan dengan merujuk kepada situasi individu pengguna-pengguna
bahasa, yang mempromosikan pilihan sebuah metode yang membenarkan satu pemahaman lebih dalam perilaku manusia.
Praktik
komunikatif dalam berbagai bahasa
Penelitian ini mengenai praktik komunikatif
dan linguistik dari organisasi-organisasi multibahasa yang ada di Denmark yang
melatarbelakangi penelitian bahasa yang sedang berlangsung di Denmark. Seperti
halnya laporan terbaru dari komite pemerintahan dalam acara seminar bahasa,
terdapat statmen mengenai kecenderungan karyawan yang sering menggunakan bahasa
asisng (Sprogudvalget, 2008).
Pada bagian ini, alasannya di karenakan jumlah populasi yang terbatas, yang
berarti bahwa setiap kegiatan internasional menuntut akuisisi bahasa asing,
tetapi internasionalisasi linguistik juga didukung oleh pendapat umum bahwa
Denmark memiliki kapasitas khusus untuk belajar bahasa asing khususnya bahasa
inggis (Preisler, 1999).
Denmark memperlihatkan sikap keterbukaannya
terhadap penelitian yang dilakukan. Beberapa informan mengatakan keragaman
bahasa merupakan salah satu aset tersendiri untuk perusahaan mereka, dan lebih
menekankan pada mereka untuk tetap berkomunikasi dengan bahasa mereka sendiri.
Pada situasi yang sama keragaman bahasa bisa menjadi salah satu faktor untuk
memperkuat hubungan eksternal dalam berkomunikasi karena, salah satu informan
mengatakan “anda merupakan internasionalisasi internal”, yang membuatnya lebih
mudah untuk merekrut tenaga kerja dari negara lain. Akhirnya, informan
mengomentari mengenai pengambilan bahasa inggis sebagai bahasa perusahaan, yang
mereka lihat adanya keuntungan tersendiri bagi organisasi yang ada di Denmark karena
dalam paparan lingua franca dalam bisnis akan mampu meningkatkan kemampuan
karyawan dalam menulis dan berbicara dalam bahasa inggris.
Retorika positif mengenai menagemen
bahasa telah mengaburkan fakta bahwa banyak non-penutur asli yang sulit untuk
menggunakan bahasa kedua (Park et al 1996) . orang-orang yang termasuk dalam
kelompuk ini tidak mau mengakui terhadap kelemahan bahasa mereka, kemungkinan
mereka takut akan anggapa yang kurang baik terhadap keahlian yang mereka
miliki. Jadi, alih-alih mereka memilih strategi bahasa yang memungkinkan mereka
untuk mampu bertahan bahkan memperkuat kekuatan sosial mereka dalam suatu
organisasi. Hal ini bermasalah terutama dalam suatu organisasi yang berada di
negara-negar kecil seperti Denmark dan Finlandia di mana bersaing dengan
perusahaan perusahaan yang menggunakan bahasa inggris yang kuat, nasional
bahasa ( Marschan - Piekkari et al 1999a ). Dalam keadaan seperti ini, orang
dapat melihat penduduk setempat menggunakan bahasa nasional mereka yang
bertujuan untuk komunikasi informal saja. Yang menurunkan status bahasa
perusahaan, lalu mengucilkan orang yang tidak berbicara dengan bahasa lokal (
Charles dan Marschan - Piekkari , 2002 ) .
Penggunaan bahasa nasional untuk
mengkonsolidasikan posisi otoritas sosial atau bahan dalam praktik pengembangan
bahasa dan komunikasi tipis. Dari berbagai
pendapat informan yang telah disampaikan, kami menganggap bahwa keragaman
bahasa tetap menjadi hambatan dalam berbagai organisasi pengetahuan, dan belum
tentu masalan ini dapat diselesaikan dengan di terapkannya bahasa korporat
(bahasa persatuan).
Pengelompokan bahasa
Praktik
kelompik komunikasi bahasa mengambil pertemuan antara penutur bahasa nasional
yang pertama kali di amati dalan studi organisasi Kone Marschan-Piekkari et al.
's (Marschan-Piekkaria et al 1999a, b). dalam wawancara kami, sebagian besar
informan memiliki kesamaan dalam kelompok, walaupun mereka tetap memiliki ciri
khas masing-masing. Mereka diklasifikasikan berdasarkan kesamaan dan perbedaan
bahasa. Negara Amerika Latin termasuk dalam cakupan negara Spanyol yang
menggunakan bahasa Spanyol, sedangkan Swis dan atau Belgia termasuk dalam
cakupan negara Prancis yang menggunakan bahasa Prancis. Yang
juga tak kalah penting adalah bahwa pengelompokan bahasa sesuatu karyawan
mengasosiasikan berdasarkan out-group mereka daripada kelompok-mereka sendiri.
Denmark
melihat terdapat kelompok-kelompok informal diantara rekan kerja internasional
mereka. Sedangkan staf internasional menekankan antara mitra-mitra mereka
adalah yang berasal dari Denmark sendiri. Seorang pegawai polandia
memperlihatkan bagaimana kecenderungan Denmark kelompok bahasa yang informal
sehingga membuat orang lain sulit untuk memahami bahasa mereka apalagi ikut
dalam percakapan mereka.
Secara
umum, kami bekerja bersama-sama dengan baik. Tetapi seperti contoh saat makan
siang, jika anda duduk sendirian, maka orang-orang Denmark akan berbicara
dengan bahasa mereka (bahasa Denmark), mereka lebih memilih untuk tidak duduk
dengan orang asing (bukan orang Denmark). Pembicaraan kecil yang mereka lakukan
dalam bahasa Denmark, terkadang mereka membicarakan banyak hal. Hal ini memberi
anda gambaran tentang apa yang benar-benar terjadi, dan ini benar-benar membuat
saya untuk masuk dan memahami percakapan mereka. Saya hanya mengetahui bahasa
yang sejak kecil saya gunakan. Sebelumnya, saya hanya melakukan apa yang
menjadi keahlian saya.
Praktik
pengelompokan bahasa dapat berdasarkan dari ketidakmampuan berbahasa. Bahkan
jika mereka menganggap dirinya sebagai pengguna bahasa Inggris yang kompeten,
infoeman mngatakan tentu lebih nyaman berbicara menggunakan bahasa ibu mereka,
mengakui ketika mereka menghadapi masalah yang berhubungan dengan pekerjaan,
mereka lebih memilih berkomsultasi dengan orang yang memiliki kesamaan bahasa
dengannya, daripada dengan orang dari kelompok bahasa yang berbeda. Ini
merupakan pengecualian untuk satu-satunya karyawan wakil dari suatu kelompok
bahasa, yang mungkin mengakibatkan adanya keterbukaan dalam berbahasa dan
mengabaikan semua masalah linguistik dan sosial untuk mencari orang-orang yang
mereka anggap lebih kompeten.
Pengelompokan
bahasa dapat dicirikan dengan munculnya
alternatif pasar linguistik yang berdasarkan pada bahasa nasional karyawan.
(Bourdieu, 1991). Dari data yang kami miliki, ini merupakan hal nyata dalam
kaitannya dengan Denmark. Karena sebagian dari mereka telah mewakili mayoritas
bahasa yang digunakan dalam organisasi, dan juga mereka merupakan orang-orang
yang patuh akan peraturan-peraturan yang berlaku di Denmark mengenai penggunaan
simbol-simbol dalam bahasa Denmark. Sebuah observasi yang dilakukan oleh
seorang karyawan Italia menggarisbawahi akan dominasi Denmark ini merusak citra
perusahaan dalam lingkungan kerja internasional.
“ketika
saya datang kesini saya sangat kecewa. Kami selalu mendengar percakapan tentang
negara-negara nordik dan harapan-harapannya yang sangat tinggi. Seperti
perusahaan ini contohnya, ketika pertama kali datang kesini saya fikir
perusahaan ini lebih internasional. Sebelumnya saya meminta mereka untuk
berbicara dalam bahasa Denmark dan mereka mengatakan tidak, tidak, kami adalah
perusahaan internasional dan kami berbicara dalam bahasa Inggris. Tapi, mereka
tidak bisa memberikan alasan bagwa itu adalah perusahaan internasional dan
bahasa Inggris adalah bahasa perusahaan. Ini hanyalah seduah perusahaan Denmark
yang dengan banyak orang asing.
Penggunaan
bahasa Denmark dalam interaksi informal akan meningkatkan kekuatan simbolis
dari bahasa nasional, memperdalam kesenjangan antara mereka yang tidak memiliki
akses dalam bahasa dan sumber daya. Dalam wawancara, informan non-pribumi
mengomentari praktik linguistik Denmark, sangat menggarisbawahi hal ini karena
mencegah pembicara non- Denmark berpartisipasi secara penuh dalam kehidupan
sosial organisasi, terlepas dari klaim resmi korporasi untuk bahasa Inggris
sebagai bahasa perusahaan, anggota masyarakat selain Denmark mengungkapkan
bahwa integrasi mereka ke dalam organisasi bergantung pada kesediaan orang
Denmark itu sendiri. Sebab, sebagai informan dari Belanda, bahkan jika
tunjangan awalnya di peruntukkan non-pribumi, orang-orang Denmark mengharapkan anggota
yang terlibat dalam kegiatan sosial itu agar belajar bahasa Denmark, dan jika
mereka tidak menolak, dianggap bersedia untuk mempelajari bahasa setempat, yang
terdapat pengecualian terhadap mereka dalam jaringan informal :
“bahasa
itu penting, saya tisa menganggap hal ini adalah masalah besar. Akan tetapi,
jika anda tidak mengetahiu bahasa yang anda gunakan, maka anda akan di buang
kesuatu tempat (diasingkan), beberapa teman saya ada yang dibuang ke suatu
tempat (diasingkan). Apabila saya hidup
di Denmark, jika saya mengatakan tidak untuk belajar berbicara dengan
menggunakan bahasa Denmark, maka saya akan terisolasi dalam kehidupan
bermasyarakat, jika saya hanya berkunjung ke Denmark, itu akan berbeda lagi”
ucap orang belanda.
Dari
perspektif manajemen, kelompok bahasa melemahkan trans-organisasi dalam
berbagai pengetahuan dan jaringan. Ketika interaksi sosial yang terutama
berorientasi terhadap anggota dari masyarakat tutur sendiri, maka hanya sedikit
informasi yang didapatkan dalam pecakapan lintas bahasa, dan dalam tempat kerja
multibahasa ini dapat menyebabkan keterbatasan pengetahuan dalam kelompok
sosial tertentu.
“saya
sedang rapat, dan kami terdiri dari
beberapa orang yang berbahasa Inggris, beberapa dari Kanada, Swedia, dan
Denmark. Dan dalam waktu setengah jam, orang Denmark berbicara dalam bahasa
Denmark, orang Swedia berbicara dalam bahasa Swedia. Dan setelah beberapa kali
saya berkata – saya akan mulai! Dan orang-orang mulai berbicara dengan bahasa
Inggris. Setelah itu saya benar-benar sadar bahwa tidak ada yang benar-benar
mengerti satu sama lainnya. Orang-orang dari Arhus tidak mengerti apa yang di
katakan oleh orang Swedia dan kami tidak mengerti apa yang dikatakan oleh
orang-orang Denmark (karyawan, Amerika Utara).”
Ini
merupakan contoh yang menyedihkan, dari hasil wawancara dikatakan bahasa yang
berbasis marginalisasi non-pribumi menjadi rahasia umum dalam organisasi
multibahasa, sehingga mengakibatkan proses isolasi dalam pengambilan suatu
keputusan ( welch et al, 2005). Dari hasil penelitian kami, multilingualisme mempengaruhi
komunikasi dan informasi dalam masyarakat linguistik tertentu (misalnya Varner
dan Beamer, 2005). Kurangnya
keterlibatan sosial merupakan alasan kedua terjadinya keanekaragaman bahasa,
bagaimanapun akan menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas pertukaran
karyawan dalam kerja multibahasa.
Komunikasi lemah
Seperti
yang ditulis dalam pengelolaan bahasa sastra (Dhir dan
Go'ke'-Parı'ola ', 2002; Feely dan Harzing 2003), pengenalan bahasa perusahaan
diharapkan menghindari adanya status sosial dan pengelompokan bahasa yang telah
dijelaskan sebelumnya. Hal yang tidak jelas di sampaikan adalah sejaun mana
bahasa perusahaan mempengaruhi karyawan dalam praktik komunikasi. Wawancari
kami menunjukkan penurunan jumlah komunikasi, yang menunjukkan bahwa
non-penutur asli menarik diri dari rutinitas karena dianggap tidak penting
(tidak dianggap) bila tidak menggunakan bahasa Inggris. Sebab karena itu,
komunikasi perusahaan menjadi lebih formal dalam orientasinya dalam
berkomunikasi. Salah satu manager Denmark mengatakan:
“karena
keragaman anda lebih fokus pada keahlian anda. Anda tidak berfikir tentang dari mana orang datang tetapi hanya
memikirkan konstribusi apa yang mereka berikan kepada anda dan tidak peduli
akan yang mereka lakukan. Anda tidak memikirkan bagaimana pola berfikir
masyarakat pada umumnya. Apakan seseorang mempunya pengaruh sosial maupun tidak
adalah hal yang tidak penting. Dalam hal ini anda lebih berkemungkinan untuk
bermasyarakat bersama-sama dengan orang Denmark.”
Komunikasi
lemah dapat disebabkan dari fakta-fakta adanya keterbatasan orang-orang dalam
mengetahui bahasa kedua karena terasa asing bagi mereka, dan memungkinkan
memiliki dampak negatif pada jaringan organisasi informasi dalam menyampaikan
ilmu pengetahuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar